Author’s POV
Di jam istirahat sekolah Raynald, Erlan, Fadel dan Kaisha berkumpul di taman belakang, spot terfavorit mereka untuk melepas penat di jam istirahat. Fadel melirik ke kanan dan ke kiri.
“Aman nih kayaknya.” Fadel mengeluarkan sebatang rokok lalu menyalakannya, kemudian mengisapnya pelan. Dia mengepulkan asap sembari duduk begitu santai. Kaisha terbatuk-batuk dan mengibas-ibaskan tangannya.
“Asapnya jangan disembur di sini. Gue jadi batuk-batuk.” Kaisha memandang Fadel dengan kesal.
“Cemen lo. Kena asap aja langsung bengek.” Fadel sengaja mengepulkan asap di depan wajah Kaisha.
“Apaan sih lo.” Kaisha meninju lengan Fadel dengan keras hingga membuat Fadel meringis.
“Sakit tahu.” Fadel memegangi lengannya sambil mencibir ke arah Kaisha.
“Fadel bagi rokoknya donk. Pahit banget nih bibir, dari kemarin belum ngrokok. Dimarahin nyokap gue gara-gara ketahuan ngrokok. Rokok gue masih banyak disita semua ama nyokap.” Erlan memasukkan tangannya ke saku baju Fadel dan mencomot sebatang rokok.
“Lo kagak modal. Bibir lo pahit bukan karena lo nggak ngrokok, tapi udah lama kagak nyium cewek.” Tukas Fadel diiringi tawa oleh teman-temannya.
“Tau aja lo. Ada satu cewek yang bikin gue penasaran dan pingin banget gue cium.” Erlan mengedarkan pandangannya pada semau temannya.
“Siapa?” Kaisha memicingkan matanya. Ia begitu penasaran.
Erlan menyunggingkan senyum sinis, “Ghaza Sabrina.”
Raynald tersentak.
“Bukannya kamu musuhan ama dia Lan?” Raynald mengernyitkan dahi.
Erlan mengangkat sebelah sudut bibirnya, “justru karena kita rival makanya gue pingin ngasih dia pelajaran. Gue yakin habis gue cium dia pasti nangis-nangis dan mukul-mukul gue. Lama-lama bakal depresi.”
“Kejam lo. Dia nggak bakal mau lah lo cium. Gue jamin.” Kaisha menggeleng.
“Ya gue bakal cium dia dengan paksa. Tapi gue butuh bantuan kalian.” Erlan mengisap rokok yang ia ambil dari saku Fadel.
“Bantuan apa? Ogah gue ah.” Fadel menanggapi perkataan Erlan dengan ketus.
“Lan, kayaknya lo nggak usah deh nyium dia. Gue yakin kok banyak cewek yang dengan senang hati mau lo cium, tanpa harus maksa nyium orang lain.” Raynald tak menyetujui rencana jahat Erlan.
“Kalau nyium cewek lain mah nggak ada tantangannya.” Erlan tersenyum sekali lagi membayangkan Ghaza bertekuk lutut di hadapannya.
“Gini, gue punya rencana hebat. Gue minta Kaisha minta tolong Ghaza buat nemeni ke kamar mandi saat lagi sepi, waktu jam pelajaran lah. Gue udah nunggu di kamar mandi. Begitu dia masuk, gue tarik tangannya dan langsung gue cium.” Erlan menjelaskan panjang lebar.
“Kenapa mesti gue yang ngajak Ghaza ke kamar mandi?” Kaisha protes karena dia keberatan.
“Ya karena lo cewek. Masa iya mesti Fadel yang ngajak?” Erlan melotot dan menaikkan intonasi suaranya.
“Ayolah Kai, gue janji nanti gue traktir makan plus nonton bioskop. Sesama teman kan mesti saling bantu.” Erlan mengedipkan sebelah matanya.
Kaisha mengangguk. Dia nggak enak juga kalau menolak permintaan Erlan. Selama ini Erlan sudah banyak membantunya.
Bel berbunyi, tanda jam istirahat telah usai. Sebelum masuk kelas, Raynald mengirim WA pada Ghaza.
Gha, temui gue di depan UKS. Gue pingin ngomong penting, bentar doang.
Ghaza berjalan lebih cepat menuju UKS. Dia penasaran juga apa yang ingin disampaikan Raynald.
Tiba di depan UKS, sudah ada Raynald yang berdiri menunggunya.
“Gha..”
“Ada apa Ray?”
“Kalau nanti Kaisha ngajak lo ke kamar mandi, lo jangan mau ya.”
Ghaza mengernyitkan dahi, “kenapa? Emang nanti Kaisha bakal ngajak gue ke kamar mandi? Kalian merencanakan sesuatu?”
“Erlan bakal menunggu kalian di kamar mandi. Dia akan menarik tangan lo begitu lo masuk ke dalam. Dia....bakal nyium lo.” Raynald tahu dia telah mengkhianati Erlan. Tapi dia juga tak bisa membiarkan Erlan bertindak semena-mena pada Ghaza. Ia tak tega Ghaza diperlakukan seperti ini oleh Erlan.
Ghaza menyipitkan matanya, “Erlan ngrencanain mau nyium gue? Gila banget tuh anak. Tenang aja Ray, gue yang bakal ngerjain dia.” Ghaza tak mengerti kenapa Erlan mempunyai rencana seburuk itu.
Erlan benar-benar menjalankan rencananya. Dia menunggu kedatangan Kaisha dan Ghaza di dalam kamar mandi. Kaisha menuruti perintah Erlan. Saat tengah berlangsung pelajaran Bahasa Indonesia, Kaisha meminta tolong pada Ghaza buat nemeni ke toilet. Ghaza bersedia. Dia juga telah menyusun rencana untuk mengerjai balik Erlan.
Derap langkah Ghaza dan Kaisha terdengar berirama menuju toilet. Erlan sudah menunggu di dalam. Ghaza sudah menyusun rencana khusus untuk memberi Erlan pealajaran. Setiba di depan toilet Ghaza langsung menutup pintu toilet luar dan menguncinya dari luar. Sebelumnya Ghaza sudah meminta kunci toilet yang dipegang penjaga sekolah. Agar mendapat izin dari penjaga sekolah, Ghaza menjelaskan dulu maksudnya meminta kunci itu. Kaisha terbelalak melihat aksi Ghaza.
“Hei kenapa gue dikunci? Buka pintunya!” Erlan mengetuk pintu dari dalam.
Ghaza tertawa puas, “ini pelajaran buat lo Lan. Lo mau ngerjain gue kan? Gue udah tahu rencana busuk lo. Makanya gue balik ngasih lo pelajaran.”
Erlan kini mengerti bahwa salah satu temannya ada yang berkhianat. Erlan memutusakan untuk mencari tahu siapa yang sudah mengkhianantinya selepas Ghaza membuka pintu.
“Gha, buka pintunya sekarang. Cepat..!!” Erlan setengah berteriak.
“Gue baru akan ngebuka saat jam istirahat kedua nanti. Baik-baik aja lo di dalam.” Ghaza melirik Kaisha sejenak. Tatapannya begitu tajam menyisir Kai dari ujung rambut sampai kaki.
“Gue kecewa ama lo. Tega banget ya lo kerjasama bareng Erlan buat ngerjain gue.” Ghaza meninggalkan Kaisha dengan ekspresi wajahnya yang masih ketus.
“Kai, bujuk Ghaza biar cepet-cepet ngeluarin gue dari sini.” Erlan mendebrak pintu dan terdengar begitu frustasi.
“Lo nunggu aja ampe istirahat kedua. Dia tadi marah ama gue.”
“Atau jangan-jangan lo ya yang ngasih tahu Ghaza tentang rencana gue?” Erlan menduga Kaisha yang mengadukan rencananya pada gadis berjilbab itu.
“Bukan gue, sumpah. Lo ntar introgasi aja si Fadel ama Raynald. Udah ya, gue ke kelas dulu.”
Erlan semakin kesal saat mendengar gerak langkah Kaisha menjauh.
******
Di jam istirahat kedua Ghaza menepati janjinya untuk membuka kunci pintu toilet yang telah mengurung Erlan dari dalam. Erlan begitu marah, bukan marah pada Ghaza tapi pada salah satu sahabatnya yang ia anggap sudah mengkhianatinya. Dia mengumpulkan teman-temannya di lapangan basket indoor yang kebetulan sedang kosong.
“Siapa diantara kalian yang berani menikam gue dari belakang?” Erlan menatap ketiga temannya satu per satu dengan mata yang sudah memerah.
Semua terdiam.
“Ayo ngaku.” Erlan mengeraskan volume suaranya.
“Gue lan. Gue bukan sedang mengkhianati lo, tapi gue bertindak atas rasa kemanusiaan.” Jawab Raynald lantang.
Erlan begitu marah. Dicengkeramnya kerah seragam Raynald begitu kuat.
“Apa ini yang namanya teman? Kenapa lo nglakuin ini? Harusnya lo dukung gue sebagai teman lo. Gue nggak akan menyakiti Ghaza. Gue cuma pingin nyium dia.”
Rayland balas menatap Erlan tajam, “cara yang lo lakuin ini nggak bener Lan. Lo tahu sendiri kan Ghaza tipe cewek yang menjaga diri, sentuhan dengan sembarang laki-laki dia juga nggak mau, apalagi dicium. Itu sama saja lo bakal menyakitinya.”
Erlan tersenyum sinis, “itu kan image dia dari luar. Kalau udah ngrasain ciuman gue juga pasti bakal jatuh cinta ama gue. Mungkin awalnya bakal marah-marah, tapi gue yakin lama-lama dia bakal kepikiran gue terus.”
Raynald mendorong tubuh Erlan.
“Nggak semua cewek sama Lan. Nggak semua cewek bisa lo jadiin objek mainan.”
Erlan menyeringai, “sok suci lo Ray. Siapa yang lebih banyak nyakitin cewek? Siapa yang suka ngasih PHP, tebar rayuan dimana-mana? Siapa yang lebih dikenal dengan image playboy, gua apa lo? Gue mending, gue nggak pernah main PHP cewek.”
“Itu gue yang dulu. Sekarang gue lebih bisa belajar buat ngertiin perasaan cewek. Gue juga nggak pernah punya rencana busuk buat nyium cewek dengan paksa. Lo udah keterlaluan Lan.” Raynald menunjuk wajah Erlan dengan jari telunjuknya.
“Sekarang gue tanya, apa kalau misal cewek yang mau gue kerjain bukan Ghaza, lo bakal ngelakuin hal yang sama? Mengadukan rencana gue ama cewek itu?”
Raynald terdiam sejenak.
“Sekarang semua jelas, lo suka ama Ghaza Ray.”
“Gue nggak suka dia. Maksudnya gue suka dia sebagai teman nggak lebih.”
Erlan mendorong tubuh Raynald, “nggak usah nyangkal lo. Lo nggak terima kan kalau gue dapetin Ghaza? Lo suka ama dia.”
Gantian Raynald mendorong tubuh Erlan hingga tersungkur. Erlan tak terima, dia membalasnya dengan meninju ujung sudut bibir Raynald. Raynald membalas memukul wajah Erlan. Fadel dan Kaisha bingung bagaimana melerai mereka. Di saat yang sama, Bagas guru olahraga mengetahui perkelahian itu. Dia melerai dua cowok yang tengah berseteru itu dan menyeret keduanya di ruang BK.
Erlan dan Raynald duduk bersebelahan. Sementara guru BK, Bagas dan Keyra menatap mereka dengan datar.
“Ini untuk kesekian kali kalian berbuat ulah. Daftar pelanggaran kalian sudah terlalu banyak. Kalian udah sama-sama besar, kenapa masih berkelahi? Mau jadi jagoan? Ini di sekolah, bukan arena tinju.” Pak Doni selaku guru BK merasa begitu kecewa melihat kedua murid itu seakan tak pernah jera berbuat ulah.
“Alasan kalian berantem sebenarnya apa?” Giliran Bagas yang bertanya dengan tatapan mata begitu awas.
Erlan dan Raynald terdiam, tak ada yang berinisiatif menjawab pertanyaan guru olahraga mereka.
“Ayo jawab!” Gertakan Bagas membuat Raynald dan Erlan tersentak.
“Kita hanya salah paham Pak.” Jawab Raynald singkat.
“Kalian beruntung hari ini pak Kepala Sekolah tidak hadir karena ada urusan penting yang mesti beliau tangani. Kalau beliau tahu ada murid yang berantem, orangtuanya bakal dipanggil. Tapi bapak akan tetap memberi kalian hukuman. Selain daftar poin pelanggaran bertambah, kalian akan bapak skorsing tiga hari.”
******
Setelah selesai mendapat pengarahan di ruang BK, Keyra meluangkan waktu untuk bicara dengan Erlan dan Raynald di taman sekolah. Dua cowok itu masih saja tak mau saling sapa meski pak Doni sudah meminta mereka untuk saling minta maaf.
“Sekarang ibu pingin tahu, sebenarnya ada masalah apa antara kalian? Jujur pada ibu.”
Raynald dan Erlan menundukkan kepala dan tak berani membuat kontak mata dengan wali kelasnya ini.
“Kenapa kalian nggak mau jawab? Ibu sering lho ditegur kepala sekolah setiap kali kalian bikin ulah. Ibu ini wali kelas kalian. Ibu punya tanggungjawab lebih untuk mengarahkan kalian.” Keyra terkadang merasa sulit untuk menahan kesabaran kala menghadapi murid-muridnya yang berbuat onar. Dia merasa semua kata-kata nasehatnya tidak mempan lagi untuk bisa membuat murid-muridnya mau merubah sikap menjadi lebih baik.
“Bu, boleh nggak saya membantu menjelaskan? Semua ini ada kaitannya dengan saya.”
Baik Keyra, Raynald maupun Erlan terhenyak dengan kedatangan Ghaza.
“Silakan Ghaza.” Keyra memberi Ghaza kesempatan untuk menceritakan semua.
Erlan menatap Ghaza tajam. Sekarang dia hanya pasrah jika Keyra akan memarahinya habis-habisan.
“Erlan punya rencana jahat untuk mengerjai saya Bu. Dia meminta Kaisha meminta saya menemaninya ke kamar mandi. Dia akan menunggu kedatangan kami di kamar mandi. Dia berencana ingin mencium saya di sana.”
Keyra mendelik mendengar kata-kata Ghaza.
“Raynald memberitahu saya bahwa Erlan berencana untuk mengerjai saya, jadi dia meminta saya untuk nggak menuruti ajakan Kaisha. Saya punya rencana untuk mengerjai balik Erlan. Saya dan Kaisha tetap di kamar mandi. Setelah itu saya kunci pintunya dari luar. Erlan terkunci di dalam dan baru saya buka saat jam istirahat kedua. Karena itu Erlan marah pada Raynald dan mereka pun berkelahi.”
Keyra mengelus d**a dan beristighfar.
“Erlan, kenapa kamu merencanakan sesuatu yang buruk pada temanmu sendiri? Sebagai muslim kamu tentu tahu kan ada batasan yang jelas antara laki-laki dan perempuan non mahram? Kalau kamu mencium Ghaza itu atinya kamu telah menyentuh perempuan non mahram dan ciuman itu bisa mengantarkan ke sesuatu yang lebih. Tanpa ibu jelaskan kalian pasti sudah paham. Mencuri ciuman itu nggak bisa dibenarkan, ini namanya pelecehan. Perempuan itu harus dihargai, bukan dilecehkan.”
Erlan tertunduk. Dia membenarkan ucapan gurunya. Tapi egonya masih saja menguasai dan dia marah pada Raynald dan tak terima dengan sikapnya yang sudah ia anggap telah mengkhianati persahabatan mereka.
“Jadilah laki-laki yang gentle Lan. Laki-laki yang gentle itu nggak akan berani melecehkan perempuan. Kamu punya ibu, saudara perempuan, bagaimana jika mereka dilecehkan? Apa kamu bisa terima?” Keyra teringat pada malam dimana Giandra melecehkannya. Sekalipun ia sudah menguburnya, namun tetap saja selalu ada kekecewaan setiap kali ia teringat akan kejadian naas itu.
Erlan hanya mengangguk pelan. Keyra selalu mengingatkannya akan almarhumah kakaknya. Seandainya kakaknya masih hidup, tentu dia tak akan rela jika kakaknya dilecehkan.
“Ibu ingin kalian benar-benar berdamai dan kejadian ini tak akan terulang lagi. Berpikirlah yang matang sebelum melakukan sesuatu.” Keyra menyudahi pembicaraannya. Dia segera berbalik menuju ruang guru.
“Bu..”
Panggilan dari Raynald mengehentikan langkahnya. Dia berbalik menatap murid yang juga telah menjadi keponakannya.
“Maafkan kami Bu.” Ucap Raynald dan setiap menatap guru kesayangannya itu, selalu saja ada desiran yang tak bisa ia cegah.
Keyra hanya mengangguk.
“Oya Ray. Tolong balas WA om Gian ya. Kalau dia telpon, angkatlah telponnya. Anggap saja ini adalah caramu meminta maaf pada ibu.”
Raynald agak tersentak juga mendengar ucapan Keyra. Omnya telah menceritakan semuanya pada Keyra. Mungkin memang dia harus belajar untuk menerima semuanya.
Setelah Keyra berlalu dari hadapan mereka, Erlan dan Raynald masih saja saling mendiamkan dan enggan menoleh. Ghaza mendekat ke arah Raynald.
“Lo nggak apa-apa Ray? Ujung bibir lo kelihatan sedikit bengkak. Di UKS ada obat luka. Kalau lo mau gue bisa minta tolong Fahri buat ngobatin lo. Ntar gue ambilin obatnya.” Ghaza mengulas senyum ramah.
Erlan cemburu karena Ghaza begitu perhatian pada Raynald.
“Kenapa bukan lo aja yang ngobatin gue?” Raynald tersenyum menggoda. Tingkahnya ini makin membuat Erlan kesal.
Ghaza terlihat tersipu.
“Kalau lo mau diobatin, gue bisa ngobatin lo sebagai bentuk permintaan maaf gue. Jangan minta Ghaza ngobatin lo.” Erlan bicara dengan ketusnya.
“Lo cemburu kan? Lagaknya aja lo selalu musuhin Ghaza, padahal lo suka ama dia.” Cerocos Raynald dan membungkam Erlan untuk menyangkal. Erlan tediam.
“Udah jangan berantem lagi. gue tetep bakal minta Fahri buat ngobatin Raynald.” Ghaza menatap Raynald dan Erlan bergantian.
Erlan menatap Ghaza begitu tajam, “kenapa lo nggak minta dia buat ngobatin gue juga? Gue juga sakit ditonjok Raynald. Lo nggak peduli ama gue.”
Ghaza memansang tampang cemberutnya, “buat apa gue peduli ama orang yang pernah punya rencana buruk ke gue? Emang lo pantes dipeduliin?”
Erlan menelan ludah. Dia menatap Ghaza sekali lagi begitu dingin. Dia beranjak dan menendang tempat sampah di sebelah bangku tempatnya duduk sebelum ia melangkah meninggalkan Ghaza dan Raynald.
*****
Giandra sudah paham benar akan jam pulang Keyra. Siang ini dia berencana menjemput Keyra di sekolahnya. Dia tak bermaksud apa-apa, hanya saja dia merasa sudah saatnya untuk berlaku lebih manis pada istrinya. Lagipula dia tak tahu entah sampai kapan dia bisa menahan diri untuk tak menyentuh Keyra. Ia laki-laki normal. Melihat Keyra yang seringkali menggodanya, jantungnya kadang berdegup kencang dan tentu saja hal ini sangat menyiksanya. Sepertinya sudah saatnya dia memulai untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami, bukan hanya memberi nafkah lahir saja, tapi juga nafkah batin.
Giandra menghentikan mobilnya di seberang SMA Flamboyan. Matanya awas memandangi pintu gerbang, menunggu Keyra keluar. tak lama kemudian Keyra terlihat berjalan sendiri. Giandra hendak keluar dari mobil, namun ia urung membuka pintu mobil setelah sebuah mobil berhenti di depan Keyra. Keluarlah seorang laki-laki yang terlihat masih muda mengenakan pakaian olahraga. Ia menduga laki-laki itu adalah guru di SMA Flamboyan.
Perasaannya mendadak kesal dan campur aduk tak menentu saat Keyra masuk ke dalam mobil itu. Dia begitu kecewa. Keyra yang begitu menjaga jarak dengan laki-laki non mahram mau saja diajak naik satu mobil dengan laki-laki lain. Giandra mengepalkan tangannya kuat-kuat. Semua perempuan tetaplah sama. Meski terlihat begitu menjaga diri, nyatanya tetap saja dia bisa begitu mudah berinteraksi dengan lawan jenis.
Malam ini Keyra begitu bahagia karena Giandra pulang lebih awal. Selain itu atas inisiatif sendiri, suaminya sudah tergerak untuk sholat berjamaah di Masjid yang lokasinya di seberang apartemen. Entah ada angin apa yang berbisik di telinga suaminya hingga akhirnya suami menyadari akan kewajibannya sebagai seorang muslim. Karena sebelumnya dia sudah sering mengingatkan suaminya namun dianggap angin lalu oleh Giandra.
Giandra mengganti baju kokonya dengan piyama. Ia melirik istrinya sudah mengenakan gaun tidur warna putih yang tipis dan menerawang hingga terlihat jelas bra dan celana dalam yang berwarna hitam.
Ya Allah godaan apa lagi ini...Giandra merutuki diri sendiri yang rasa-rasanya tak sanggup lagi menahan hasratnya. Namun saat teringat kejadian tadi siang, Giandra kembali kecewa dan dia masih saja mendiamkan Keyra sejak pulang dari kantor.
“Aku senang lihat kamu mau sholat di Masjid. Mau aku pijit?” Kayaknya kamu terlihat lelah.”
Giandra tak menjawab. Dia merebahkan badannya, memunggungi istrinya. Keyra tak mengerti kenapa sejak pulang dari kantor, Giandra sama sekali tak mau menyapanya dan menanggapi perkataannya.
“Gi kenapa sikapmu begitu dingin malam ini? Ya kamu memang biasa dingin. Tapi malam ini serasa seribu kali lebih dingin. Apa ada yang salah denganku?” Keyra menatap punggung suaminya. Giandra tak bergeming.
“Please Gi, gimana bisa kita menyelesaikan masalah kalau kamu mendiamkan aku terus?”
Giandra membalikkan badannya. Ditatapnya Keyra dengan dingin.
“Pikir sendiri Key. Seharian ini kamu melakukan apa saja? Kenapa kamu pulang telat?”
“Aku tadi siang memang nggak langsung pulang. Ada urusan sekolah makanya aku pulang telat.”
“Urusan sekolah?” Giandra menyeringai, “apa iya ada urusan sekolah di mana guru perempuan naik mobil dengan guru pria, dan mereka cuma berdua?”
Keyra membelalakan matanya, “darimana kamu tahu aku naik mobil Bagas? Kayaknya kamu salah paham Gi. Aku nggak cuma naik berdua dengan Bagas. Waktu Bagas menawariku tumpangan, di dalamnya ada Bu Fitri juga. Kita ada acara pertemuan guru Biologi kelas 10 sampai 12 di SMA Pelita. Karena SMA Pelita satu jalur dengan rumah Bagas, makanya dia mengantar kita.”
“Aku nggak melihat ada penumpang lain di dalam.” Balas Giandra masih datar meski di dalam hati dia merasa lega bukan main.
“Ya jelas nggak lihat. Jendelanya tertutup dan berwarna gelap. Waktu itu kamu lihat dari mana?”
Giandra gelagapan, tapi dia tak mau menjawab.
“Oh jadi kamu tadi siang menjemputku? Kenapa nggak kasih kabar sebelumnya? Aku kan bisa minta kamu anterin ke SMA Pelita.” Keyra menatap suaminya begitu intens dengan tatapan menggoda. Giandra melirik bra dan celana dalam warna hitam Keyra yang tampak begitu jelas di balik gaunnya yang transparan. Matanya menurun ke bawah dan mendapati paha mulus istrinya yang juga begitu menggoda.
Giandra menelan ludah dan mati-matian dia menahan hasratnya. Namun yang di bawah sana sudah mulai bereaksi.
“Kamu cemburu pada Bagas? Dulu aku menyukainya sebelum kamu datang menghancurkan impianku untuk menikah dengannya.”
Giandra terperanjat. Rasa cemburu yang belum reda itu kini kembali membara.
“Aku nggak cemburu dan nggak peduli kalau dulu kamu pernah menyukainya.” Giandra berusaha cuek meski dalam hatinya sudah berkecamuk perasaan kesal dan cemburu yang tak tentu arah.
“It’s okey. Kamu tahu, aku juga punya kesabaran Gi. Kalau kamu terus-terusan mencampakkanku, aku sadar benar di luar banyak laki-laki yang menginginkanku dan siap memberi segudang perhatian untukku. Dan kalau kamu memang nggak peduli mengenai soal ini, mungkin nggak ada salahnya jika aku menikmati perhatian dari mereka. Aku nggak mau menyia-nyiakan waktuku untuk mengharap cinta yang tak pernah mau membalasku.”
Giandra tersentak mendengar ucapan Keyra yang begitu tegas.
“Apa itu artinya kamu akan meninggalkanku?”
Keyra menatap suaminya dengan begitu serius. Tentu dia tak sedikitpun berniat meninggalkan Giandra, namun sesekali dia mesti memberi Giandra pelajaran.
“Kalau kamu terus seperti ini, mungkin aku nggak akan punya pilihan lain.”
Giandra segera mendorong tubuh istrinya hingga terbaring. Giandra menindihnya. Jantung Keyra berdegup kencang. Giandra mencium bibir istrinya dengan lumatan-lumatan yang begitu ganas. Dia hentikan ciumannya sejenak dan menelusuri wajah istrinya dengan tatapan yang begitu tajam.
“Kamu milikku Key. Aku nggak akan melepasmu. Dan malam ini kamu akan menjadi milikku seutuhnya.”
*****