3

1365 Words
Ruang rapat utama Mahadipa Group berdinding kaca gelap dengan lampu gantung kristal dan layar lebar yang menampilkan agenda hari itu. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi kopi yang menguar dari meja, menambah kesan eksklusif. Namun yang paling mencolok bukanlah interior mewahnya—melainkan aura dingin kekuasaan yang menggantung tebal di udara. Nayara berdiri di sisi pintu, membawa satu map tambahan untuk cadangan catatan Adiraja. Ia tidak masuk ke dalam lingkaran besar yang dipenuhi pria-pria berjas mahal itu, hanya berdiri—mengamati. Pintu terbuka lagi. Langkah seseorang terdengar berat, percaya diri, penuh wibawa palsu yang terlatih. Nayara menoleh. Waktu seakan membeku. Rakendra Mahadipa. Wajah itu. Dagu tajam, senyum simpul yang terlalu sempurna, dan mata—mata itu—yang pernah ia lihat lima tahun lalu di siaran berita, saat pria itu berpidato membela nama baik keluarganya setelah ayah Nayara “dinyatakan bersalah”. Kini, wajah itu hanya berjarak lima meter darinya. Rakendra menyapa semua direktur dengan tepukan bahu dan tawa ramah yang dibuat-buat. Lalu matanya menelusuri ruangan—dan berhenti tepat di wajah Nayara. Satu detik. Dua detik. Tatapannya menajam. Tapi tak ada pengakuan di sana. Tak ada tanda ia mengenali Nayara. Dan itu membuat d**a wanita itu panas. Ia lupa. Ia tidak mengingat keluarga dari orang yang ia hancurkan. Bagus. Batin Nayara. Lebih mudah bagiku untuk mendekat tanpa kau sadari. “Rakendra,” Adiraja menyambut singkat, berdiri dari kursinya. Tak ada pelukan kakak-adik. Hanya anggukan formal. Dingin. Penuh tekanan tak kasat mata. “Raja,” balas Rakendra. “Masih seperti biasa. Langsung to the point. Kita bahas apa dulu? Laba kuartal atau bocoran saham dari konsorsium Singapura?” Rapat dimulai. Nayara berdiri lebih dalam di ruangan, mencatat di balik meja samping. Tapi pikirannya sudah bergemuruh. Rakendra ada di hadapannya. Hidup, berkuasa, dan masih bisa tertawa di atas kehancuran orang lain. Tunggu saja, Rakendra. Aku bukan gadis berusia dua puluh tahun yang menangis di balik pagar pengadilan. Aku akan balas. Perlahan. Tapi pasti. Rakendra baru saja mengambil tempat di kursinya ketika Adiraja berdiri, matanya sebentar menatap Nayara yang berdiri tegak di sisi ruangan. "Ini sekretaris baruku," ucap Adiraja datar namun cukup jelas untuk terdengar semua yang hadir. "Nayara." Nayara melangkah maju selangkah, menunduk sopan. Hatinya berdetak cepat—bukan karena gugup menghadapi Rakendra, tapi karena akhirnya ia diperkenalkan secara resmi pada pria yang menghancurkan hidupnya. Rakendra menoleh, mengamati Nayara dengan pandangan setengah bosan, setengah mengejek. Senyumnya tipis. "Baru lagi?" desisnya pelan. "Kamu benar-benar kolektor, ya, Raja?" Adiraja tak membalas. Ia duduk kembali dengan tenang, menyilangkan kaki dan membuka laptopnya. "Jika kamu mau yang bertahan lama, setidaknya pilih yang bisa tahan dengar bentakanmu lebih dari seminggu," lanjut Rakendra, sambil menyisip kopi dengan santai. Adiraja menoleh, datar. "Aku butuh sekretaris, bukan boneka. Yang lemah akan tereliminasi sendiri." Rakendra menyeringai. “Kamu memang tidak pernah pandai menjaga yang ada di sisimu. Entah itu sekretaris, atau... yang lain.” Ada jeda. Kalimat itu menggantung, sengaja dilempar dengan lapisan makna yang dalam. Adiraja tidak terpancing, hanya memutar mata sekilas dan kembali ke layar. "Fokus saja pada laporan utang luar negeri yang kamu sembunyikan bulan lalu, Kak. Jangan terlalu khawatir soal siapa yang ada di sisiku." Senyum Rakendra menghilang sesaat. Tapi ia cepat menutupinya dengan tawa kecil, lalu menoleh pada Nayara. "Semoga kamu kuat, Nona Nayara. Adikku ini... tidak tahu cara memperlakukan orang dengan lembut." Nayara menatapnya tenang, menahan semua gejolak yang menampar balik ke d**a. Ia tersenyum. "Terima kasih atas doanya, Pak Rakendra. Saya suka tantangan." Rakendra menoleh pada Adiraja dengan alis terangkat, lalu terkekeh kecil. "Kali ini kamu pilih yang berani, Raja. Kita lihat... berapa lama dia bertahan." Adiraja tidak menjawab. Tapi tatapan mata dinginnya terkunci sebentar pada Nayara. Ada ketertarikan samar. Atau mungkin... peringatan diam. 💔💔💔 Rapat selesai tepat pukul dua belas siang. Para direksi mulai keluar satu per satu, membawa serta map dan gadget masing-masing. Nayara dengan cekatan membereskan catatan dan berkas yang telah dibagikan, lalu segera melangkah cepat menuju lift. Ia menatap jam tangannya. 12:05. Viren pasti sudah menunggu di bawah. Saat pintu lift terbuka di lantai lobi, langkah Nayara terhenti. Tepat di depan lift, berdiri sosok yang terlalu familiar dengan jas abu arang rapi dan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Adiraja. Matanya langsung menatap Nayara, tajam dan gelap. “Kemana?” tanyanya dingin, nyaris seperti perintah. Nayara tertegun sejenak, sebelum membalas sopan, “Waktu makan siang, Pak. Saya sudah selesaikan semua agenda pagi Bapak.” Adiraja mengangguk pelan. Tidak ada ekspresi. Tapi sorot matanya mencermati lebih dalam, seperti mencari-cari sesuatu. Langkah Nayara baru saja hendak melewati pria itu, ketika suara klakson singkat membuatnya menoleh. Sebuah sedan hitam mengilap berhenti persis di depan pintu utama. Dari balik kemudi, Varen turun—mengenakan jaket bomber dan kacamata hitam, menyeringai kecil sambil melambai. “Lama banget, Nay!” teriak Viren santai. Adiraja memalingkan wajah ke arah suara itu. Matanya menyipit, lalu kembali menatap Nayara. “Siapa dia?” tanyanya, nada suaranya berubah lebih rendah, lebih gelap. Nayara tersenyum sopan, walau jelas merasakan hawa dingin dari Adiraja. “Teman. Saya pergi dulu, Pak.” Tanpa menunggu balasan, Nayara berjalan cepat keluar gedung. Ia masuk ke dalam mobil Viren yang membukakan pintu dengan gaya sok pangeran. Di balik kaca mobil, Viren melirik ke arah pria yang berdiri kaku di lobi. “Dia lihat kita?” “Lihat,” sahut Nayara pelan. Viren bersiul. “Kayaknya dia kenal aku.” Nayara hanya tersenyum tipis. "Mungkin. Dunia ini terlalu kecil untuk menyembunyikan rahasia." Adiraja berdiri di tempatnya, menatap mobil yang menjauh. Matanya tak berkedip. Ada sesuatu yang mengganggu dalam pemandangan tadi. Bukan hanya karena sekretaris barunya dijemput dengan terang-terangan di jam kerja. Tapi karena wajah pria itu… terasa familiar. Terlalu familiar. 💔💔💔 Setelah makan siang, suasana kantor kembali sibuk. Tapi di ruangannya yang sunyi, Adiraja Mahadipa duduk dengan kedua tangan bertaut di depan layar komputer. Sorot matanya tajam menelusuri data yang tertera. Ia mengetik cepat, membuka sistem internal HRD, lalu mencari satu nama: Nayara Chandrakanti. Data yang muncul singkat dan bersih. Terlalu bersih. Riwayat pendidikan, referensi dari Virendra Satya, catatan pengalaman kerja yang minim tapi valid. Semuanya terlihat sempurna. Terlalu sempurna. Adiraja mengernyit. Jemarinya bergerak ke bagian bawah profil digital Nayara. Bagian yang tidak bisa dilihat oleh sembarang orang: riwayat pengecekan latar belakang mendalam. Status keluarga: tidak aktif. Ayah—meninggal. Ibu—meninggal. Tidak ada saudara kandung. Tidak ada catatan kriminal. Tidak ada ikatan hukum atau medis. Namun, saat Adiraja memperbesar satu lampiran rekam medis lawas, matanya menyipit. Tertulis nama ayahnya, lengkap dengan catatan status terakhir: > Tahanan kasus korupsi – meninggal dalam penjara tahun 2020. Dan di situ, Adiraja merasa ada potongan puzzle yang nyaris menyatu. Ia bersandar di kursi, menatap ke arah pintu ruangan yang tertutup rapat. Sekretaris barunya bukan sembarang perempuan. Ia datang membawa masa lalu. Dan pria tadi—Virendra Satya. Mantan rekan yang pernah dituduh membocorkan data internal lima tahun lalu. Adiraja memijat pelipisnya. Dunia memang kecil. Terlalu kecil untuk menyembunyikan luka lama. Tapi jika Nayara pikir ia bisa menembus Mahadipa Group dengan senyum ramah dan mata teduhnya, maka dia salah besar. “Kalau ini permainanmu, Nayara… maka bersiaplah untuk menghadapi aku.” Adiraja yang masih menyandarkan tubuhnya ke kursi kerjanya, menatap layar yang menampilkan data Nayara dengan penuh pikir. Bukan hanya karena rekam jejaknya yang mencurigakan, tapi karena... ada sesuatu dalam tatapan wanita itu. Sebuah kekuatan tersembunyi di balik kesantunan. Wanita seperti itu tidak cocok berada di balik meja sekretaris. Ia bukan tipe yang pasrah diperintah. Dan entah kenapa... itu membuatnya semakin tertarik. "Kalau kau memang sedang menyembunyikan sesuatu, Nayara... akan lebih mudah jika kau berada tepat di sisiku," gumamnya lirih. Bukan ancaman. Tapi strategi. Jika wanita itu memang menyimpan niat lain, Adiraja ingin mengawasinya dari jarak paling dekat. Mungkin menjadikannya sekadar sekretaris biasa terlalu sia-sia. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. "Dekatkan dia. Libatkan dia lebih dalam." Tapi yang Adiraja tidak tahu—di tempat lain, Nayara sedang menatap rapi dokumen hasil print dari sistem inventaris perusahaan yang ia curi aksesnya diam-diam lewat ID staf yang ditinggal sembarangan. Matanya menelusuri kode alur distribusi dana Mahadipa Foundation—tempat semua aliran gelap disembunyikan. “Semakin dekat aku padamu, semakin mudah aku melihat semua borokmu, Adiraja Mahadipa.” Ia tahu langkahnya berbahaya. Tapi itulah niatnya dari awal. Masuk ke jantung pertahanan. Dan menghancurkan dari dalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD