Gosip

2063 Words
Alice mengusap kasar wajahnya berkali-kali. Kejadian tadi pagi terus berputar-putar di dalam kepala, bagaikan kaset rusak dan si wajah cowok menyebalkan, tetangganya itu terus menari-nari lincah di dalam sana. Sekeras apa pun usahanya untuk melupakan kejadian itu, nyatanya hal tersebut justru semakin memicu ingatannya terus memutar kejadian tersebut. Beruntung tadi pagi mamanya tidak menaruh curiga, meski sempat mempertanyakan suara laki-laki yang didengarnya di dalam kamar. Alice pun mengarang cerita, mengatakan kalau suara yang didengar mamanya itu dari video yang tengah ia tonton di ponselnya dan mamanya percaya begitu saja. Namun, gara-gara kejadian itu membuat Alice tidak bisa berkonsentrasi selama mengikuti kelas. Bahkan sampai sekarang, rasanya Alice ingin mengebor kepalanya dan menyingkirkan mahluk menyebalkan yang terus menari-nari di dalam sana. Tarian konyol dengan hanya mengenakan bokser ketat. Itu gila! "Hai." Suara bass menginterupsi Alice, menarik atensinya pada seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Alice melotot, tercengang melihat sosok yang duduk di sampingnya. Bahkan sosok itu dengan lancang mengambil minumannya tanpa izin dan menyeruputnya sampai habis tak bersisa. "Kamu?" Emosi Alice seketika mencuat ke ubun-ubun, menatap garang si pencuri es jeruknya. "Manis, kaya lo," komentar orang itu sembari menyeka bibirnya, seakan puas setelah menghabiskan es jeruk milik Alice. Apa dunia sesempit ini? Alice tak habis pikir, kenapa dunia begitu sempit. Setelah mengacaukan pikiran dan membuat suasana hatinya memburuk, sekarang orang itu justru muncul di hadapannya. Seakan takdir sengaja mengejeknya, membuatnya sangat ingin marah. Ya, orang yang duduk di samping Alice sekaligus yang menghabiskan minumannya ialah Ragas. Ragas Aldebaran. Cowok yang sedari tadi mengusik pikiran Alice dan sangat ingin ia singkirkan dari dalam kepalanya. "Heh!" Alice menggebrak meja, tak peduli jika suara yang ditimbulkan menarik perhatian sekitar. Di mana kantin saat ini lumayan ramai oleh para mahasiswa. "Apa kamu nggak pernah diajarin sopan santun? Yang barusan kamu lakukan itu mencuri namanya!" tukas Alice, emosi. Tangannya terkepal di atas meja, berhasrat sekali untuk memberikan tinju ke wajah Ragas yang menyebalkan. Ragas menaikkan sebelah alisnya. "Mencuri?" Lalu ia terkekeh geli. "Lo ternyata lucu juga ya. Dan thank's buat es jeruknya." Alice memutar bola mata, muak. "Nggak jelas!" Ragas terkekeh geli melihat respon Alice, bibir mungil yang sedang berkomat-kamit menggerutu dirinya itu terlihat sangat imut. Membuat sesuatu dalam dirinya merongrong, menginginkan bibir mungil itu untuk dilahap habis. Tapi Ragas cukup waras untuk tidak melakukannya, meski itu artinya ia harus menahan diri. "Lo jurusan TI juga? Berarti kita satu jurusan, tapi kok gue jarang lihat lo." Ragas kembali membuka obrolan ketika netranya tanpa sengaja melihat buku-buku Alice yang ada di meja. Alice mengembuskan napas kasar, malas meladeni Ragas. Tapi bibirnya berkhianat, karena tanpa bisa dicegah mulutnya langsung nyerocos. "Nggak heran, gimana mau tahu kalau absen aja nitip. Ke kampus cuma buat nongkrong sama hunting cewek. Bahkan aku heran kenapa pihak kampus masih mempertahankan mahasiswa seperti kamu! Nggak guna!" Bukannya tersinggung oleh kata-kata Alice, Ragas malah tertawa renyah menanggapi ocehan gadis itu. "Wah, kayanya lo tahu banget soal gue. Apa lo selama ini diam-diam memperhatikan gue? Atau jangan-jangan lo naksir sama gue?" Ragas mencondongkan kepalanya ke depan wajah Alice. "Lo suka gue?" Alice semakin melotot, matanya nyaris lompat ketika beradu tatap dengan mata Ragas yang hanya berjarak sejengkal. Alice mematung untuk sepersekian detik, seluruh sarafnya menegang bersamaan dengan degup jantung yang berpacu di luar kendali. Hingga suara Ragas kembali terdengar menyapa gendang telinganya, membuatnya seketika tersadar dan sangat ingin mengumpat kasar pada cowok itu. "Jadi lo beneran suka sama gue?" Ragas mengulas senyuman mautnya, mengedipkan sebelah matanya, menggoda. Sungguh playboy cap gayung lophe! Apa cowok di depannya ini sudah tidak waras? Gila? Sinting? Atau otaknya setengah? Pikir Alice yang merasa heran akan tingkat kepercayaan diri Ragas yang terlalu tinggi dan kepedean, hal tersebut justru membuatnya muak. Alice berdecih, spontan mendorong kedua bahu Ragas hingga menciptakan jarak di antara keduanya. "Nggak usah kepedean! Siapa juga yang suka sama kamu!" tukasnya. Meski Alice sangat emosi dengan Ragas, tapi nyatanya ia tetap menjaga ucapannya agar tidak kasar. Sejak kecil mamanya selalu mengajarkan Alice untuk menjaga sikap, tutur kata dan kepribadian yang baik. Itu kenapa Alice selalu menggunakan aksen aku-kamu terhadap siapa pun dan terkadang hal tersebut justru jadi bahan tertawaan orang-orang yang merasa dirinya gaul karena menggunakan aksen gue-elo. Mereka menganggap Alice cupu, norak, kampungan, udik, nggak asik, nggak gaul, hanya karena menggunakan sebutan aku-kamu. Itu sebabnya Alice tidak suka bersosialisasi dan lebih nyaman sendirian. Selain anti sosial, Alice juga cenderung introvert, sampai-sampai sudah di kampus setahun lamanya tapi tak kunjung memiliki teman dekat. "Masa sih?" Ragas mencebik, menyangsikan jawaban Alice. Tangannya yang tak bisa diam, mengambil sebuah buku yang menarik perhatiannya sejak tadi. "Apaan nih? Buku diari?" Alice spontan mendelik, jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika melihat buku diarinya yang sudah berpindah tangan pada Ragas. Sontak saja ia panik, pasalnya itu buku berisi curahan hatinya, keluh kesahnya yang tak seharusnya dilihat oleh orang lain dan Ragas justru lancang membacanya. "Benar-benar pagi yang buruk." Ragas mendengkus geli, mengalihkan pandangan sepenuhnya pada Alice. "Jadi lo tulis kejadian tadi pagi?" Napas Alice memburu, pipinya memanas. Ragas berhasil memancing emosinya berkobar-kobar. "Heh! Kembalikan!" Namun, dengan lincah Ragas bisa menghindar, menjauhkan buku diari dari jangkauan Alice. "Nggak kena." Bahkan ia mengejek Alice, menjulurkan lidahnya. "Nih, ambil kalau bisa." Astaga! Bunuh orang dosa, tapi kalau orangnya semenyebalkan Ragas sepertinya tidak. Alice benar-benar sangat berhasrat untuk mencekik cowok itu. "Kembalikan bukuku—aaa!" Alice memekik ketika mencoba meraih bukunya yang dijunjung tinggi sama Ragas, tapi naasnya ia malah terjatuh bersamaan dengan cowok itu yang turut jatuh karena terdorong olehnya. Suara keras bergema saat dua orang terjatuh, menghentak dinginnya lantai kantin dan sukses menarik perhatian sekitar. Alice melotot untuk kesekian kali, menatap horor wajah yang berada tepat sejengkal di bawahnya. Merasakan tubuh mungilnya menyentak kerasnya dada seseorang yang tak lain Ragas. "Ciyeee!" "Suit-suit!" Siulan dan godaan dari penghuni kantin bergema, membuat suasana yang sempat hening seketika riuh. Alice mengutuk keadaan ini, menyumpah serapah Ragas yang membuatnya jadi bahan tontonan. Pipi Alice memerah, menahan gejolak luar biasa di dalam dada. Ia sangat malu, terlebih ketika siulan para mahasiswa yang tak henti-henti menggoda. Rasanya Alice ingin membelah lantai dan menenggelamkan diri saat ini juga. Tapi Ragas malah bereaksi sebaliknya. Alih-alih marah ataupun malu, Ragas malah terkekeh sembari menikmati ekspresi Alice. "Pipi lo merah, kaya tomat, lucu." *** Kelas terakhir baru saja dibubarkan. Alice mempercepat langkahnya keluar dari kelas, setelah hampir dua jam merasa tidak nyaman di dalam kelas karena mahasiswa lain yang membicarakan tentang dirinya. Sepertinya kejadian di kantin tadi disaksikan oleh banyak orang, buktinya semua orang yang dilewatinya memandang dengan tatapan aneh. Membuat Alice merasa risih dan ingin cepat-cepat pulang. "Alice." Sial! Alice terpaksa menghentikan langkahnya ketika mendengar seseorang memanggilnya. Ia menoleh saat orang itu menghampiri. "Ada apa?" tanyanya. "Ada yang ingin gue tanyakan ke lo," kata orang itu yang tak lain Tere, teman sekelasnya di jurusan TI. Meski satu kelas, mereka tidak begitu dekat, hanya sebatas saling tahu. Lalu sekarang Tere bersikap seolah mereka berteman baik. "Apa yang ingin kamu tanyakan?" Melihat tampang Tere, Alice menebak jika yang ingin gadis itu tanyakan ialah perihal kejadian di kantin tadi. "Lo sama Ragas—" "Kita nggak ada apa-apa, nggak saling kenal juga, hanya kebetulan rumah kami bertetangga, kalau itu yang ingin kamu tanyakan. Ada lagi?" Alice berhasil membuat Tere jadi kikuk karena ucapannya yang to the point. "Oh jadi kalian bertetangga, aku pikir kalian—" "Enggak. Apa pun yang ada di pikiran kamu tentang aku dan Ragas jawabannya enggak, kami hanya tetangga nggak lebih. Tere, sorry, tapi aku sedang buru-buru karena mamaku sudah menjemput. Aku duluan ya." Tanpa menunggu respon Tere, Alice bergegas melangkah pergi. Terdengar suara Tere merespon setelah Alice berjalan meninggalkannya. Ia tak begitu peduli dengan yang Tere katakan, yang Alice lakukan hanya mempercepat langkahnya agar bisa terbebas dari tatapan para mahasiswa yang serasa mengintai dirinya. Seperti yang Alice takutkan, kejadian di kantin sukses membuat para mahasiswa berasumsi tentang dirinya dan Ragas. Entah siapa yang memulai, tapi gosip antara dirinya dan Ragas pasti sudah menyebar ke seluruh kampus mengingat betapa terkenalnya Ragas. Berita mengenai lelaki itu seolah angin segar yang diperebutkan oleh para fans cewek yang tergila-gila padanya. Buktinya saja Tere si ratu gosip sampai memastikan langsung kepada Alice. Mata Alice fokus memperhatikan layar, mengetikkan pesan untuk dikirim pada mamanya. Ia tadi berbohong sama Tere, menjadikan mamanya yang sudah menjemput sebagai alibi. Padahal Alice yakin kalau mamanya masih di rumah sakit, biasanya sang mama akan mengirimkan pesan jika sudah dalam perjalanan menuju kampus. Namun, hari ini mamanya belum mengirimi pesan padahal Alice sudah bilang kalau ia akan pulang lebih awal dari biasanya. "Mama kok nggak bales-bales sih." Alice berdecak, mencoba menghubungi mamanya. Tapi belum sempat menekan tombol telepon, seseorang tiba-tiba merangkulnya dan membuatnya spontan berhenti. "Hai." Alice seketika melotot saat menoleh ke samping dan mendapati Ragaslah yang merangkul. Dengan wajah innocent, lelaki itu menyapa Alice, memamerkan senyuman manis yang bagi Alice terlihat seperti senyuman iblis. Sadar jika orang-orang di sekitar memperhatikan, sontak Alice mendorong Ragas menjauh. "Apa yang kamu lakukan!" tukas Alice, kesal. Wajahnya begitu tak bersahabat. "Cuma sekedar menyapa tetangga," jawab Ragas sekenanya. "Lo mau pulang? Kebetulan gue juga mau pulang, gimana kalau lo bareng gue?" Ia juga menawarkan tumpangan pulang pada Alice. Alih-alih senang mendapat tumpangan gratis, Alice malah terlihat tidak suka dan menolak mentah-mentah ajakan Ragas. "Enggak, makasih. Mama aku sudah jemput, bye." Alice yang tidak mau jadi pusat perhatian, segera berlalu meninggalkan Ragas tanpa mau menunggu respon dari lelaki itu. Tapi sialnya Ragas seakan tidak peka dengan tatapan orang-orang sekitar, lelaki itu malah mengejar dan mensejajarkan langkahnya di samping Alice. "Hei, buru-buru amat sih." Ragas menarik lengan Alice, tapi dengan cepat ditepis oleh gadis itu. "Wow, galak." Ragas terkekeh dan Alice memberinya tatapan sengit. "Apa mau kamu sebenarnya? Kita tidak saling bicara sebelumnya dan sekarang kenapa tiba-tiba kamu menggangguku. Bersikaplah seperti biasa, jangan seperti ini, karena ini sangat membuatku tidak nyaman," cerocos Alice, menekan suaranya agar tidak didengar oleh mahasiswa lain yang diam-diam memperhatikan. "Benar, justru karena sebelumnya kita nggak pernah saling bicara, gue berniat merubah itu. Secara kita, 'kan, bertetangga, jadi kita perlu bersosialisasi atau berteman, emm ... mungkin juga pacaran? Sekarang lagi tren pacar lima langkah," kata Ragas, disusul tawa renyah yang menyebalkan. Alice memutar bola mata, malas menggubris ocehan Ragas yang tidak penting. "Aku nggak peduli, dan tolong jangan ganggu aku!" Setelah mengatakan itu pada Ragas, Alice beranjak untuk pergi. Tapi Ragas dengan gesit menahannya. "Apa lagi?" ketus Alice, tidak bisa sabar lagi menghadapi Ragas yang menyebalkan. "Pulang bareng gue," ucap Ragas, kali ini dengan mimik wajah serius. "Ogah!" Alice menepis tangan Ragas dari lengannya, kemudian berjalan tanpa mau menghiraukan lelaki itu. "Hei." Ragas mengikuti Alice, mencoba meraih tangan Alice tapi selalu ditepis. "Jangan ikuti aku!" Alice ingin sekali berteriak, karena Ragas terus mengikutinya. Apa lelaki itu tidak peka juga kalau mereka berdua sekarang jadi pusat perhatian. "Nggak mau, gue bakal terus ikuti lo sampai lo mau pulang sama gue," kata Ragas, keras kepala. Alice mendengkus sebal, mengambil ponselnya untuk mengecek apakah mamanya sudah membalas pesannya. "Mamaku sebentar lagi datang, jadi sebaiknya kamu pergi," ucap Alice berbohong, karena sebenarnya sang mama masih belum membalas pesannya. "Oh ya?" Ragas tersenyum miring, seolah meragukan ucapan Alice. "Hm, mending kamu pergi sana!" Alice keluar dari gerbang, celingukan ke arah kanan di mana biasanya mobil mamanya akan muncul. Tapi sekarang mobil mamanya belum ada tanda-tanda akan muncul. Lantas Alice mencoba untuk menghubungi mamanya. "Nggak dijawab?" celetuk Ragas ketika Alice berdecak karena sang mama tak mengangkat telepon darinya. "Bukan urusan kamu!" cetus Alice, sibuk mengetikkan pesan kepada sang mama agar segera menjemput. "Percuma." Ragas mengeluarkan rokok dan menyelipkan di sela-sela bibir seksinya. Lalu sengaja mengembuskan asapnya ke wajah Alice sampai gadis itu terbatuk-batuk dan terlihat mau protes. Tapi Ragas lebih dulu bicara. "Nyokap lo tadi telepon nyokap gue, katanya dia hari ini bakal lembur di rumah sakit. Jadi nyokap lo minta tolong buat gue anterin lo pulang." Alice menatap tak percaya pada Ragas, tapi seakan mengerti lelaki itu menunjukkan layar ponselnya di mana pesan mamanya terpampang jelas. Alice tak bisa mengelak, tapi juga tak mau menuruti kemauan mamanya untuk pulang bareng Ragas. Ia berniat naik busway saja dari pada harus dibonceng motor berisik milik Ragas. Namun, belum sempat mengutarakan keinginannya, Ragas malah lebih dulu menarik paksa dirinya. "Ayo pulang." Ragas menyeret Alice menuju parkiran. "Nggak mau!" Alice berontak. "Harus mau!" Ragas semakin erat memegangi tangan Alice agar tidak bisa kabur. "Ragas!" Alice berteriak, frustrasi karena menjadi tontonan semua orang untuk kedua kalinya. "Apa sayang?" Dan, Ragas menyahuti dengan ejekan menggoda. RAGAS MENYEBALKAN!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD