bc

Terjerat Cinta Bos Menyebalkan

book_age18+
8.4K
FOLLOW
61.7K
READ
family
mystery
like
intro-logo
Blurb

“Kamu tidak paham bahasa atau bagaimana? Kamu tidak ingat apa yang saya sampaikan tempo hari tentang caramu berpakaian?”

“Maaf, Pak, saya pikir pakaian yang saya kenakan masih cukup sopan. Dan—“ Aku menjeda kalimatku menarik napas, tiba-tiba saja aku tersulut emosi. “Selama saya bekerja di sini tidak ada larangan mengenai cara berpakaian selagi itu sopan. Bisa Bapak jelaskan apa yang salah dari pakaian saya contohnya yang saya kenakan hari ini?” Kak Damar menatapku, tatapannya, entahlah, aku sulit mengartikannya.

Suara lift terdengar, tandanya ini sudah tiba di lantai tempat ruanganku berada, aku tetap saja diam di tempat. “Ini lantai kamu,” ujarnya.

Saat pintu lift terbuka dan tak ada orang lain yang akan menggunakan lift, aku kembali menutup pintu lift. “Jawab, Kak Damar.” Aku menatapnya letak, raut wajahnya berubah mendengar aku menanggilnya dengan sebutan kakak, dia tampak sedikit gugup lalu kembali menampilkan wajah ketus.

“Saya ini atasan kamu, Jingga. Bersikaplah lebih sopan, hubungan kita sebatas atasan dan karyawan. Jadi, apa pun yang saya sampaikan ke kamu, termasuk ucapan saya tempo hari semata untuk kepentingan perusahaan. Jangan terlalu percaya diri!” Begitu pintu lift terbuka dia berlalu meninggalkanku.

Cover by. Lanamedia.id

chap-preview
Free preview
Direkturku, Mantan Kekasihku
Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja setelah mengambil cuti lima hari untuk mengunjungi Mama dan Papa di Yogyakarta. Jika ditambah dengan akhir pekan, liburanku sebenarnya cukup panjang. Namun, rasanya tetap saja waktu itu belum cukup untuk melepas rindu pada mereka. Pagi ini aku kembali pada rutinitasku di Bandung. Aku memilih blus lengan panjang berwarna peach dengan aksen ruffle di bagian d**a, dipadukan dengan rok span hitam yang panjangnya tepat di bawah lutut. Wajahku kupoles tipis, menampilkan riasan natural yang sederhana namun segar. “Beda banget, ya, aura yang habis liburan,” ujar Rita. “Jelas dong.” Sengaja kuucapkan dengan nada sombong padanya. Rita adalah rekan kerja wanita yang satu ruangan denganku. Selain Rita, ada juga Dimas dan Reno—keduanya merupakan bagian dari tim di divisiku. Aku bekerja di sebuah perusahaan manufaktur setelah lulus kuliah, dengan posisi sebagai Senior Partnership Contract. Selama berada di sini, aku merasa bersyukur karena memiliki rekan kerja yang baik serta lingkungan kerja yang nyaman. Untuk menyambut hari pertama setelah cuti, aku sudah menyiapkan beberapa oleh-oleh. Tidak banyak, hanya beberapa jenis makanan khas Yogyakarta. Namun yang istimewa adalah batik yang khusus kubawa dari butik milik Mama. Aku mengangguk dan tersenyum kala mereka bersahutan mengucapkan terima kasih padaku karena sudah membawakan buah tangan. “Welcome home, Jingga.” Aku langsung mengenali suara itu, Dimas. Selama cutiku, beberapa pekerjaan memang kualihkan padanya. Tentu tidak gratis. Sebagai gantinya, aku sudah menyiapkan banyak ‘sesajen’ untuknya. “Sudah dicek Pak Zein dan ku-print semua. Silakan lanjut minta tanda tangan beliau, lalu diteruskan ke direktur,” sambung Dimas. “Sekalian atuh, Dim.” Aku pura-pura memelas, berharap mendapat simpati, bahkan sempat mengedipkan sebelah mata untuk menggodanya. “Sudah, kamu saja. Sekalian kenalan sama direktur baru,” balasnya santai. Direktur baru? Aku sempat terdiam. Benar, sebelum cuti aku mendapat kabar bahwa Pak Tomi—direktur yang selama ini kukagumi karena profesionalnya—memutuskan pensiun. Bagiku, beliau adalah direktur terbaik. Posisinya kini digantikan oleh keponakannya, seorang karyawan berprestasi yang selama ini membanggakan kantor pusat di Jepang. “Oh ya, bagaimana acara penyambutannya, lancar?” tanyaku. “Penyambutan apa? Batal. Langsung kerja tuh, Pak Bos, di hari pertamanya. Sadis!” ujar Reno dengan nada dramatis. Aku tak bisa menahan tawa mendengar Reno terang-terangan menyebut direktur baru kami sadis. Konon, sejak hari pertama kehadirannya, pria itu berhasil menyita perhatian seisi kantor—terutama para karyawati yang terpesona oleh kharismanya. Aku sendiri belum pernah bertemu langsung dengannya dan jujur saja tidak merasa penasaran. Kabar lain yang kudengar, direktur baru kami itu sudah menikah dan memiliki seorang anak. “Ibarat kata sudah terbang tinggi, nih. Kemudian dijatuhkan begitu saja,” celetuk Rita sambil memperlihatkan foto di ponselnya. Dalam foto itu tampak seorang pria sedang menggendong anak kecil, sementara tangannya membukakan pintu mobil untuk seorang wanita. Dalam foto itu, aku tak melihat wajah ketiganya karena foto itu diambil dari arah belakang. Rita mengatakan foto itu dia dapat dari group fanbase direktur. Yaps, belum ada seminggu sudah terbentuk group gibah yang isinya kaum hawa. “Jadi patah hati, nih?” godaku pada Rita. “Au, ah! Btw, Jingga. Tarik napas dulu, jangan sampai ‘tersepona’ sama direktur baru. Dia kan sudah ada pemiliknya. Kecuali kalau kamu mau saingan denganku jadi istri mudanya.” “Terpesona …,” seru kami kompak, mengoreksi—meneriaki Rita yang malah tertawa mengejek. Dia menjulurkan lidahnya, nakal. Bisa-bisanya dia berandai-andai ingin jadi istri muda direktur. Aku pun tak kuasa menahan tawa, geli mengingat kelakar konyolnya itu. Pagi itu aku memulai pekerjaanku dengan melangkah ke ruangan Pak Zein, manajer pemasaran sekaligus atasan langsungku. Setelah dipersilakan masuk, kulihat beliau sedang menyesap kopi, sepertinya baru saja selesai sarapan. “Maaf mengganggu, Pak.” Pak Zein menggeleng cepat memintaku masuk ke dalam ruangannya. Aku menyerahkan map berisi dokumen yang harus ditandatangani. Beliau hanya meninjau sekilas sebelum membubuhkan tanda tangan, sebab sebelumnya dokumen itu sudah diperiksa dan bahkan sempat direvisi oleh Dimas. Begitu selesai, map itu kembali ke tanganku. Pak Zein memintaku segera meneruskan dokumen tersebut ke ruangan direktur, mengingat berkas ini harus diproses secepatnya tanpa ada penundaan. Sebelum meninggalkan ruangan, aku menyodorkan sebuah paperbag berisi oleh-oleh yang sama seperti yang kuberikan kepada tiga rekanku di ruangan. Senyum Pak Zein langsung merekah begitu menerimanya. Aku mengetuk pintu satu-satunya ruangan di lantai empat, bersiap memperkenalkan diri karena sepertinya hanya aku yang belum sempat bertemu langsung dengan beliau. Begitu terdengar seruan untuk masuk, aku meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan. “Permisi, Pak—” ucapku, namun kata-kata itu langsung terhenti. Langkahku membeku di ambang pintu ketika mataku menangkap sosok lelaki yang duduk di balik meja direktur. Kakiku terasa begitu berat untuk maju, sementara d**a seolah dihantam kejutan yang tak terduga. Aku nyaris tak mampu menyembunyikan keterkejutanku. Lelaki itu pun menoleh dan pandangannya bersirobok dengan mataku untuk beberapa saat. “Saya belum pernah melihat kamu. Siapa kamu?” tanyanya. Aku spontan mengernyitkan dahi. Serius? Untuk apa dia menanyakan namaku? Apa dia amnesia? “Sa—saya, Pak?” ujarku ragu. “Memang ada orang lain di sini selain kamu?” balasnya dingin. Ucapannya menyesakkan d**a. Baru kali ini aku mendengar gaya bicaranya seperti itu—ketus, menusuk. Tatapannya pun membuatku kehilangan fokus, seakan aku berhadapan dengan orang asing. “Kalau kamu datang ke ruangan saya hanya untuk membuang waktu, lebih baik kamu keluar dan lanjutkan pekerjaanmu,” lanjutnya, tak kalah tajam. Cepat-cepat aku menggeleng pelan, mencoba menyadarkan diri. Senyum kecut terpaksa kupertahankan sambil melangkah mendekat, meski hatiku serasa diiris. Tatapan tajam dan cara bicaranya—entah darimana dia belajar menjadi sekasar ini. Kak Damar… aku benar-benar tak menyangka, mantan kekasihku adalah direktur baruku. “Maaf, Pak. Saya Jingga, Senior Partnership Contract. Saya ingin meminta tanda tangan Bapak untuk laporan bulanan—” Kalimatku terputus oleh dering panggilan masuk. Bukan dari ponselku—aku memang tak membawanya—melainkan dari ponsel yang tergeletak bebas di atas meja di hadapanku. Dinda. Mataku refleks membulat saat membaca nama yang tertera di layar. Sejenak, waktu seperti berhenti. Kami saling menatap hingga deringan itu padam. “Letakkan saja di sana, saya akan periksa nanti.” Kak Damar menunjuk salah satu sudut meja. Ekspresinya berbeda kali ini, ada sedikit gelagat salah tingkah. “Kamu bisa kembali ke ruanganmu,” sambungnya, terdengar lebih tenang. “Maaf, Pak. Berkas ini sudah ditandatangani Pak Zein dan beliau—” Aku kembali terhenti, dering panggilan dari nama yang sama kembali terdengar. Tenggorokanku tercekat. Aku memilih menunduk. “Saya permisi, Pak.” Tak ada jawaban. Aku segera berbalik, berusaha mengendalikan langkahku agar tetap tegak setidaknya sampai keluar dari ruangan itu. Namun tubuhku mendadak terasa lemas. Pandanganku mengabur oleh genangan air mata yang kian menekan. Air mataku akhirnya luruh begitu saja saat suara lembutnya menyusul tepat saat aku meraih gagang pintu. “Hi, Sayang. Ok, take care.” Kalimat itu menghantamku. Nada yang begitu berbeda dengan ketusnya saat berbicara padaku tadi. Begitu melangkah keluar, aku langsung merutuki diriku sendiri yang begitu emosional. Ada apa dengan kamu, Jingga, batinku. “Direktur kita sudah menikah dan memiliki anak.” Kalimat yang sempat diucapkan Rita tadi seketika kembali terngiang di telingaku, memekakkan sekaligus menusuk d**a. Gegas kuhapus jejak air mata di pipi, khawatir ada yang menyadarinya. Sebelum kembali ke ruangan, aku ragu. Apa sebaiknya aku mampir dulu ke toilet? Aku harus memperbaiki penampilanku—setidaknya agar tidak terlihat menyedihkan seperti ini. “Kenapa kamu masih di sini?” Suara dingin itu sontak membuat tubuhku membeku.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
184.1K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
24.5K
bc

TERNODA

read
195.9K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
154.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
231.5K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
21.2K
bc

My Secret Little Wife

read
129.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook