Part 5

2242 Words
Deza semakin deg-degan tak menentu. Untuk pertama kali ia merasakan sensasi perasaan yang ia sendiri tak bisa memahaminya. Alfa menatapnya lekat. Ada gairah yang mengabut di kedua mata laki-laki itu. Khilaf... Mungkin satu kata ini tepat untuk menggambarkan apa yang dia lakukan saat ini. Memandang perempuan non mahram begitu menelisik ditambah tubuhnya hanya terbungkus pakaian dalam. Sungguh, ia tersiksa menahan hasratnya. Tubuh Deza masih menghimpit dinding kamar mandi. Lembabnya ruangan itu bahkan tak terasa karena atmosfer sudah sedemikian panas. Akal sehat Alfa entah menguar kemana. Ia hanya terfokus pada makhluk indah di hadapannya. Ia bisa merasakan deru degup jantung Deza yang terdengar berkejaran. Deza tahu ini mungkin tidak betul, tapi seakan ia ingin menantang dirinya sendiri, membuktikan bahwa dirinya bukanlah penyuka sesama jenis. Dan hanya laki-laki ini yang sanggup meruntuhkan arogansinya. Sekian tahun ia menganggap romansa antara perempuan dan laki-laki hanyalah cerita semu semata, dan hari ini dia terjebak pada romansa yang tak sanggup ia hindari. Ia tak bisa mundur sekarang, sementara sentuhan jari-jari Alfa yang menurun ke dadanya, perutnya dan pahanya membuatnya tak berkutik. Ada gelenyar aneh menggetarkan setiap jengkal tubuhnya. Alfa meski belum pernah menjalin hubungan spesial dengan perempuan manapun, meski ia belum pernah menyentuh perempuan manapun, tapi ia bukan anak kemarin sore yang bisa duduk anteng dengan dicekoki buku pelajaran atau game di smartphonenya. Wawasannya berkembang melebihi apa yang Kia dan Gharal duga. Mereka tak pernah tahu putra sulungnya yang terlihat manis ini pernah beberapa kali menonton film bokep bersama teman-temannya saat bertandang ke kost salah satu temannya. Cowok nggak pernah nonton bokep? Patut dipertanyakan, ini cowok beneran atau bukan? Begitulah yang dikatakan teman-temannya ketika Alfa berusaha menghindar untuk tak ikut menonton. Mungkin sudah dari sananya, bahwa bagian otak yang mengatur hormon seks (hipotalamus) pada laki-laki lebih besar daripada perempuan ditambah dengan hormon testosteron yang volumenya 20 kali lebih besar dibanding perempuan, menjadi penyebab gairah Alfa mudah tersulut dengan hanya melihat lekukan tubuh Deza yang hanya dibalut pakaian dalam. Ia gagal mengendalikan hawa nafsunya. Alfa mengecup bibir Deza tanpa bisa Deza cegah. Kecupan itu tak dibalas Deza yang hanya membeku, saking terkejutnya. Ini ciuman pertama untuk keduanya. Meski Alfa baru berpengalaman mencium bibir perempuan, tak sulit untuknya memainkan insting. Ia arahkan bibir Deza agar mau membuka dan memberinya akses untuk memperdalam ciumannya. Alfa yang sudah dikuasai gairah meletup-letup, Deza yang penasaran dan merasakan sensasi yang mendebarkan sekaligus melenakannya, tentu mereka tak ingat akan dosa yang membayang. Mereka memejamkan mata, menikmati apa arti sebuah ciuman, saling menyesap seperti melumat es krim. Tangan Alfa memutar kran hingga air shower menghujani tubuh mereka. Dua bibir itu saling memagut, berpelukan di bawah siraman gemericik air yang membasahi keduanya. Alfa bisa mendengar deru napas Deza yang memburu dan tersengal. Ia semakin mengeratkan pelukannya, mengusap punggung Deza lalu memberi kecupan di sepanjang leher gadis itu, bahkan juga lebih dari kecupan. Alfa meninggalkan banyak tanda kepemilikan di sana. Kecupan itu menurun ke dadanya, lalu menjelajah perut rata Deza. Alfa berjongkok di hadapan Deza yang masih berdiri gemetaran. Bukan hanya bibirnya yang gemetar merasakan dinginnya guyuran air, tapi tubuhnya pun gemetar dengan kecupan yang Alfa berikan di spot-spot tubuhnya. Alfa terpaku. Kedua tangannya hendak menurunkan celana Deza, tapi ia urungkan. Ia dongakkan wajahnya dan menatap Deza menangis lirih dengan rambut dan badan yang sudah basah. Tangannya bersedekap dan bergetar. Alfa tersadar, apa yang dilakukannya sudah begitu jauh dan membuat gadis itu ketakutan. Alfa berdiri dan menatap lekat wajah Deza yang sudah digenangi air mata. Rasa bersalah mengacaukan pikirannya. Alfa mengusap jejak tangis sesenggukan Deza. Gadis yang terlihat sangar ini nyatanya memiliki sisi lain yang begitu rapuh. Deza yang haus perhatian orangtuanya dan merasa terbuang oleh ibunya sendiri, merasa begitu diinginkan oleh Alfa. Ia biarkan Alfa menciumnya, memberikan pengalaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Untuk pertama kali ia merasa bahwa dia memang perempuan. Dan kini ia begitu menyesal. Perasaan rendah diri, merasa kotor dan hina telah menerbitkan kesedihan yang begitu mendalam hingga bulir bening itu lolos begitu saja. “Maafkan aku Dez. Sebaiknya kamu ganti baju dan pulang. Kamu bawa motor sendiri kan?” Deza mengangguk tanpa berani memandang Alfa. Alfa mematikan kran shower. Ia mengambil handuk Deza yang jatuh terjerembab di lantai luar kamar mandi. Entah sejak kapan handuk itu tergeletak. Alfa membalut tubuh Deza dengan handuk. “Atau kamu mau aku antar? Motorku biar aku titipin dulu di kost Farez yang deket dari sini.” Deza menggeleng. Ia masih menunduk. Rasanya ia tak punya muka lagi untuk menatap laki-laki yang baru saja mencicipi setiap jengkal tubuhnya dengan kecupannya. Deza merasa tak lagi berharga sebagai perempuan. Ia merutuki kebodohannya yang dengan mudah membiarkan Alfa melakukan semua ini padanya. Deza mengelap tubuhnya lalu melangkah keluar kamar mandi. Ia mengambil baju di tasnya, mengenakannya tak peduli mata awas Alfa masih memandang lekat ke arahnya. Apa lagi yang perlu ditutupi? Pria itu sudah melihatnya tampil hampir polos dan bahkan mereguk kenikmatan darinya meski tak sampai merenggut sesuatu yang sudah ia jaga selama ini. Andai saja mereka tak tersadarkan, mungkin hari ini akan menjadi sejarah terburuk dalam perjalanan hidupnya, kehilangan kehormatannya. Meski Deza sudah merasa, dia memang sudah kehilangan segalanya. Gadis itu keluar ruang ganti dengan air mata membanjir yang tak mampu lagi bisa ia bendung. Alfa masih terpekur di ruang ganti dengan berjuta penyesalan. Ia kecewa dan marah pada dirinya sendiri yang tak bisa menahan hasratnya. ****** Deza tak keluar kamar sejak pulang latihan. Ia menangis terus-menerus karena menyesali apa yang terjadi hari ini. Matanya sembab dan jiwanya begitu tertekan. Rasanya dia sudah tak lagi punya harga diri dan tak ada lagi yang bisa ia banggakan sebagai perempuan. Suara ketukan pintu menggaung dari luar kamar. “Deza ayo makan.” Panggilan ibunya membangunkannya dari lamunan. Deza mengelap air matanya. Setelah merasa lebih baik, ia berjalan mendekat ke arah pintu. Ia membukanya pelan. Selia menatap putrinya yang terlihat pucat dan lusuh. Matanya begitu awas menelisik, seakan tengah mencari-cari apa yang berbeda dari putrinya. Betapa terkejutnya ia kala mendapati ada banyak kiss mark bertebaran di lehernya. “Astaghfirullah Deza... Apa yang sudah kamu lakukan?” intonasi suara Selia terdengar meninggi. Deza terperanjat menatap Selia membulatkan matanya dan kemarahan hebat tergambar jelas di wajahnya. Deza bertanya-tanya, bagaimana ibunya bisa tahu jika ia baru saja mengalami kejadian yang membuatnya jatuh dan sedemikian terluka. Selia mengangkat dagu putrinya. Dia menatap lekat-lekat tanda merah yang memenuhi sepanjang leher putrinya. “Astaghfirullah siapa yang melakukan ini Deza? Siapa yang sudah menciummu hingga meninggalkan banyak tanda di lehermu?” gertakan Selia membuat Agil dan Khansa segera melangkah menaiki tangga menuju kamar Deza. Kakek dan neneknya yang sedang duduk di ruang tengah saling berpandangan. Sang kakek menduga Deza baru saja melakukan kesalahan dan itu sudah biasa. Selia terbiasa memarahinya. “Ada apa Bu?” Agil menatap Selia dan Deza bergantian. Air mata tumpah, meleleh dari kedua sudut mata Selia. “Ya Allah ampuni aku ya Allah. Ampuni hamba yang telah lalai mendidik anak.” Isak tangis Selia begitu menyayat. “Ada apa Ibu?” Khansa meraba-raba, mencari keberadaan ibunya. Setelah ia menemukan ibunya, ia mencoba meraba wajah sang bunda. Selia memeluk putri tirinya dengan tangis yang semakin mencekat. Agil menatap putri bungsunya dengan pandangan bertanya. Ia menelisik putrinya dari atas ke bawah dan tatapan itu berhenti ketika dua matanya menyasar pada banyaknya tanda merah di leher Deza. “Astaghfirullah Deza, apa yang sudah kamu lakukan? Siapa laki-laki yang sudah berani mencium kamu?” suara Agil yang menggelegar membuat Deza terisak. Sungguh, ia tak berani mengatakannya. Orangtuanya tahu, Alfa menaruh hati pada Khansa dan ibunya pernah berujar, ia sangat setuju jika ta’aruf antara Alfa dan Khansa berujung ke pernikahan. Bagaimana jika ibunya tahu yang sebenarnya. Ia pasti akan sangat kecewa. Mungkin kakaknya pun akan sangat kecewa. Orangtua Alfa juga akan sangat terluka. Deza tak mau kejujurannya nanti melukai banyak pihak. “Anak ini harus divisum Yah. Barangkali dia sudah kehilangan keperawanannya.” Tangis Selia semakin keras. Khansa ikut menangis karena terluka mendegar isak tangis ibunya. Ia juga bersedih memikirkan nasib Deza. Agil beristighfar berkali-kali. Ia mengguncang lengan Deza dan menatap putrinya dengan tatapan yang begitu menghujam. “Katakan yang sebenarnya Deza, apa yang sudah terjadi? Kamu punya pacar? Siapa pacar kamu?” Deza semakin tersedu. “Dia cuma nyium Deza, nggak lebih. Deza jamin, Deza masih perawan.” Isak tangis Deza semakin menyayat. Matanya yang sudah sembab seakan membengkak. Ia merasa tak hanya kehilangan harga diri, tapi juga keluarganya. Selia menghampiri putrinya. Tamparan keras mendarat di pipi Deza. Plaakkkk.... “Ibu nggak pernah ngajarin kamu untuk menjadi murahan seperti ini Dez. Di mana harga diri kamu? Ibu kecewa, sangat kecewa. Ibu nyesel punya anak seperti kamu!” Selia keluar dari kamar putrinya masih dengan tangis yang menggenang. Seketika persendian Deza serasa lemas. Ia luruh, duduk terkulai dengan rasa perih yang menjalar, mencabik-cabik perasaannya. Ia merasa tak punya siapa-siapa yang bisa memahaminya. “Kamu sudah bikin ibu kamu kecewa. Ayah juga kecewa. Kalau sampai besok kamu belum juga cerita siapa cowok itu, ayah yang akan mencarinya sendiri.” Agil keluar dari kamar dengan sebongkah luka. Luka yang sama pedihnya dengan luka yang dirasakan Selia. Ia tak pernah menduga, putrinya akan tumbuh seliar ini. Sungguh ia tak ingin kesalahan masa lalunya dengan Selia sebelum hijrah terulang oleh anaknya. Ia merasa gagal menjadi seorang ayah. Khansa meraba-raba, mencoba mencari sumber suara tangis sang adik. Ia berhasil meraih tubuh adiknya. Dipeluknya tubuh Deza meski Deza masih mematung, tak membalas pelukan sang kakak. “Deza, ayo cerita sama kakak. Apa yang sebenarnya terjadi?” “Deza sudah berbuat kesalahan Kak. I hate myself. It’s better for me to die...” Air mata masih saja berlinang membasahi wajahnya. “Jangan bilang kayak gitu Deza. Tenangkan dirimu. Ada kakak yang akan selalu bersamamu.” Deza menyandarkan kepalanya di bahu sang kakak. Tangisnya seolah menggema di segala sudut. Khansa mengelus kepala sang adik. Ia tak bisa menyalahkan adiknya meski ia sangat shock mengetahui sang adik sudah berani berciuman dengan laki-laki. Ia biarkan adiknya tenang dan meluapkan semua kesedihannya. Jika nanti Deza sudah tenang, ia akan mencoba mengarahkan adiknya untuk pelan-pelan memperbaiki diri. ****** Alfa tak bisa terpejam. Ingatannya selalu saja tertuju pada moment romantisnya bersama Deza di ruang ganti. Entah kata apa yang tepat menggambarkan moment itu. Romantis atau justru menyesatkan? Dengan segenap hati Alfa benar-benar merasa berdosa dan bersalah. Bagaimana mungkin ia gagal mengendalikan diri? Selama ini ia berhasil menjaga diri untuk tidak terseret arus pacaran seperti teman-temannya. Tapi kenapa ia gagal saat berhadapan dengan Deza? Ia merutuki kebodohannya yang selalu saja teringat ciuman panasnya dengan gadis tomboy itu. Bayangan akan setiap lekuk tubuh Deza yang ia kecup dan sentuh semakin membuatnya gelisah. Ia merasa seperti seorang pecundang. Berani grepe-grepein anak orang, tapi tidak ada tanggungjawabnya. Kepalanya semakin pening kala ayah bundanya membahas ta’arufnya dengan Khansa. Orangtuanya sudah siap untuk melamar Khansa jika Alfa dan Khansa memang berniat serius. Harusnya ia senang karena impiannya untuk menikahi gadis pujaannya akan terealisasi. Namun saat ini ia justru merasakan kebimbangan luar biasa. Bagaimana dengan Deza? Sepenggal ingatan akan tangis lirih Deza dan tubuhnya yang gemetar di bawah guyuran air hadirkan perasaan bersalah yang begitu menyiksa. Ia sadar, hatinya masih utuh untuk Khansa. Akan tetapi, ia tak bisa begitu saja mengabaikan perasaan Deza. ****** Deza membuka buku diarynya. Saat sedang kalut seperti ini, buku diary menjadi satu-satunya teman bercerita untuk menumpahkan segala rasa yang menyesakkan. Deza menggoyangkan pena di atas lembaran kertas. Diary... Aku merasa sudah tak punya harga diri. Aku kehilangan semua. Apa lagi yang bisa aku banggakan? Alasan apa yang bisa kujadikan pegangan untuk bertahan? Aku tak punya alasan apapun. Selamanya lembaran kertas ini mungkin akan selalu menjadi teman bercerita terbaik. Ruangan ini pun selalu menjadi pendengar setia segala keluh kesah. Setidaknya tidak ada yang menghakimiku. Aku tahu, aku tumbuh tidak sesuai harapan ayah dan ibu. Aku keluar jalur. Aku tidak seshalihah kakak dan ibu. Aku tidak sebijak ayah. Aku tidak sebaik anak gadis lain yang dengan mudahnya mengatakan ‘ya’ kala ibunya memintanya untuk merapikan kamar, mengenakan jilbab, membuat kue atau sekedar memoles kukunya dengan daun pacar. Mungkin aku satu-satunya anak yang begitu disesalkan ibunya untuk dilahirkan. Jika bisa meminta, aku tak ingin dilahirkan. Orang bilang aku rumit, sulit dimengerti, bengal dan pemberontak. Mungkin memang benar adanya. Tak seorangpun yang bisa memahami. Sekuat apapun aku mencoba membela diri, dunia tak akan pernah berpihak. Aku tahu, aku telah melakukan banyak kesalahan. Mungkin tak terhitung dan jika ada tempat yang bisa menampung kesalahan, tempat itu sudah tak sanggup lagi memuatnya. Aku sadar diri. Aku tak pernah membuat orangtuaku bangga dan aku tak pernah cukup baik untuk mereka. Aku selalu menyusahkan dan menorehkan luka yang mengalirkan hujan di mata bening ibuku. Sungguh aku tak tahu lagi kemana harus kulangkahkan kaki. Semua ini begitu pelik. Benar kata ibuku, aku murahan yang dengan mudahnya membiarkan laki-laki menyentuhku, menciumku, memelukku... Padahal dulu aku pernah bersumpah bahwa aku tak akan membiarkan seorang priapun melakukan pelecehan terhadapku. Kemana Deza yang lama? Aku seperti tak mengenali diriku. Aku tak mengerti kenapa aku jadi begini? Maafkan kesalahanku ya Allah. Maafkan aku... Aku tak tahu bagaimana harus kutata hidupku selepas ini. Apa masih ada masa depan yang baik untukku? Aku ingin pergi sejauh-jauhnya. Biar saja semua luka aku telan sendiri. Biar saja kejadian hari ini hanya akan menjadi serpihan yang akan kucoba untuk kukubur. Cukup Allah, aku dan dia yang tahu... Deza memejamkan mata lalu membukanya perlahan. Ia melirik jarum jam dinding lalu beralih pada foto keluarga yang tersemat di pigura. Dalam benaknya terangkai serangkaian rencana. Satu kata yang menggaung di otaknya, ‘pergi’...Ya dia ingin pergi sejauh-jauhnya. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD