Keselamatan adalah yang paling penting untuk keadaan sekarang ini. Meskipun banyak pertanyaan yang muncul dalam benak mereka, tapi itu bisa dibicarakan nanti.
Yah, mereka tidak sadar jika retakan botol yang seharusnya kuat meluluskan cairan Zingi curas merembes keluar hingga cairannya diresap oleh pembungkus botol berbahan kain linen rami. Cairan yang diresap turut diserap kembali oleh air sungai Amazzon hingga menyebar di sekitar perairan.
Tidak ada yang menyadari hal itu. Bahkan mereka pun tidak mengingat bahwa ada sesuatu yang seharusnya lebih penting untuk mereka jaga.
Zea masih berkonsentrasi untuk menyelamatkan diri, berenang sampai ke area daratan Hutan Hujan Amazzon. Namun, tiba-tiba saja kepalanya mengalami migrain.
Mereka tidak mau sampai meregang nyawa seperti para kru helikopter yang sudah disantap habis oleh ular besar yang mereka perkirakan adalah Anaconda raksasa. Sungguh, tubuh mereka lemas saat melihat kejadian beberapa menit lalu langsung dengan mata kepala mereka sendiri.
Meski mereka melihat dua orang pria itu ditelan hidup-hidup oleh Anaconda raksasa di hadapan mereka langsung, ada satu hal yang membuat mereka terkejut. Kenapa para Anaconda raksasa itu tiba-tiba menghindar dari mereka dan pergi begitu saja. Sementara mereka juga manusia yang bisa dilahap habis.
Yah, mereka sempat bertanya-tanya saat kejadian tadi berlangsung. Tapi tidak, sekarang bukan saatnya berpikiran buruk. Karena yang paling penting adalah segera keluar dari sungai ini.
…
Beberapa menit kemudian.,
“Zea?! Apa kau masih kuat?!” teriak Hugo yang hampir sampai di area daratan. Ia melihat ke belakang, dr. Viona sudah dibantu oleh Axton. Sedangkan Zea, ia lihat wanita itu begitu lemas hingga lama sampai ke permukaan daratan.
Zea masih mendengar teriakan Hugo, ia hanya bisa mengangguk kecil.
“Iya, aku masih kuat!” jawab Zea sedikit berteriak, ia mengeluarkan seluruh tenaganya untuk berenang menyusul mereka.
Axton mempercepat gerakannya untuk membawa dr. Viona sampai di pinggiran hutan.
“Biar aku yang membantunya!” teriak Axton memberi mereka isyarat.
Hugo melirik Axton masih membantu dr. Viona. Dia pikir, tidak mungkin dia membiarkan Zea lama sampai di daratan. Tanpa berpikir panjang, Hugo mengambil sikap dan kembali mendekati Zea.
Dia berenang secepat mungkin untuk membantu wanita yang sudah pucat pasi itu.
“Zea?! Ayo, aku bantu!” ujarnya dengan napas tersengal karena kelelahan.
Zea sudah sangat pusing sekali.
“Aku bisa sendiri, Hugo. Terima kasih,” ujarnya tanpa menolak bantuan pria bertubuh gempal itu.
Hugo membawa Zea di punggungnya, ia lalu berenang menuju daratan. Walau dia juga sudah lemas sekali, tapi setidaknya mereka harus saling membantu agar sama-sama selamat dari air sungai ini.
“Zea? Kau masih bisa bertahan?! Ayo, jangan lemas begini!” ujar Hugo khawatir terhadap wanita ini. Dia hanya tidak ingin jika orang yang membawa cairan Zingi curas justru tidak bisa bertahan disini, sementara mereka belum menemukan cara untuk meminta bantuan dari Negara pusat.
“Masih, Hugo. Tapi … kepalaku sedikit pusing.” Zea bergumam pelan tanpa melepas rangkulannya di leher Hugo.
Tidak peduli jika dia harus menekan dadanya di punggung Hugo, sebab keadaan saat ini sangat genting sekali. Pikiran mereka hanya fokus pada keselamatan diri.
Axton melihat Hugo sudah menggendong Zea. Entah kenapa, hatinya terasa sedikit panas. Seharusnya dia yang membantu Zea.
Setelah melihat dr. Viona aman, dia lalu duduk disana sambil mengatur napasnya. Melirik Zea yang sepertinya terlihat pucat.
Hugo memapah Zea untuk duduk pada batang kayu besar yang ada disana, dimana dr. Viona berada.
“Duduk disini. Tenangkan dirimu,” ujar Hugo lalu memilih duduk di bawah tanpa alas apapun sama seperti Axton.
Seperti yang dilakukan Axton, Hugo juga melempar pandangannya ke arah sungai Amazzon yang sangat berubah drastis. Begitu juga dengan dr. Viona dan Zea, mereka mulai duduk berdekatan dan saling memeluk satu sama lain.
..**..
Mereka sudah basah kuyup. Tidak ada suara yang terdengar di Hutan Hujan Amazzon ini. Yah, mereka sadar jika Hutan Hujan Amazzon ini sudah mengalami banyak sekali perubahan.
Bahkan penduduk Amazzon asli saja sudah tiada lagi di hutan ini. Kepastian itu membuat Hutan Hujan Amazzon dijuluki sebagai Hutan dan Perairan paling ganas di dunia. Setidaknya itu yang sudah mereka ketahui melalui berita langsung dari hasil penelitian ratusan tahun silam.
Suasana diantara mereka sangat hening. Akhirnya, mereka terdampar di area Hutan dan Sungai mematikan ini.
Hanya helaian napas dan sisa tenaga yang mereka butuhkan untuk bertahan sekarang. Syok, tidak ada satupun dari mereka yang membuka suara. Hanya saja, pandangan mereka melihat ke arah sekitar Hutan Hujan Amazzon. Sungai Amazzon juga tidak luput dari bidikan mata mereka sejak tadi.
Hutan Hujan Amazzon ini terlihat sangat berbeda. Bahkan keganasan yang mereka lihat melalui video dokumenter terakhir dari hasil penelitian 2 tahun lalu, sangatlah berbeda dari aslinya.
Hutan ini lebih menyeramkan jika berada langsung di dalamnya. Seperti mereka saat ini tengah duduk menghadap perairan yang sangat mematikan.
Perairan Amazzon yang juga semakin melebar dan sangat luas. Mereka tidak habis pikir jika perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi ternyata bisa mengubah dunia menjadi sangat berbahaya.
Bahkan Sungai dan Hutan Hujan Amazzon yang dulunya masih bisa terjamah dan dinikmati para wisatawan, kini telah berubah menjadi monster mengerikan. Yah, area Amazzon ini memang sudah ditutup sejak ratusan tahun lalu.
Bahkan tidak ada satupun Ilmuwan yang berani berkunjung di daerah ini lagi sejak 2 tahun lalu. Sejak tragedi mengerikan itu terjadi, dmana salah satu Ilmuwan hampir kehilangan nyawa karena hendak dimangsa oleh salah satu predator ganas di Sungai Amazzon ini. Lalu, sebagian Ilmuwan lagi hampir saja mati karena diserang oleh ribuan nyamuk berbisa.
Banyak hal yang tidak akan habis dibicarakan bila mengambil topik Sungai dan Hutan Hujan Amazzon. Banyak misteri yang belum terpecahkan atas beberapa hal yang tiba-tiba saja membuat penduduk pribumi Amazzon lenyap tanpa jejak dan itu terjadi ratusan tahun lalu.
Yah, itu adalah sebuah misteri yang tidak akan pernah terpecahkan. Lalu, para Ilmuwan menganggap bahwa itu adalah transisi alam yang harus terjadi.
Alasan yang cukup logis untuk meyakinkan para wisatawan atau sang dokumenter terbaik untuk tidak lagi menginjak area Amazzon. Sampai pemerintah mengatakan secara resmi bahwa Hutan Hujan Amazzon dan Sungai Amazzon adalah area illegal bagi siapapun. Jika berani melanggar, maka akan mendapatkan sanksi sangat berat dari Negara yang bersangkutan.
…
Beberapa menit kemudian.,
Mata mereka menatap ke arah sungai sambil memperhatikan area di sekitar sana. Udara di area Amazzon ini memang terasa dingin sekali. Atau mungkin karena mereka masih basah kuyup menjadi alasan kuatnya.
Hening, hampa, dan kosong. Hanya bunyi kicauan burung yang entah dari arah mana, terdengar di telinga mereka.
Lalu, suara lain yang tidak tahu asal usul dan wujudnya. Suara misterius yang mereka pikir, mungkin berasal dari gesekan pepohonan. Atau mungkin suara dari dalam sungai yang berguncang. Atau mungkin suara hembusan angin. Dan itu sangat horror sekali.
Sejujurnya mereka berempat masih dilanda emosi. Kejadian belasan menit lalu masih terekam di otak mereka. Dimana Zea hampir saja dibunuh karena dijatuhkan dari atas helikopter.
Mereka bertengkar dan mengakibatkan helikopter kehilangan keseimbangan. Akhirnya terjatuh di perairan Amazzon.
Mengingat itu, Axton menghela panjang napasnya. Dia berusaha mengalihkan pikiran buruknya ke hal lain.
“Aku selalu mengikuti perjalanan hutan ini sampai terakhir kali mereka memeriksa keadaan hutan dan sungai ini,” ujar Axton mulai memecah keheningan diantara mereka.
Matanya masih menatap lurus ke depan. Mengamati perairan yang sangat tenang, tapi menunjukkan sisi seram di dalam sana.
Mereka bertiga melirik ke arah Axton, mendengarkan kalimat pertamanya sejak mereka terdiam selama hampir 20 menit yang lalu.
“Di Abad ke-21, hutan ini masih bisa dijamah walau saat itu hasil penelitian mengatakan jika paru-paru dunia hampir rusak karena ulah manusia,” ujar Axton lagi.
Zea mengulum senyum mendengarkan kalimat Axton. Kepalanya mengangguk kecil, membenarkan kalimat pria berusia 28 tahun yang merupakan teman satu profesinya. Dia juga tahu jika Axton mencoba untuk menenangkan rasa kekhawatiran yang melanda mereka.
Hugo melempar pandangannya ke arah lain, dimana Hutan Hujan Amazzon ini sangat pekat sekali. Pepohonan tinggi sangat menyejukkan mata. Tetapi di dalamnya, tidak memungkinkan mereka untuk bisa kembali ke Washington dengan selamat seandainya hewan buas menyerang.
“Dulu memang hampir punah. Tetapi sekarang sudah kembali seperti sedia kala. Bahkan sudah tidak bisa terjamah lagi oleh manusia karena sangat berbahaya,” pungkas Hugo mengambil sesuatu yang ada di sekitarnya, lalu melemparnya ke arah sungai walau tidak tepat sasaran.
Ucapan Hugo membuat dr. Viona menarik panjang napasnya. Dia memejamkan erat kedua matanya, mengatur konsentrasinya sendiri.
Mereka memang harus mengistirahatkan tubuh sejenak, sebelum berpikir keras mencari jalan keluar untuk menghubungi kantor pusat dan memberitahu keberadaan mereka sekarang. Meski mereka tahu, jika Washington pasti akan mencari keberadaan mereka yang terdampar di hutan lebat ini.
“Kalian sedang mendongeng?” tanya dr. Viona menyindir mereka berdua seakan tidak khawatir dengan keadaan sekarang ini. Yah, dia tahu kalau dua orang pria itu tengah mengabaikan rasa kesal dari kejadian mengenaskan yang terjadi beberapa menit lalu.
Berbeda dengan Zea, dia justru masih diam saja. Selain menenangkan dirinya sendiri agar pusingnya segera mereda, ia juga menenangkan degup jantung yang masih berdetak tidak normal. Yah, Zea merasakan itu.
Axton dan Hugo melihat dr. Viona yang sudah berwajah kesal.
“Dok, lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita hanya bisa menunggu mereka untuk menjemput kita,” ujar Hugo melempar pandangannya ke arah sungai.
Axton menghela panjang napasnya. Dia melirik Zea, sepertinya wanita itu masih sangat lemas di pelukan dr. Viona.
“Apa ada bagian tubuhmu yang terluka, Zea?” tanya Axton menatapnya khawatir.
Mereka melirik Zea. Sedangkan Zea masih menatap lurus ke depan. Kepalanya menggeleng pelan.
“Tidak. Aku baik-baik saja. Tapi tadi … sepertinya puing helikopter mengenai bagian kepalaku. Tidak terasa sakit, hanya saja sedikit luka,” ujarnya memberitahu.
Terkejut, dr. Viona langsung menegakkan tubuh Zea.
“Yang sebelah mana? Coba aku lihat?” cecarnya mulai mengecek bagian luka yang dikatakan oleh Zea.
Kening Zea berkerut. Dia tidak terbiasa diberi perhatian seperti ini. Seperti anak kecil saja, pikirnya.
“Dokter, sudahlah. Aku baik-baik saja. Kita hanya perlu memikirkan cara untuk memberi sinyal pada mereka kalau kita terjatuh disini,” ujar Zea melihat mereka bergantian.
Mereka juga memikirkan hal yang sama. Axton menghela kasar napasnya.
“Aku tidak percaya kalau mereka bisa berbuat seperti ini!” ketus Axton mulai mengeluarkan isi hati yang sejak tadi ia pendam.
Hugo beranjak dari duduknya. Dia melihat sekitar mereka yang hanya terlihat warna hijau, langit, dan sungai. Kakinya melangkah mendekati bibir sungai.
“Kenapa kalian tidak curiga sejak awal? Aku sudah menduga jika salah satu dari mereka akan membahayakan kita. Aku juga sedikit heran, bagaimana mungkin kita ke Swiss menggunakan helikopter? Sedangkan apa yang kita bawa itu adalah bahan uji coba disana? Apa kalian tidak memikirkan hal itu??” Hugo mencoba untuk membuat mereka sadar.
Yah, dr. Viona berulang kali menarik napas. Dia masih mengingat kejadian tadi. Tapi dia juga tidak mau jika mereka terus memikirkan hal yang sudah terjadi.
“Kalau kalian terus membahas masalah yang sudah terjadi, darah dan Anaconda itu terus terbayang di benakku. Lebih baik kita melupakannya. Dan mawas diri dari sekitar area ini,” ujar dr. Viona sambil memperbaiki rambut Zea yang kusut.
Zea menepis ringan tangan dr. Viona.
“Dokter, sudahlah. Aku bukan anak kecil lagi. Jangan seperti ini,” gumamnya merapikan rambutnya sendiri. Dia mulai berekspresi kesal.
Tidak sakit hati, dr. Viona hanya diam saja sembari mengulum senyum. Dia melihat Zea menggulung asal rambut basah itu ke atas.
“Tapi aku sudah menganggapmu sebagai putriku sendiri, dr. Zea. Apa itu salah?” ujar dr. Viona memicingkan matanya hingga membuat Zea terpaksa untuk mencetak senyum di kedua sudut bibirnya.
“Terima kasih … Mommy.” Zea membalasnya dengan sedikit mendekatkan wajahnya ke arah dr. Viona hingga wanita berusia 39 tahun itu tersenyum sambil mengusap lengannya yang basah.
Axton beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati pinggiran sungai sembari mengusap area bokongnya yang masih basah dan dipenuhi oleh tanah setengah kering.
“Tidak pernah terpikirkan olehku, aku bisa melihat kejadian naas tadi. Dan yang membuatku heran … kenapa Anaconda itu pergi begitu saja? Apa karena dia sudah kenyang memakan seorang saja?” tanya Axton melirik mereka.
Hugo menelaah kalimat Axton yang ternyata juga berpikiran sama dengannya. Dia beralih melihat dr. Viona dan Zea yang sudah beranjak dari sana.
“Tidak mungkin, Axton. Aku melihat 2 Anaconda tadi. Mereka melahap 1 orang saja? Sedangkan tubuh mereka sangat besar seperti tadi? Itu mustahil,” ujar Hugo menyeringai.
Axton memicingkan matanya ke arah Hugo.
“Lalu, kau pikir Anaconda itu seperti dirimu? Dengan tubuh besar lalu harus makan sebanyak mungkin agar kenyang dan tertidur lama, begitu?” sindir Axton seraya mengejek Hugo.
Entah kenapa, telinga Zea sedikit gatal dengan kalimat Axton yang terdengar body shaming.
“Apa kau pikir tubuh kecil sepertiku cukup kenyang dengan makan satu kali sehari?” balas Zea menohok, menatap tajam Axton.
Hugo mulai diam mendengar kalimat Axton. Yah, dia sadar jika tubuhnya memang besar dan bisa dikatakan bulat seperti bola.
Dan dr. Viona memahami kondisi saat ini. Tiga orang ini memang akan tetap seperti ini bila berbeda pendapat. Dia kembali membuka suara.
“Sudahlah. Lupakan kejadian naas tadi. Anggap saja itu adalah balasan dari alam karena mereka sudah berniat jahat terhadap kita. Sekarang, kita hanya perlu berdoa supaya pusat tahu posisi kita. Dan kita harus tetap disini sampai mereka datang,” ujar dr. Viona memberi nasehat kepada tiga anak muda itu.
Zea membuang kasar wajahnya ke arah lain. Dia berusaha meredam segala emosinya dan tidak memusingkan kalimat Axton barusan.
Hugo menatap ke arah sungai.
“Helikopter sudah remuk. Tapi—” ucapannya terhenti kala melihat puing-puing helikopter masih mengapung disana.
“Mungkinkah ada barang-barang yang bisa kita gunakan?” sambung Hugo lagi sambil memperbesar pandangannya, mencoba untuk melihat dengan jelas ke arah sungai.
Axton menggelengkan kepala.
“Jangan bercanda, Hugo!” ketus Axton menyepelekan.
Hugo menoleh ke belakang, menatap mereka bertiga bergantian.
“Coba kalian pikirkan? Mungkin saja diantara puing-puing disana ada barang yang bisa kita gunakan untuk menghubungi mereka?!” ujar Hugo lagi seakan tengah mendapat ilham.
Mereka semua melihat ke arah yang sama. Setelah beberapa detik berpikir cepat, Zea menggelengkan kepalanya.
“Tidak mungkin. Jika pun ada, semua barang pasti sudah rusak terendam oleh air. Lagi pula … kita tidak perlu ke tengah sungai hanya demi mencari barang berharga yang belum tentu bisa digunakan,” jelas Zea.
Axton dan dr. Viona mengangguk seraya membenarkan kalimat Zea.
“Iya, benar. Dan kita juga belum tahu alasan pasti Anaconda itu pergi meninggalkan kita disana. Atau kemungkinan lain, mereka bisa tiba-tiba datang dan menyerang kita dengan berkelompok,” ujar dr. Viona.
Dia melihat ke arah dr. Viona. Axton kembali membuka suara.
“Anaconda bisa hidup dimana saja, dr. Viona. Bahkan di dalam hutan ini sekalipun. Aku masih berpikir keras, bagaimana jadinya jika mereka lambat menjemput kita disini,” ujarnya melempar pandangan ke arah lain.
Mereka berempat terdiam. Bukan tidak ingin melanjutkan pembicaraan, tapi masing-masing dari mereka berpikir keras. Mencari solusi dari keadaan mereka saat ini selain berdiam diri dan menunggu bantuan datang.
Saat melihat ujung sungai Amazzon yang semakin terlihat lebar, tiba-tiba saja Hugo teringat sesuatu. Jika saja mereka tidak selamat dan ikut termakan oleh Anaconda raksasa itu, lalu bagaimana jadinya dengan sampel cairan yang mereka bawa.
Hugo langsung membelalakkan kedua matanya. Dia berbalik badan, melihat ke arah Zea.
“Zea?! Cairan Zingi curas?!” teriak Hugo.
Deg!
Mereka semua menatap satu sama lain.
“Oh Tuhan!”
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)