2. Fight or Flight?

1677 Words
Mungkin hanya salah lihat. Rex meyakinkan dirinya sendiri jika pandangannya tadi hanya ilusi optik semata. Ia menghampiri Lusi. “Bu Lusi dari mana sih? Waktu saya sudah kebuang banyak nih gara-gara nyari Ibu,” protes Rex. “Saya dari toilet tadi. Toilet di sini rusak jadi harus ke toilet ruang dosen. Oh, iya. Saya mendapat perintah langsung dari Bu Santy kalau saya harus mengawasi pekerjaan kamu di sini, Rex.” “Takut saya kabur gitu?” Lusi menumpuk buku-buku bacaan yang berantakan di atas mejanya. “Betul sekali.” Rex mengangkat sebelah ujung bibirnya. Sampai segitunya dekan sekaligus tantenya itu memperlakuannya. Ia bukan kriminal. Rex menggeram dalam hati. “Tapi, saya tidak akan berada di sini. Di sini ada kamera CCTV. Saya akan cek dari rumah apakah kamu kerja dengan baik atau justru mengacau,” lanjut Lusi. Rex mengembus napas lega. Ia bisa gila jika terus diawasi. Soal kamera CCTV, itu bukan masalah besar dibanding dengan keberadaan Lusi sebagai mata-mata adik papanya. “Oke, Bu.” Lusi menyerahkan tumpukan buku yang baru ia bereskan pada Rex. “Simpan di rak sesuai dengan kategori masing-masing. Perlengkapan kebersihan ada di ruangan di samping toilet. Besok pagi lantainya harus sudah bersih dan licin selicin pipinya Amanda Manopo.” Rex mengangkat sebelah alisnya sambil menerima tumpukan buku. “A-Amanda siapa, Bu?” “Ah, sudahlah. Kamu mana tahu Amanda Manopo. Yang penting, lantai perpustakaan ini harus sudah bersih besok pagi. Jangan lupa kunci pintunya kalau pekerjaan kamu sudah beres dan titipkan pada Pak Car di depan.” Lusi mewanti-wanti Rex agar menintipkan kunci perpustakaan pada satpam yang berjaga di pos di gerbang kampus. “Iya, Bu.” “Kalau begitu saya pulang. Selamat bekerja.” Lusi tersenyum mengejek lalu melambaikan tangan. “Bye bye, Rexi.” Dasar emak-emak sinetron. Rex mencebik. Atmosfer di dalam perpustakaan kembali tenang dan sunyi setelah Lusi meninggalkan Rex sendirian. Rex bergegas menuju rak buku dan meyimpan kembali buku-buku di tangannya sesuai dengan yang diperintahkan Lusi. Tugas pertama, beres. Tugas kedua dimulai. Rex menuju ruang penyimpanan alat kebersihan untuk mengambil sapu dan alat pel. Namun, ia dihadapkan pada sebuah dilema ketika tiba di sana. Lampu di ruangan itu mati. Rex mendengkus. Perasaan kesal semakin menggerogoti tekadnya. Sempat terlintas untuk balik kanan dan meninggalkan perpustakaan, tapi Rex tidak mau dianggap sebagai pengecut yang tidak mau menerima hukuman. Jiwa ksatrianya meronta agar Rex menunjukkan keberanian. Rex nekad masuk ke ruangan tersebut. Dengan bantuan cahaya dari ponselnya, Rex berhasil membawa keluar sapu, ember, dan alat pel. Rex meletakkan semua peralatan kebersihan di tengah ruang perpustakaan. Ia lalu menepuk dahinya. “Payah, toiletnya kan rusak. Ngepel pake air apaan? Masa iya mau ngepel pake air kencing?” Braaak! Suara benda jatuh menyentak Rex. Rex mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ia kemudian berjalan ke deretan rak buku. Di deretan terakhir dekat jendela, ia melihat sebuah buku tergeletak di lantai. Mengagetkan saja. Rex mengambil buku itu. Ketika ia akan menyelipkan buku tersebut di antara buku-buku lain di rak, iris cokelat Rex menangkap pergerakan di tengah-tengah ruangan dari celahnya. Ada orang yang mondar-mandir di sana. Sayangnya, Rex hanya bisa melihat kemeja hitam yang dikenakan orang itu. Butiran keringat dingin mulai bermunculan dan meluncur dari dahi ke samping wajah Rex. Jantungnya berdenyut kencang seiring stimulasi otaknya yang membentuk pemikiran-pemikiran penuh antisipasi. Bukan hal mistis yang Rex takutkan, tapi manusia berhati iblis yang bisa berlaku sadis. Bayangan beberapa villain dari film Seven hingga Don’t Breath menyambangi benak Rex dan membuatnya merinding. Rex masih bergeming di balik rak buku ketika tiba-tiba, “Rex, ngapain lu bengong di situ?” Pertanyaan Jon mengembalikan kesadaran Rex. “Sialan lu ngagetin gue aja.” Rex mengembus napas melepas ketegangan yang beberapa saat lalu menyergapnya. “Gue pikir elu berdua udah lupa gue di sini.” “Janji adalah janji. Tidak boleh diingkari kalau tidak mau terjadi tragedi. Kita akan tetap saling menemani.” Jon megumandangkan puisinya. “Sok puitis lu. By the way, anyway, busway, thanks ya sudah nemenin gue malam ini. Bosi mana?” “Tuh, di sana.” Jon menunjuk ke arah Bosi yang sedang asyik dengan mainan barunya, gagang alat pel, di tengah ruangan. Menjawab rasa penasarannya, Rex beringsut ke ujung rak buku lalu melongok melihat Bosi. Ia tersenyum sendiri. Gila, saking parnonya ia hampir berpikiran yang aneh-aneh. “Kenapa lu senyum-senyum?” Jon mulai kepo dengan tingkah Rex. “Lucu aja melihat si Bosi. Geser tuh bocah. Masa gagang pel-an jadi pedang-pedangan. Dia pikir tuh gagang pel-an pedang Excalibur-nya King Arthur apa?” Rex dan Jon lalu kembali ke depan. Melihat kedua sahabatnya mendekat, Bosi meletakkan kembali alat pel ke lantai. Ia melontarkan senyuman pada Rex. “Bisa banget Bu Dekan ngasih hukuman ke elu, Rex,” ledek Bosi. “Tante gue emang tega. Mana toiletnya rusak lagi. Gimana gue mau ngepel coba?” keluh Rex. “Pusing amat si lu. Di depan sana tuh, deket taman ada kran air. Elu bisa ngambil air dari sana,” saran Bosi sambil menggulung lengan kemeja hitamnya lalu meraih ember plastik biru di hadapannya. “Sini deh gue ambilin airnya.” “Thanks, Bos.” Rex tersenyum bangga. “No what what.” Jawaban Bosi otomatis membuat Rex dan Jon melongo. “Maksud lu apa?” tanya Rex dan Jon hampir bersamaan. Bosi berdecak. “Elu berdua emang o’on. Bahasa Inggris paling gampang aja enggak ngerti. No artinya tidak. What itu apa. No what what berarti, tidak apa-apa. Ngerti lu berdua?” Rex dan Jon sontak tertawa. Kelakuan dan bahasa Bosi emang kadang suka aneh, tapi itulah kelebihan Bosi. Percaya diri yang kelewat tinggi. “Mengadi-ngadi lu, Bos.” Jon membalas dengan memelesetkan kata “mengada-ngada”. Rex meremas rambutnya lalu mendesis, “Harga diri gue sebagai mahasiswa paling keren tak terbantahkan bisa anjlok kalau ada yang melihat gue ngepel di sini.” “Yaelah, Rex. Kekerenan elu enggak akan luntur cuma gara-gara elu ketahuan ngepel. Si Emi juga pasti bangga melihat calon cowoknya seorang pekerja keras dan bertanggung jawab,” bantah Jon. “Ya ampun. Gue belum nelepon Emi. Gue janji mau balikin bukunya Emi yang gue pinjem malam ini. Sebentar ya.” Rex menjauh beberapa langkah dari Jon dan Bosi. Ia kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menghubungi gebetannya. Dengan bantuan Jon dan Bosi malam pertama menjalani hukuman berlalu dengan cepat dan lancar, selancar arus kendaraan di jalan Tol pada jam 02.00 pagi, kalau tidak ada perbaikan jalan. Namun, Lusi mengetahui jika Rex bekerja tidak sendirian dari rekaman video CCTV. Lusi melaporkan pada dosen PA yang langsung tembus ke telinga Santy. Santy langsung mencak-mencak memarahi Rex di telepon. Santy bilang Rex tidak konsisten. Rex wajib menjalani hukuman sendirian tidak boleh ada yang membantunya, kalau cuma ngeliatin doang sih boleh. “Perintah Bu Santy begitu, Rex. Kamu harus mengerjakannya sendirian. Kalau kamu mau ditemani teman-teman kamu, boleh saja. Tetapi, saya rasa itu tidak perlu. Keponakan saya, anak fakultas Ekonomi akan mengawasi kamu secara langsung mulai nanti malam,” papar Lusi saat memanggil Rex ke perpustakaan siang itu. Pundak Rex melorot. Protes pun percuma. Tantenya tidak akan memberi pengampunan, menambah hukumannya mungkin iya. Rex bersandar lalu bersedekap. Ia menyesali kenapa ia sampai lupa soal CCTV itu. Tatapannya memandang kosong ke dinding melintasi bahu Lusi. Tega banget sih harus jadi upik abu sendirian. Rex mengumumkan hasil rapat tertutupnya dengan Lusi kepada Jon dan Bosi. Mereka tetap berniat akan menemani Rex, tapi Rex melarang. Ia harus berjuang sendirian demi mengembalikan nama baiknya. Selama ini Jon dan Bosi sudah cukup membantu. Biar saja kebersamaan mereka hanya sampai matahari kembali ke peraduannya, toh dua minggu itu waktu yang singkat. Lagi pula, di kelas dan akhir pekan mereka masih bisa menghabiskan waktu bersama, pikir Rex. Rex mengunci mobilnya melalui pengendali jarak jauh sambil berjalan keluar dari pelataran parkir. Seperti malam lalu, malam itu pun kedatangan Rex disambut oleh gerimis. Rex berlari kecil melintasi jalan setapak yang merupakan jalan pintas menuju perpustakaan. Suasana tidak seperti biasanya. Tidak terlihat satu pun mahasiswa yang mengambil kelas ekstensi berada di sekitar kampus. Kesunyian mengiringi langkah Rex. Suara rintik hujan yang menerpa atap gedung di samping jalan setapak yang dilalui Rex bagai irama mencekam yang perlahan memenuhi telinga Rex, merayap ke punggungnya, dan berdesir hingga ke pembuluh nadinya. Rex mempercepat langkahnya, hampir berlari, namun gedung perpustakaan yang gelap menghentikan langkahnya seketika. “Damn! What happened to you, universe?!” Rex mengumpat sendiri. Semesta saja tidak mau bekerja sama. Rex berbalik dan .... Double damn! Jantung Rex hampir melompat keluar ketika ia melihat seorang pria yang tidak lebih tinggi darinya dengan mata melotot sudah berdiri di hadapannya. “Ini kunci perpustakaannya, Bang,” ucap pria itu sambil menunjukkan kunci di tangannya. Rex mengembus napas lega. Ternyata pria itu Carsidi, satpam senior di kampus ini. Mata Carsidi memang besar dan lebar. Meskipun tidak sedang memelotot, pria itu selalu terlihat sedang melakukannya. Mungkin karena itulah pihak kampus memilih Carsidi jadi satpam terbaik. Ia terlihat garang dalam segala situasi dengan mata besar dan kumis tebalnya. “Pak Car ngagetin saya saja.” Rex meraih kunci dari tangan Carsidi. “Lah, saya pikir Bang Rex tahu saya jalan ngikutin Abang. Tadi Bu Lusi pulang lebih awal, jadi kuncinya dititipkan sama saya.” “Oh, gitu. Sorry ya, Pak Car. Saya lagi enggak konsen nih, makanya parno terus.” “Enggak apa-apa, Bang. Saya kembali ke pos ya. Selamat bertugas.” Rex membuang jauh-jauh perasaan takutnya. Ia membuka pintu perpustakaan kemudian menyalakan seluruh lampu di sana, lalu segera mengambil seluruh perlengkapan kebersihan. Setelah menyapu dan mengambil air dari kran di dekat taman, Rex dengan cekatan mengepel. Dimulai dari ruang baca di belakang deretan rak buku. Rex meletakkan ember berisi air di sana, sementara gagang alat pel dengan semprotan otomatis masih berada di tangannya. Saat Rex sudah siap memaju-mundurkan alat pel itu, tiba-tiba iris cokelatnya melihat seorang gadis berambut gelap sebahu yang mengenakan blus berwarna merah sedang duduk di balik meja baca di sudut ruangan. Jantung Rex berdegup kencang. Suaranya yang seperti derap langkah satu peleton pasukan siap tempur memenuhi telinganya sendiri. Hasrat fight or flight-nya memicu kegalauan tingkat dewa. Antara ingin berlari dan menghadapi, Rex bingung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD