Pertemuan Kembali

1278 Words
Senin pagi adalah waktu tersibuk bagi siapa pun, tak terkecuali bagi seorang Reina Valeria yang pagi itu harus segera berangkat kerja karena dapat jadwal shift satu. Jadwal kerja yang memaksanya harus bangun lebih pagi karena takut jika perjalanannya akan terhambat dengan banyaknya orang yang melakukan aktifitas pagi hari, sama sepertinya. "Buu! Aku berangkat yah?" teriak Reina dari arah ruang tamu memanggil ibunya yang sedang sibuk di dapur. "Kamu enggak sarapan dulu?" tanya sang ibu dengan teriakan yang sama. "Enggak. Di kantin saja. Aku takut terlambat." Tak lama sang ibu pun muncul dengan tangan yang masih belepotan adonan terigu. Kegiatan setiap pagi di mana wanita itu membuat berbagai macam jenis kue untuk dititipkan di pasar atau toko yang menjajakan beraneka macam panganan tersebut. "Ya sudah, hati-hati di jalan!" seru sang ibu ketika putri semata wayangnya sudah menaiki kendaraan roda duanya hendak keluar halaman rumah. "Iya, Bu," jawab Reina sambil mendorong motornya, menghampiri sang ibu untuk mencium telapak tangannya. Ibu Cintya adalah seorang single mother yang sudah hampir lima tahun berjuang menghidupi keluarganya, ia dan Reina saja. Sang suami yang meninggal ketika Reina baru saja lulus SMA, membuatnya banting tulang untuk membiayai kehidupannya yang otomatis berubah paska ditinggal sang kepala keluarga. Cita-cita Reina yang sebelumnya ingin kuliah setelah lulus sekolah, tak mampu Bu Cintya kabulkan karena keterbatasan biaya yang ia miliki. Suaminya bukanlah seorang pegawai negeri yang mewariskan uang pendidikan setiap bulannya atau seorang pengusaha yang memiliki banyak uang dan harta. Lelaki yang meninggal karena serangan jantung itu, hanyalah seorang buruh karyawan biasa yang mengandalkan gaji sesuai upah yang berlaku. Otomatis ketika ia meninggal maka tak ada simpanan apapun yang bisa sang istri gunakan untuk membiayai putrinya kuliah. Setelah akhirnya Reina lulus sekolah dengan keterbatasan IQ yang dimilikinya, sang ibu bersyukur sebab anak gadisnya bisa diterima kerja di sebuah hotel bintang lima sesuai dengan disiplin ilmu yang ia miliki ketika menempuh pelajaran di bangku SMA. "Semua tentunya berkat doa Ibu. Reina tidak mungkin bisa bekerja di tempat bagus seperti ini dengan nilai dan otak Reina yang Ibu tahu sendiri, terbatas," kekehnya kala itu, yakni lima tahun lalu ketika ia baru beberapa bulan lulus sekolah, setelah hampir putus asa karena tak ada perusahaan yang tidak mau menerima dirinya karena nilai pelajarannya yang rendah. "Ditambah usaha dan kerja kerasmu yang membuat Tuhan akhirnya menggerakkan kuasa-Nya sehingga putri Ibu bisa mendapatkan pekerjaan yang diinginkan." Ya, itulah Reina. Setelah diberi tahu jika orang tuanya tidak sanggup untuk membiayai kuliahnya, gadis itu sama sekali tidak protes atau marah, ia justru memutuskan untuk langsung mencari pekerjaan setelah lulus sekolah. "Aku ingin membantu Ibu. Tak penting kuliah bagiku saat ini sebab ada hal yang lebih penting selain menghabiskan uang untuk para dosen dan universitas," ujar Reina seraya tertawa. Kini, lima tahun sudah Reina bertahan dengan bekerja sebagai seorang room girl di bagian room attendant. Bagian pekerjaan yang salah satunya mengurusi dan membersihkan area kamar tamu hotel, baik yang sudah ditinggalkan tamu check out atau kamar yang masih bersih belum terisi. Bu Cintya tentu sangat bersyukur, Reina masih bertahan selama ini meski drama pekerjaan yang ia lalui kerap mampir terjadi dan ia alami. Ya, Tuhan seolah masih senang bermain dengan kehidupannya. Sikap Reina yang ceroboh terkadang masih saja gadis itu alami ketika sedang bekerja. Tak jarang ia akan dimarahi atau diberikan teguran oleh tamu atau atasannya. Namun, kedisiplinan yang dimiliki serta sikapnya yang menurut, mampu menutupi kesalahan-kesalahan yang ia perbuat sehingga ia masih bertahan selama itu. Lantas, hari itu di mana katanya akan diadakannya perpisahan sang atasan —Bu Cici, karena berhenti bekerja, membuat Reina ingin segera sampai di hotel. Gadis itu pastinya akan merasa kehilangan sosok sang eksekutif housekeeper tersebut. Seorang wanita dewasa yang harus merelakan pekerjaannya demi keluarga. Setelah setengah jam perjalanan yang Reina tempuh dari rumah menuju hotel yang berada di kawasan bisnis, di pusat kota, Reina sampai di pelataran parkir gedung. Ia kemudian memarkirkan motor matik kesayangannya yang baru lunas itu di tempat parkir khusus karyawan. "Pagi, Pak Anto!" sapa Reina pada salah satu security yang tengah berada di lantai parkir basemant. "Pagi, Reina! Baru datang?" "Iya, Pak. Loh, mau kemana?" "Pulanglah. Bapak baru selesai kerja shift malam." "Oh, iya. Hati-hati di jalan yah, Pak!" "Ok! Selamat bekerja, yah!" "Siap, Pak!" balas Reina seraya berbalik dan meninggalkan sang security yang hendak mengeluarkan motor dari parkiran. "Eh iya, Rein. Denger-denger ada manajer baru di bagian kamu yah?" Reina berbalik dengan kedua alisnya yang bertaut. "Reina enggak denger, Pak. Emang iya yah?" "Kurang tahu juga, cuma semalam Bapak sempat denger aja waktu Tuan Meyer bicara sama Bu Salma di lobi." Reina tampak diam sembari memandang kosong ke arah lain. Tuan Meyer adalah general manager di hotel tempatnya bekerja. Orang asing yang memegang jabatan tertinggi di hotel tersebut berbicara dengan wakilnya, tentu bukan sesuatu yang main-main. "Tapi, tidak ada kabar kalau Bu Winda akan resign," gumamnya. "Yang Reina tahu cuma Bu Cici yang sudah mengundurkan diri." "Bapak juga tidak tahu pasti, mungkin Bapak salah dengar semalam atau mungkin memang akan ada perputaran manajer," kekehnya becanda. "Pak Anto ada-ada saja." Reina akhirnya tertawa menanggapi. "Ya sudah, Reina ke atas dulu yah, Pak. Sudah siang ini." "Iya." Gadis itu pun segera berlari menuju ruang loker khusus karyawan. Jam hampir menunjukkan pukul tujuh pagi sedangkan ia belum berganti pakaian seragamnya. "Baru datang?" tanya Jefry pada Reina yang baru keluar dari ruang loker laki-laki. "Eh, iya, Jef. Kamu shift pagi juga? Katanya hari ini masih ekstra off?" ucap Reina seraya berjalan menuju ruang loker khusus karyawan perempuan, yang letaknya bersebelahan dengan ruangan loker temannya itu. "Kemarin aku ditelepon Mas Ganda supaya libur ekstra-nya diganti pekan depan soalnya si Bayu dari kemarin sakit dan hari ini belum bisa masuk." "Oh gitu!" sahut Reina dari balik pintu. "Ya udah aku mau ganti baju seragam dulu yah, Jef!" seru Reina yang sudah masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu itu kemudian. "Ya udah, aku ke atas duluan yah, Rein!" ujar Jefry sedikit mengencangkan suaranya supaya temannya itu mendengar. "Ok!" teriak Reina dari dalam ruangan loker. Reina tinggal sendiri di dalam ruangan itu. Teman-temannya yang kebagian shift pagi, sepertinya sudah pergi ke lantai atas semua. Mungkin sebagian yang lain sudah mulai bekerja. Setelah siap dengan penampilannya, Reina pun mengunci pintu loker miliknya. Lalu, memandang wajahnya di cermin kecil yang ia tempel di pintu loker. Wajah yang tampak segar dengan make up sangat tipis memperlihatkan perbedaan wajah Reina aslinya yang sama sekali tidak suka berdandan. Rambut panjang yang masih ia pertahankan meski sifat tomboi masih mendominasi, ia ikat sangat rapi dengan digelung supaya tidak berantakan dan mengganggu aktifitas pekerjaannya seharian nanti. Setelah semua dirasa cukup dan siap, gadis itu pun keluar ruangan untuk segera menuju ke lantai dua tempat kumpul seluruh karyawan room attendant sebelum memulai pekerjaannya. Ketika Reina yang terburu-buru karena waktu yang semakin menunjuk ke angka tujuh, tiba-tiba berhenti mendadak ketika sebuah mobil yang muncul dari arah luar gedung menuju parkir basemant melaju cepat. Bunyi rem yang berdecit dengan lantai parkiran terdengar menggema di area basemant tersebut. Reina hampir saja tertabrak ketika pengendara itu tidak segera menginjak rem mobilnya. Gadis itu masih menutup wajah dengan telapak tangannya selama beberapa saat. Tak lama terdengar suara berat milik seorang lelaki menegurnya keras. "Apakah kamu anak kecil yang masih berlarian di tempat parkir seperti ini!" hardiknya kesal. Reina seketika terdiam. Suara itu sangat ia kenal. Tapi, di mana? Ia lalu mencoba membayangkan sosok laki-laki yang ia kenal. "Tak mungkin Jefry," gumamnya pelan. "Aldo, Juki, Aryan, atau Suripto? Bukan semuanya." Tak mau terus-terusan menebak yang malah berakhir keliru, Reina pun menarik tangan dari wajahnya. Lalu, menatap wajah lelaki yang sudah berdiri di pintu mobilnya yang terbuka. Lelaki itu menatap angkuh padanya dengan wajah khawatir yang tampak jelas tergambar. Sedetik, dua detik mereka saling memandang, hingga akhirnya, "Rian!" "Reina!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD