Pacar

2027 Words
Jam menunjukkan pukul dua belas malam, Alice baru saja menyelesaikan semua tugas-tugas yang harus dikumpulkan besok pagi. Matanya sudah terasa berat, rasa kantuk menyerangnya sejak setengah jam yang lalu. "Waktunya tidur!" Alice berseru antusias, tak sabar ingin segera menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang empuk. Namun, panggilan alam menunda hal tersebut. Alice berdecak, mau tidak mau ia harus ke toilet terlebih dahulu sekalian cuci muka. Tak berselang lama Alice keluar dari toilet, bersiap untuk menghambur ke kasurnya yang menanti. Tapi, alih-alih langsung beranjak ke kasur, ia malah tertahan di ambang pintu ketika netranya melihat siluet seseorang masuk ke kamarnya lewat jendela. "Yaaa!!!" Spontan Alice berteriak, melotot saat mengenali siapa yang baru saja menyelinap ke kamarnya. "Ragas! Apa yang kamu lakukan di kamarku?" Ia benar-benar panik karena orang yang tak lain Ragas, tetangganya itu berjalan gontai ke arahnya dengan ekspresi datar yang terlihat begitu menyeramkan. "Setop! Jangan mendekat!" Tapi sepertinya cowok itu tak mendengarkan peringatan Alice. "Yaa, Ragas—" Alice tercekat karena Ragas sudah berada tepat di depan matanya, semakin dekat. Bahkan sangat dekat sampai ia harus menahan napas ketika bau menyengat menyeruak dalam indera penciumannya. Alice bukan anak nakal, tapi ia tahu bau macam apa yang menguar dari Ragas. Semacam bau minuman laknat yang seharusnya tidak dikonsumsi, tapi sepertinya cowok itu baru saja mengkonsumsinya. Untuk sepersekian detik Alice mematung, matanya tak bergerak sekalipun, tetap mengawasi Ragas yang tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. "Hei!" Alice memekik, matanya nyaris lompat saat Ragas mencondongkan tubuhnya ke depan wajahnya. Ia spontan mundur, tapi tertahan oleh tangan Ragas yang sudah meraih gagang pintu dan perlahan menutupnya. Tatapan Ragas yang tidak beralih sedetik saja darinya, membuat Alice ketakutan, merasa sangat was-was, takut jika cowok itu akan berbuat macam-macam padanya. Apalagi saat ini ia berada di rumah sendirian dan kehadiran Ragas di kamarnya merupakan bahaya besar untuknya. Terlebih dengan kondisi cowok itu dalam pengaruh minuman laknat. "A-p-apa yang kamu la-lakukan di kamarku?" Meski takut, Alice memaksa mulutnya terbuka. "Pe-pergi!" Ia mengusir Ragas, mengacungkan telunjuknya ke jendela kamar yang terbuka. Sial, bagaimana cowok itu bisa masuk. Seingat Alice, ia sudah menutup dan menguncinya dari dalam. Apakah ia teledor lagi? Alih-alih menuruti ucapan Alice untuk segera pergi, Ragas malah melangkah maju, menepis jarak yang tak lagi tersisa, menghimpit Alice ke pintu kamar mandi dan tangannya terulur menurunkan telunjuk Alice. "Ka-kamu—" Alice melotot, terlambat menyadari apa yang hendak Ragas lakukan dengan memiringkan kepala dan menekan kepalanya ke pintu kamar mandi. Untuk sepersekian detik Alice merasa tubuhnya melayang, tak tentu arah, seakan terombang-ambing tanpa tujuan. Hingga sentuhan lebih menuntut di bibirnya menyadarkan Alice akan apa yang tengah terjadi. What the hell! Kesadaran mengambil alih tubuh Alice, spontan mendorong d**a Ragas yang dengan lancang menciumnya. Namun, pertahanan cowok itu begitu kokoh sampai dorongan tangannya tak memberikan efek apa pun, yang ada malah kedua tangannya berhasil dilumpuhkan. "Ra-gas!" Alice tak menyerah, memberontak. Jelas ia tak akan pasrah jika Ragas yang bukan siapa-siapa dirinya berani menciumnya seperti sekarang. Merasa tindakan cowok itu sudah sangat keterlaluan dan membuatnya serasa sedang dilecehkan. Serta Alice tak ingin sesuatu yang lebih buruk terjadi padanya malam ini. "Hen-ti-kan!" Gelengan kepala yang dilakukan Alice nyatanya tak mampu membuat Ragas menghentikan aksinya. Alice tak mau pasrah, tapi keadaan menuntutnya untuk menyerah. Mungkin di luaran sana banyak gadis seusia dirinya yang menantikan momen ini, bahkan bisa jadi akan dengan suka hati menyodorkan diri untuk dicium Ragas. Tapi tidak dengan dirinya, alih-alih menikmati apa yang cowok itu lakukan atas bibirnya, Alice merasa hina dan kotor karenanya. Seandainya ia diberi satu keajaiban, Alice ingin Ragas segera menghilang dari pandangannya. Tapi hal itu mustahil karena ini bukan mimpi, tapi nyata, benar-benar nyata sampai Alice merasa ingin mati saja. Setelah beberapa menit, Ragas menghentikan aksinya. Menarik sedikit wajahnya untuk memandang Alice yang melemparkan tatapan sengit dengan napas terengah-engah. Mata Ragas memindai wajah Alice yang memerah, bisa jadi karena marah atau malah karena merona setelah ciuman panjang itu berlangsung. Lalu pandangannya turun ke bibir Alice yang sedikit bengkak dengan warna merah cherry yang begitu menggoda. "Manis," komentar Ragas sembari mengusap lembut bibir bawah Alice. Tak tahan lagi diperlakukan semena-mena oleh Ragas, Alice dengan sepenuh tenaga mendorong Ragas sampai cowok itu tersentak mundur. Menciptakan sedikit jarak dari dirinya yang sudah muak melihatnya. "Are you crazy?" "It seems so," jawab Ragas, memberikan senyuman kecil yang seakan-akan senyuman itu untuk mengejek Alice. "Your lips are too tempting." "Sinting!" maki Alice yang tak habis pikir dengan jawaban Ragas. Ia semakin merasa dilecehkan, direndahkan oleh kata-kata cowok itu. Apa dipikir Alice ini cewek murahan? Layaknya cewek-cewek yang suka rela mengantri untuk mendapatkan ciumannya? But, sorry, Alice bukan salah satu cewek yang mengagumi Ragas, justru malah sebaliknya. Jika ada satu orang yang paling benci sama Ragas saat ini, jelas orang itu Alice. "Pergi dari kamarku sekarang juga!" Alice membentak, mengarahkan telunjuknya sekali lagi ke jendela. Ragas terkekeh, menertawakan respon Alice yang ia anggap lucu. Benar-benar aneh, bisa-bisanya menganggap orang yang sedang marah itu sebagai sesuatu yang lucu. Atau karena mungkin ini pertama kalinya ia mendapat respon sedemikian rupa. Jika biasanya para cewek akan merespon dengan sambutan menyenangkan, sedangkan Alice menunjukkan penolakan secara terang-terangan. "Kalau gue nggak mau gimana?" sahut Ragas, mencondongkan kembali tubuhnya ke depan dan merendahkan sedikit tubuhnya agar kepalanya bisa sejajar di hadapan wajah Alice. Mata Alice semakin melebar, mungkin jika matanya tak terekat erat bisa jadi matanya akan melompat dari tempatnya. "Kamu ...!" Tangan Alice terayun ke atas, bersiap melayangkan tamparan pada Ragas. Tapi entah kenapa ia malah berhenti tak bergerak, membuat cowok itu makin terkekeh menertawakannya. "Wow, baru kali ini ada cewek berani mau nampar gue. Apa ciuman gue kurang memuaskan?" Ragas malah sengaja memprovokasi, ingin melihat sejauh mana keberanian Alice melawannya. Tangan Alice menurunkan tangannya, mengepal erat menahan gejolak emosi yang menggebu-gebu. Seandainya pembunuhan tidak melanggar hukum, mungkin ia sudah melakukannya untuk melenyapkan Ragas dari pandangannya sekarang juga. Alice menghirup napas kuat-kuat, mengembuskannya dengan kasar sembari memejamkan mata sejenak sebelum kembali menatap tajam Ragas. "Pergi sekarang juga, atau aku akan berteriak!" ucap Alice, tegas, penuh penekanan di setiap katanya. "Oke." Ragas menarik kembali tubuhnya ke posisi semula. "Gue akan pergi. Thank's buat ciumannya dan sampai berjumpa lagi besok, di kampus." Ragas tersenyum manis sembari mengusap pipi Alice yang langsung ditepis oleh sang empunya. Bukannya marah ia malah tertawa, melambaikan tangan sambil berjalan mundur. "Bye. I like your lips." Alice berdecih, membuang muka ketika Ragas mengatakannya. Ia sama sekali tak tersanjung oleh ucapan cowok itu, malah merasa jijik karena bibirnya baru saja dicium oleh cowok itu. Ciuman pertamanya yang direnggut secara tidak hormat oleh bad boy tengil macam Ragas. "Gue tunggu di parkiran besok," ucap Ragas sebelum melompat keluar dari jendela kamar Alice. Alice tak menghiraukan, selepas Ragas menghilang dari pandangannya seketika tubuhnya merosot ke lantai. Sejak tadi kakinya gemetar, lemas dan seolah tak berdaya menahan beban tubuhnya. Tapi sebisa mungkin ia menahan diri dan tak ingin memperlihatkannya di depan Ragas. Alice tidak mau terlihat lemah di depan cowok itu, karena hal itu akan membuatnya semakin tertindas. Alice menghela napas panjang yang terasa berat, menatap sengit ke arah jendela seakan di sana masih ada sosok Ragas yang bertengger di jendela kamarnya dan satu umpatan berhasil lolos dari mulutnya. "Cowok berengsek!" *** Alice tersentak dari tidurnya, matanya menatap lebar langit-langit kamar. Mimpi buruk yang merekam jelas adegan semalam, membuat napas Alice terengah-engah. Ia mengembuskan napas kasar sembari memejamkan mata sejenak, menyingkirkan bayangan laknat itu yang kembali berputar di dalam kepalanya. Lalu matanya terbuka lagi, bersamaan dengan tangannya yang terulur meraih jam weker yang begitu berisik sedari tadi. Alice berkali-kali mengembuskan napas kasar, memaksa dirinya beranjak dari kasur empuk. Ia melangkah ke jendela, melakukan rutinitas paginya untuk menghirup udara segar. Berharap udara segar mampu merilekskan tubuhnya dan membuang sisa-sisa pikiran negatif dari dalam kepalanya. Ketika jendela kamar terbuka, pandangan Alice langsung tertuju pada jendela rumah sebelah yang juga terbuka lebar. Mengetahui jendela kamar Ragas terbuka, buru-buru ia menutup kembali jendela kamar sebelum pemandangan buruk menyapa matanya. Kata-kata Ragas semalam masih terngiang-ngiang di telinganya, membuat Alice begitu sebal dan sangat membenci cowok itu. Bahkan ia berniat ingin melenyapkan Ragas dari muka bumi, tapi sadar jika sampai kapan pun ia tak akan punya keberanian untuk melakukan itu. Sial memang! Tak ingin terus larut memikirkan kejadian semalam, Alice menyibukkan diri dengan melakukan berbagai aktivitas yang biasa ia lakukan sebelum pergi ke kampus. Berhubung hari ini mamanya belum juga pulang, terpaksa Alice harus membuat sarapannya sendiri. Setelah selesai mandi dan berdandan alakadarnya, Alice langsung berkutat di dapur untuk membuat sarapan. Hanya roti bakar dengan tambahan omelet dan segelas s**u. Dering ponsel menginterupsi Alice yang sedang makan. Melihat nama mamanya muncul di layar, buru-buru Alice mengangkat panggilan tersebut. "Halo, ma." "Halo sayang, kamu sedang apa? Sudah siap-siap buat berangkat ke kampus?" tanya sang mama dari seberang telepon. "Lagi sarapan. Hari ini Alice ada kelas pagi. Mama pulang jam berapa? Bisa antar Alice? Tapi kalau nggak bisa nggak papa juga, Alice bisa naik taksi," ucap Alice seraya mengunyah gigitan roti yang baru saja masuk ke mulutnya. "Sorry, dear. Mama kayanya nggak bisa antar kamu, karena habis ini ada rapat sama dewan direksi rumah sakit. But, kamu nggak perlu khawatir, karena mama sudah minta tolong sama Ragas buat berangkat bareng kamu ke kampusnya. Kamu nggak keberatan 'kan?" What the hell!!! Alice tersedak karena mendengar ucapan mamanya yang menyebut nama Ragas, ditambah sang mama yang meminta cowok itu untuk berangkat bareng dengan dirinya. Sungguh berita buruk yang mengacaukan suasana hati Alice pagi ini. "Alice, are you okay?" Mamanya begitu khawatir mendengar Alice batuk-batuk. Alice meminum segelas susunya sampai tandas tak bersisa. Kemudian menjawab, "I am okay, ma. But, aku nggak setuju sama saran mama buat berangkat bareng—" Ucapan Alice terinterupsi ketika mendengar suara lain dari seberang telepon, seseorang yang sepertinya berbicara dengan mamanya. "Sayang, udah dulu ya. Mama udah dipanggil buat ikut rapat. Kamu hati-hati di jalan ya, bilang sama Ragas buat nggak kebut-kebutan. Bye sayang, have a nice day." Setelah itu panggilan telepon berakhir. Alice mendengkus kasar. Tidak akan ada hari yang indah jika ada kehadiran Ragas di depan matanya. Alice tak habis pikir, kenapa mamanya harus meminta tolong cowok itu untuk memberinya tumpangan. Padahal ini bukan pertama kalinya sang mama lembur dan tak bisa mengantar ke kampus dan biasanya tak pernah meminta bantuan pada anak tetangga sebelah yang menyebalkan itu. Alice menjedotkan kepalanya ke meja, jengkel dengan keadaan yang seolah sengaja menguji kesabarannya. Dari sekian banyak orang, kenapa harus Ragas? Alice tidak mau melihat wajah Ragas, menyebut namanya dalam pikiran saja sudah membuatnya frustrasi. Apalagi harus berhadapan langsung setelah apa yang terjadi tadi malam. "Sial, sial, sial!" Di saat Alice sibuk mengutuk Ragas dan keadaan dengan sumpah serapah serta kata-kata mutiara, suara bel menginterupsi. Menarik paksa Alice untuk melihat siapa yang datang pagi-pagi ke rumahnya. "Iya!" Alice meninggikan suaranya agar terdengar sampai luar, supaya orang di luar pintu berhenti menekan bel dengan tidak sabaran. "Siapa sih? Nggak sabaran banget!" gerutu Alice karena bel terus berbunyi, tanpa jeda dan itu sangat menyebalkan baginya. "Siap—" Alice tercekat ketika membuka pintu dan mendapati mahluk tak diundang berdiri di hadapannya. Senyum manisnya membuat Alice merinding dan merubah aura di sekitarnya jadi horor. What the— "Hai. Selamat pagi, pacar," sapa tamu tak diundang yang dengan pedenya melambaikan tangan di depan wajah Alice. "You look so pretty." Mata Alice berkedut mendengar sapaan dari orang di depannya yang tidak lain ialah Ragas. Melihat wujud cowok itu saja sudah sangat membuatnya jengkel, ditambah sapaan yang terdengar menjijikkan membuat Alice ingin sekali muntah di wajah Ragas. Namun, Alice tidak ingin memperburuk suasana hatinya yang sudah sangat buruk. Ia juga tak ingin membuang waktu percuma untuk berdebat dengan Ragas, karena itu tidak ada gunanya. Oleh sebab itu Alice memilih masuk dan buru-buru menutup pintu. Tapi sialnya gerakan Ragas lebih gesit darinya, cowok itu berhasil menahan pintu dengan kakinya dan mendorong daun pintu sampai Alice ikut terdorong mundur. "Aaa!!!" Alice memekik ketika keseimbangan kakinya goyah gara-gara terdorong mundur, beruntung ia tak sampai jatuh ke lantai karena ada tangan kokoh yang menahan pinggangnya. Tunggu .... What? Menahan pinggangnya? Alice melirik tangan yang bertengger nyaman di pinggangnya, kemudian beralih menatap si pemilik tangan yang berada dekat di depan wajahnya. Mata Alice membulat, syok luar biasa melihat wajah dan seringai si pemilik tangan. "Ka—" "Are you okay, baby?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD