Langkah-langkah mereka bergema di sepanjang jalur private bandara yang telah disiapkan khusus. Jet milik keluarga Mahadipa baru saja mendarat sempurna di Bandara Husein Sastranegara, dan seperti biasa, tidak ada penumpang lain di dalam kabin. Hanya mereka—dan dunia yang seolah berhenti menatap mereka.
Di ujung tangga pesawat, seorang pria dengan setelan semi-formal sudah menunggu, wajahnya tenang, clipboard di tangan. Nayara mengenalnya sekilas: Rizal, asisten pribadi Adiraja yang konon menangani semua urusan logistik hingga urusan ‘khusus’ yang hanya diketahui oleh lingkaran dalam Mahadipa Group.
“Sudah kau siapkan seperti yang aku minta?” tanya Adiraja tanpa basa-basi, suaranya datar namun memberi tekanan.
Rizal mengangguk dengan sigap. “Sudah, Tuan. Kamar penthouse milik Tuan selama di Bandung sudah siap. Termasuk... akomodasi untuk Nona Nayara.”
Langkah Nayara terhenti sepersekian detik di belakang mereka. Matanya melebar sedikit. “Maaf?” gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar. Tapi pikirannya riuh.
Satu kamar? Di penthouse? Tidak masuk akal.
Namun Adiraja hanya melanjutkan langkahnya seperti tidak terjadi apa-apa. Rizal melirik Nayara, menyadari keterkejutannya tapi tak berkata sepatah kata pun—profesionalisme level Mahadipa.
“Mobil sudah menunggu,” lanjut Rizal. “Jadwal untuk esok sudah saya susun ulang sesuai permintaan Tuan. Makan siang di restoran Vue, rapat dengan kepala cabang Mahadipa Bandung pukul dua siang, lalu inspeksi proyek jam lima. Semua berkas dan perangkat presentasi sudah dipindahkan ke suite. Dan, seperti permintaan Tuan, tidak ada gangguan dari luar.”
“Bagus,” sahut Adiraja. Kemudian ia menoleh sepintas ke arah Nayara, suaranya tetap dingin namun tak memberi ruang diskusi, “Kamu akan ikut di semua agenda. Termasuk meeting internal malam ini.”
Nayara berusaha mengatur ekspresinya. Ia ingin protes. Sangat ingin. Tapi mereka masih berada di tempat umum, dengan petugas bandara, staf jet pribadi, dan bahkan satpam yang berdiri tegap seolah menunggu titah untuk menyingkirkan apapun yang mengganggu sang Mahadipa.
Jika ia menolak sekarang, ia akan terlihat seperti sekretaris yang tidak siap kerja.
Dan jika ia menerima... berarti ia bersedia membuka celah lebih banyak untuk Adiraja mengendalikannya.
Sial.
Bagaimana dia bisa menyusup, menyentuh kembali data Mahadipa, dan membuka rekam jejak yang selama ini dikunci rapat jika dirinya tidak punya ruang untuk bergerak?
Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Adiraja menyisipkan kalimat terakhir sambil kembali melangkah menuju mobil:
“Dan berhenti berpikir kamu bisa mengatur ulang jadwalku. Kamu bukan turis di sini, Nayara. Kamu ikut untuk bekerja.”
Nayara mengepalkan jemarinya, rahangnya mengencang. Sekretaris? Ya, tentu saja.
Tapi kali ini—ia adalah sekretaris yang menyimpan misi pribadi. Dan satu langkah salah, semua bisa runtuh.
💔💔💔
Mobil hitam berlogo Mahadipa Executive Line berhenti tepat di depan lobi hotel. Bukan hotel biasa—melainkan Avara Mahadipa Grand, salah satu properti bintang lima yang berdiri megah di jantung kota Bandung. Kaca-kaca tinggi memantulkan langit senja, sementara pegawai berseragam abu-perak menyambut dengan gerakan cepat, nyaris serempak.
Sebuah hotel yang mencerminkan satu hal: kekuasaan.
"Selamat datang, Tuan Mahadipa," suara resepsionis terdengar penuh hormat saat Adiraja keluar lebih dulu dari mobil, disusul oleh Rizal dan Nayara.
Hotel ini... salah satu dari sekian banyak aset Mahadipa Group.
Nayara menatap ke atas sebentar. Bangunan itu tinggi menjulang, dekorasi art deco modern bercampur aksen tradisional Jawa di lobby menyambut mereka. Lantai marmer abu hangat, chandelier dari logam matte yang berkilau lembut, dan aroma khas ruangan mewah menyeruak pelan.
Tapi... semua itu tak menggetarkan Nayara sedikit pun.
Tidak ada tempat untuk rasa kagum.
Tidak ketika hatinya menyimpan bara. Dendam terhadap keluarga Mahadipa terlalu besar untuk memberi celah pada decak kagum, apalagi hormat.
Langkah-langkah mereka menuju lift pribadi membuat para tamu dan staf menunduk, memberikan jalan. Lift tersebut bukan untuk umum, hanya diakses oleh keluarga Mahadipa atau tamu yang sangat terpilih. Nayara mengikuti di belakang Adiraja dan Rizal.
Adiraja berjalan tenang, satu tangannya dimasukkan ke saku celana, bahunya tegak, napasnya teratur. Bahkan saat diam, pria itu terlihat seperti menguasai udara di sekelilingnya.
Lift terbuka langsung ke lorong privat lantai Naratama, lantai tertinggi tempat penthouse berada. Lampu-lampu gantung dari kuningan bergaya minimalis menyinari lorong dengan cahaya keemasan. Dinding berbalut panel kayu jati dengan ukiran samar, karpet tebal motif megamendung bergelombang di bawah langkah mereka.
Nayara menatap punggung Adiraja—tegak, dingin, tenang—hingga langkah pria itu mendadak terhenti.
BRAK.
Tanpa sempat mengerem, Nayara menabrak punggungnya, lebih tepatnya—dadanya yang bidang dan keras.
“Aduh...” desisnya refleks, keningnya terantuk cukup keras hingga ia mundur satu langkah sambil menggosok pelipisnya sendiri.
Pria itu sudah berbalik, entah sejak kapan, menatap ke bawah, tepat ke arahnya. Matanya datar, tak sedikit pun terlihat ekspresi iba.
“Maafkan saya, Anda tidak apa-apa, Nona?” suara Rizal terdengar dari samping, tulus dan khawatir.
“Tidak, Pak Rizal. Saya baik-baik saja,” gumam Nayara sambil melirik ke atas, menahan rasa perih yang menyengat, tapi juga harga diri yang agak... terkikis.
Masih dingin. Tak ada sepatah kata keluar dari Adiraja. Tatapannya menusuk, seakan menyusun kalimat dalam kepala yang hanya akan keluar jika ia merasa perlu.
“Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Rizal, bingung dengan penghentian mendadak itu.
Adiraja tetap menatap Nayara sebelum akhirnya memalingkan wajah, lalu berkata datar, “Carikan saya desainer dan makeup artist untuk besok.”
“Untuk Tuan sendiri?” Rizal bertanya ulang, sekadar memastikan.
“Ya. Dan siapkan wardrobe yang cocok untuk acara malam besok. Formal, private setting. Pastikan mereka datang sebelum pukul tujuh pagi,” ucap Adiraja mantap.
Rizal mengangguk. “Siap, Pak.”
Tanpa penjelasan lebih lanjut, Adiraja kembali melangkah.
Nayara masih berdiri di tempat, mendengus pelan. Semua itu? Untuk apa? Hanya karena dia ingin tampil rapi? Sampai harus berhenti mendadak begini?
Lebay gak sih? pikir Nayara sambil mencibir kecil dalam hati. Tapi... semakin dia menebak pria itu, semakin tak masuk akal semuanya.
Apa ini bagian dari rencananya? Atau... hanya permainan ego?
Nayara menarik napas dalam, mencoba kembali mengikuti langkah mereka.
Di ujung lorong, mereka berhenti di depan sebuah pintu besar berdaun dua, tinggi menjulang dengan ukiran logo Mahadipa yang mengilat di tengahnya.
Penthouse Mahadipa.
Satu unit, dua penghuni. Dirinya... dan Adiraja.
Dan malam ini, Nayara tahu, bukan hanya ruang yang akan menyempit—tapi juga kebebasannya.
---