5

1434 Words
Pintu restoran kembali terbuka, menampilkan pria paruh baya dengan jas abu mengilap dan dasi merah darah. Sorot matanya penuh perhitungan, bibirnya menyungging senyum yang terlalu lebar untuk dianggap tulus. “Pak Dira, maaf membuat menunggu,” ucapnya sambil menjabat tangan Adiraja. “Dan ini pasti sekretaris baru Mahadipa Group?” “Nayara,” jawab wanita itu ramah, menjulurkan tangan dengan percaya diri. Tatapannya tidak menunduk, tak juga terlalu menantang—cukup untuk menunjukkan bahwa ia tak akan digilas dalam percakapan penuh siasat seperti ini. Pertemuan pun dimulai. Mereka membahas rencana kerja sama perluasan proyek digitalisasi kawasan industri yang dikelola Mahadipa. Adiraja duduk diam selama beberapa menit pertama, membiarkan Nayara mempresentasikan draf yang ia siapkan—dan mengejutkannya, Nayara berbicara dengan struktur yang jelas, poin-poin yang kuat, dan respons cepat terhadap pertanyaan dari pihak lawan. Bahkan pria paruh baya itu—Pak Herman, direktur utama salah satu mitra distribusi—menatap Nayara lebih lama dari yang seharusnya. Terlalu lama. “Menarik. Sangat menarik. Anda bukan hanya cantik, tapi juga pintar, Nona Nayara,” ujarnya sambil tersenyum simpul. Nayara tetap tenang. “Saya hanya menjalankan tugas, Pak. Semua isi presentasi ini sudah disusun atas arahan Pak Adiraja.” Adiraja melirik sejenak. Ada sebersit penghargaan yang melintas di matanya—karena Nayara tahu bagaimana menjaga posisi dalam permainan. Namun ekspresi itu berubah seketika saat ia menangkap cara Pak Herman terus menatap Nayara, bukan dengan rasa hormat, melainkan dengan ketertarikan yang tidak profesional. Genggaman Adiraja pada gelas kopinya mengeras. “Fokus kita pada kontrak, bukan sekretaris saya,” ucap Adiraja datar, namun nadanya memuat ketegasan nyaris seperti ancaman. Pak Herman tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Tentu, tentu. Hanya sulit mengabaikan paket lengkap seperti ini.” Nayara menahan diri. Ia tidak tersinggung, hanya mencatat. Wajahnya tetap kalem, tapi di bawah meja, tangannya mengepal. Kali ini bukan karena dirinya dilecehkan, tapi karena dia tahu—para pria seperti Herman adalah wajah dari dunia yang membuat ayahnya hancur. Setelah pertemuan selesai dan kontrak pendahuluan disepakati, mereka beranjak keluar. Di dalam lift, hanya berdua, Adiraja berdiri memunggungi Nayara. “Kamu terlalu santai saat diincar begitu.” Nayara menatap punggungnya. “Saya tidak punya hak mengontrol cara orang memandang saya, Pak. Tapi saya bisa memilih bagaimana saya meresponsnya.” Jawaban itu membuat Adiraja menoleh. Matanya menelusuri wajah wanita itu, kali ini lebih lama dari biasanya. Ia tidak mengatakan apa-apa. Tapi untuk pertama kalinya, ekspresi di wajah Adiraja bukan sekadar dingin—ada evaluasi di sana. Seolah Nayara, di luar rencana licik yang ia susun, mulai menjadi teka-teki yang ingin ia pahami… atau kendalikan. Adiraja melirik jam tangannya. Jarum pendek hampir menyentuh angka delapan. Ia baru menyadari waktu kerja telah lama usai, sementara sekretaris barunya masih duduk tegak di seberangnya, menyusun berkas-berkas rapat siang tadi dengan teliti. Tak ada keluhan. Tak ada tanya. Hanya ketenangan yang terasa tidak biasa dari seorang sekretaris baru. “Saya antar,” ucap Adiraja tiba-tiba, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kulit. Nayara berhenti menyusun berkas. Alisnya sedikit terangkat. “Tidak perlu, Pak. Saya bisa pulang sendiri.” “Saya tidak sedang menanyakan pendapatmu.” Nada itu seperti kunci yang menutup semua celah penolakan. Mau tak mau, Nayara menuruti, meski ada gejolak kecil dalam dadanya. Ia pun memberi alamat pada sopir Adiraja, yang memulai perjalanan dengan suasana kabin mobil yang hening. Adiraja duduk di sebelah Nayara, menatap lurus ke jalan, namun sesekali melirik dari sudut matanya. “Sepertinya kamu bukan tipe yang mudah didekati,” gumamnya, entah kepada dirinya sendiri atau kepada wanita di sampingnya. Nayara tak menanggapi. Ia hanya menatap lampu-lampu kota yang melintas, sembari menarik napas panjang. Mobil berhenti di depan sebuah gedung tinggi dengan arsitektur modern minimalis. Petugas keamanan membungkuk sopan begitu melihat logo Mahadipa pada pelat mobil. Adiraja menyipitkan mata, mengenali bentuk dan gaya bangunan itu dengan mudah. “Ini... salah satu properti milik Mahadipa Residence,” ujarnya perlahan, nyaris seperti pertanyaan terselubung. Nayara menoleh singkat. “Benar, saya di sini karena bantuan seorang teman.” Adiraja tidak menjawab, hanya menatap bangunan itu lebih lama dari seharusnya. Ia tahu harga unit di gedung ini tidak murah. Bahkan bagi beberapa eksekutif muda, tinggal di sini adalah kemewahan. Siapa teman Nayara? Bagaimana dia bisa mengakses apartemen ini? Dan yang lebih mengusik—kenapa semua hal tentang Nayara seolah penuh rahasia? Saat Nayara hendak membuka pintu, Adiraja tiba-tiba berkata, “Jangan terlalu percaya siapa pun di tempat ini.” Nayara membeku sejenak sebelum akhirnya turun. Di bawah lampu gedung, rambutnya yang tergerai tampak berkilau, posturnya tegap, seperti perempuan yang tak akan pernah jatuh karena pandangan orang. Tapi Adiraja tahu... wanita seperti itu pasti menyimpan luka yang belum selesai. Dan ia mulai tertarik untuk mengetahuinya. 💔💔💔 Nayara berjalan dengan langkah lelah menuju lift. Sepanjang perjalanan tadi, pikirannya sibuk memproses percakapan singkat dan tatapan Adiraja yang seperti menelanjangi lapisan luar dirinya. Tumitnya terasa berat, tubuhnya seakan mengadu pada gravitasi untuk menyerah saja malam ini. Namun suara lirih di sampingnya membuat jantungnya nyaris lompat. "Kenapa baru pulang?" Viren. Ia berdiri santai di sisi kanan lobi, bersandar pada pilar marmer dengan senyum lebar. Tanpa memberi waktu bagi Nayara untuk bereaksi, Viren menghampiri, meniup pelan di telinga Nayara dan merangkul bahunya erat. Sentuhan yang ringan, tapi menenangkan. Akrab. Seperti rumah. “Kamu ngagetin aja,” gumam Nayara, setengah geli, setengah mengeluh. Tubuhnya yang mungil seperti tenggelam dalam rangkulan Viren. Ia menyandarkan kepalanya di bahu pria itu, hanya sejenak, mengizinkan dirinya merasa nyaman di antara badai. "Kalau aku nggak datang, kamu pasti pulang dengan mata kayak panda lagi," ujar Viren sambil menyentuh pipinya lembut. “Kerja di sarang naga itu benar-benar bikin kamu lupa istirahat, ya?” Nayara tertawa pelan. “Sarang naga? Gitu amat.” "Aku serius. Dan kamu harus lebih hati-hati, Nay. Ini bukan mainan. Aku nggak peduli seberapa kuat kamu sekarang. Tapi Mahadipa bukan medan yang bisa kamu taklukkan sendirian." Kata-kata Viren selalu tepat sasaran, seperti anak panah yang tertancap di tengah dadanya. Ia memang sahabat, tapi kadang terasa seperti... seseorang yang lebih. Namun Nayara tahu batas. Dan Viren memilih diam, menyimpan perasaan itu di sela-sela perhatian dan kekhawatiran yang nyaris berlebihan. “Aku tahu,” balas Nayara pelan. “Tapi aku harus tahu kebenarannya, Ren. Aku harus.” Viren menghela napas panjang, menatap wajah Nayara dalam-dalam. “Dan aku akan tetap jadi bahumu. Tapi kalau sampai kamu terluka, aku yang pertama akan menghancurkan siapa pun penyebabnya.” “Aku nggak akan terluka,” bisik Nayara. Tapi bahkan suaranya sendiri terdengar seperti doa kosong. Aroma bawang putih dan mentega memenuhi udara di apartemen. Viren berdiri di dapur kecil, dengan celemek warna abu-abu yang tampak terlalu formal untuk aktivitasnya. Di meja, dua piring pasta aglio e olio sudah tertata rapi, lengkap dengan segelas jus jeruk dan air mineral. Tangannya cekatan, hafal letak semua peralatan seperti rumah sendiri. Sementara itu, suara gemericik air dari kamar mandi sudah berhenti beberapa menit lalu. Tak lama, pintu kamar terbuka, menampilkan sosok Nayara yang baru saja membersihkan diri. Piyama Hello Kitty dengan warna pastel kebanggaan masa kecilnya masih setia dipakai, dan handuk melilit di kepalanya seperti sorban lembut. “Kok diem aja ngeliatin?” tanya Nayara santai sambil duduk di sofa, menarik bantal dan memeluknya. “Karena nggak banyak yang bisa kelihatan selembut dan segalau kamu di saat bersamaan,” jawab Varen, menyodorkan piring pasta. “Makan dulu. Sebelum kamu berubah jadi Hello Kitty yang lapar dan nyebelin.” Nayara terkekeh, menerima piringnya. “Makasih. Aku lapar banget, sumpah.” Viren duduk di sebelahnya, tak langsung menyentuh makanannya. “Jadi… gimana hari ini? Ada kemajuan?” Nayara menyuap pasta, lalu menghela napas. “Ada... sedikit. Aku ikut meeting sama Adiraja. Ada perwakilan perusahaan dari luar. Awalnya kupikir aku bakal duduk diam aja, tapi ternyata... aku bantu jawab beberapa hal. Dia nggak komentar apa-apa sih, tapi kayaknya... dia lihat itu.” Viren mencondongkan tubuh, dagunya bertumpu di tangan. “Dia lihat kamu... atau menilai kamu?” Nayara mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi yang jelas, dia bukan tipe yang gampang ditebak. Dingin, tajam, dan... kadang bikin aku pengen ngelempar map ke mukanya.” “Aku bisa bantu, kalau kamu mau,” gumam Viren degan wajah polos. “Tapi kamu tahu itu bukan solusi.” Nayara menoleh, menatap sahabatnya yang kini menunduk menatap piring kosong. “Aku tahu, Ren. Dan aku juga tahu, kamu nggak akan pernah tinggal diam kalau aku kenapa-kenapa.” “Selalu,” balas Viren cepat. “Tapi Nay... kamu juga harus jaga hati kamu. Jangan cuma fokus ke misi. Kamu manusia juga. Jangan lupa siapa dirimu.” Nayara terdiam. Sisa pasta di piringnya terasa hambar mendadak. Viren menatapnya lembut. Perasaan yang tak pernah diucap itu bergelantungan di antara mereka. Tidak tergesa, tidak mendesak. Tapi jelas ada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD