Part. 2

2412 Words
"Berangkat dulu budeh," sapa Alvin pada ibunya Retta yang sedang berdiri bersama beberapa ibu lainnya di depan gerobak abang sayur. Ibu Retta, bernama Lidia namun akrab dipanggil budeh oleh warga sekitar mengangguk dan tersenyum, sementara ibu yang lainnya saling berbisik dengan tatapan kagum. "Enggak bareng sama Retta nak, dia juga kerja hari ini. Tuh anaknya muncul." Gedik dagu Lidia pada seorang wanita yang kini menggulung rambutnya sampai atas, mengenakan blazer khas bank tempatnya bekerja, juga dengan rok pendek dan heels yang memerkan kaki jenjangnya. Retta nampak terburu-buru menenteng tas dan sesekali membetulkan tali heelsnya. "Aku berangkat ya mah," Retta mencium punggung tangan ibunya dan mengangguk sopan pada ibu-ibu yang lain. "Eh bareng nih sama Alvin daripada naik bus." "Yok bareng aja!" Ajak Alvin, terlihat Retta memikirkan ide itu, dia melirik jam tangannya tak banyak waktu yang tersisa. Diapun mengangguk dan naik di boncengan motor Alvin dengan posisi duduk yang miring. Sementara tangannya memegang jok motor. "Pegangan nak, nanti jatuh." Ucap Lidia memperingatkan "iya, Retta berangkat dulu."pamit Retta, Alvin mengangguk ke Lidia dan melajukan motornya setelah Retta melingkarkan tangan kanannya di pinggang Alvin. "Duh ibunya Alvin waktu hamil ngidam apa ya jeung? anaknya ganteng gitu, sopan lagi." Ucap salah satu ibu yang ditimpali dengan ibu-ibu yang lain. "Jeung, dulu bukannya Alvin dan Retta pacaran ya, kenapa mereka putus? Padahal kami kira mau sampai manten lho lumayan kan besanannya deket." Ucap ibu lainnya, Lidia hanya tersenyum lebar mendengar gosip itu. "Saya dan mamanya Alvin juga maunya begitu, dari kecil mereka udah sering bersama kok. Tapi ya kami serahkan semua ke anak-anak. Mereka sudah dewasa." Jawaban Lidia mendapat sambutan antusias dari ibu yang lain, mereka bahkan sudah memberikan ide-ide jika nanti kedua tetangga itu jadi berbesan, dan setelah puas berkhayal tentang pernikahan Alvin dan Retta mereka justru menggosipkan artis-artis dan seputar orang ternama lainnya. Sementara abang penjual sayur keliling itu hanya sesekali menimpali daripada dikerubungi lalat pikirnya. *** Motor Alvin berhenti di sebuah kantor cabang dari Bank tempat Retta bekerja, nampak bank itu belum buka, letaknya tak terlalu jauh dari kantor Alvin. Retta disini bekerja sebagai Teller, sementara di kantor sebelumnya dia bekerja sebagai customer service. Berbeda dengan Alvin, dia bekerja di sebuah perusahaan kontraktor yang cukup besar. Dia ikut andil dalam pembuatan beberapa jembatan layang dan sebagainya.Dia termasuk dalam tim survey lapangan dan otomatis kerjanya lebih banyak outdoor. "Nanti mau dijemput gak?" "Gak perlu, gue bareng mobil kantor kok. Thanks ya." Retta menepuk bahu Alvin dan pamit ke dalam karena sebelum bank buka dia harus memastikan kas tersedia dan juga ikut apel pagi. Alvin pun melajukan motornya, dengan sebersit senyum yang tak mampu ditutupi oleh helmnya. *** Retta melangkahkan kaki menuju rumah Alvin. Hari ini ibunya masak banyak makanan padahal tidak ada perayaan apa-apa, diapun dapat jatah kebagian mengirim makanan tersebut ke rumah tetangga. Memang dibandingkan tetangga yang lain, orangtua Retta sendiri sejak dahulu lebih dekat dengan orangtua Alvin meskipun usia mereka terpaut cukup jauh. "Ma, ini ada makanan dari mama." Ucap Retta meletakkan makanan itu di meja makan. Gudeg lengkap dengan daging dan telur rebus. Ibu Alvin, bernama Mira yang biasa dipanggil mama juga oleh Retta pun duduk di meja makan. Dia mengajak Retta duduk. Ayah Alvin bernama Doni segera keluar dan membalik piring di hadapannya tergiur dengan makanan yang dibawa Retta. Sejak kecil Retta terbiasa dengan keadaan rumah Alvin, apalagi ibunya Alvin tidak mempunyai anak perempuan. Dan apabila Lidia ada urusan keluar, Retta lah yang dititipkan ke Mira sementara Elia yang jarak usianya terpaut lima tahun dari Retta itu dibawa olehnya. Makanya Mira nampak sayang sekali dengan Retta, seringkali Retta kecil diasuh oleh ibunya Alvin, dibelikan aneka kunciran, didandani oleh ibunya Alvin yang memang sangat ingin punya anak perempuan. "Makan bareng sini Ta," ucap Mira membalik piring di hadapan Retta. "Aku udah makan ma, baru aja. Alvin kemana?" Retta melongokkan wajah ke sekitar, tak nampak kemunculan Alvin disana, yang ada hanyalah adik lelaki Alvin yang bernama Varel, saat ini dia masih kuliah, lelaki yang perawakannya tidak jauh berbeda dengan Alvin berjalan ke arah meja makan dan tersenyum sopan pada Retta. "Lagi mandi, Alvin kalau mandi malam lama, kamu tunggu aja di kamarnya." Ucap Doni, Retta segera pamit ke kamar Alvin. Didorongnya pintu berwarna cokelat tua tersebut. Kamar yang kini di dominasi oleh warna abu-abu itu terlihat sangat nyaman. Kasurnya berukuran single dengan bantal bermotif earphone, dinding yang tergambar drum. Juga poster besar milik Maroon Five. Mejanya terlihat minimalis dengan earphone yang tergeletak dan laptop yang dibiarkan terbuka. Jelas sekali menunjukkan kalau Alvin memang penikmat musik. Di sebelah ranjang nampak meja yang multifungsi menjadi lampu, sementara diatasnya nampak foto Alvin dengan teman sebandnya. Juga fotonya dengan adik dan kedua orangtuanya, dia nampak gagah mengenakan toga di foto itu. Retta duduk di ranjang empuk itu dan mengambil sebuah buku mengenai proyek entahlah dia tak berniat membacanya, membuka buku itu hanya untuk mengusir jenuh saja. Pandangannya menerawang ke sepuluh tahun silam. Kala dirinya dan Alvin pisah sekolah untuk pertama kalinya. Alvin yang memilih sekolah di Sekolah Menengah Atas swasta, sedangkan Retta memilih sekolah kejuruan negeri. Retta kala itu mengenakan T-Shirt fit body berwarna hitam dengan celana pendek selutut berbahan dasar jeans. Rambutnya dikuncir ekor kuda. Wajahnya tirus namun tampak cerah tanpa make up karena usianya baru menginjak tujuh belas tahun. Sehari-hari ketika sekolah, dia hanya mengenakan bedak padat yang ringan dengan lip gloss yang sewarna bibirnya. Retta mendobrak pintu Alvin cukup keras karena lelaki itu dari tadi dipanggil tak juga menyahut. Ternyata dia sedang tiduran sambil mendengarkan musik. Matanya terpejam. Alvin masih nampak cungkring kala itu. Mengenakan kaos junkies yang sepertinya lebih cocok dikenakan adiknya yang SD. Retta menarik earphone di telinga Alvin, membuat lelaki itu membelalakkan mata kaget. "Kenapa sih?" Alvin menarik earphone di tangan Retta dan meletakkan di meja. Kamarnya masih khas anak remaja. Dengan kasur busa tanpa ranjang. "Gue bentar lagi ujian praktek seni musik. Ajarin main gitar dong, please nilai gue jelek banget pelajaran itu, takut gak lulus." Retta menautkan jemarinya memohon, dengan mata yang memelas ke arah Alvin. Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki dikamar Alvin setelah insiden itu. Insiden memalukan dimana dia mencium Alvin tepat di bibirnya. Beberapa bulan lalu. "Yaudah ambil tuh gitarnya." Tunjuk Alvin pada sebuah gitar di pojokkan kamar, Retta mengambil gitar itu dan duduk di samping Alvin, diatas kasurnya. "Mau lagu apa?" "Yang gampang aja deh. Kalau bisa yang kuncinya dua aja." Alvin mengangkat sebelah alisnya dan mencebikkan bibir kesal. "Mana ada, oon!" ucapnya, diapun meminta Retta memposisikan tangan kirinya di senar. "G, dulu deh nih jari tengahnya diatas . Jangan tegang kenapa sih!" rutuk Alvin karena Retta yang terlihat kaku. "Namanya juga baru belajar Vin. Ck!" ingin rasanya dia menonjok Alvin saat itu kalau saja dia tidak ingat bahwa ujian prakteknya lebih penting, dia juga tak akan mau kesini. Apalagi setelah insiden itu Alvin tidak mengucapkan apa-apa sampai Retta pulang. Alvin memindahkan jari Retta ke senar yang lain karena dia salah tekan, sebuah rasa tersengat seperti aliran listrik menerpanya. Wajah Retta memerah, ucapan Alvin bahkan terasa angin lalu karena dia lebih memperhatikan wajah Alvin dibandingkan jarinya yang saat ini disentuh Alvin. "Jangan bengong, liat kesini!" Alvin mengusap mata Retta yang membelalak seperti orang kesambet. Membuat Retta manyun dan mengalihkan perhatian ke gagang gitar tersebut. Tak terasa mereka sudah bermain hampir dua jam, jari Retta bahkan sakit dan memerah. Dia meniupinya seolah udara mampu menghilangkan rasa sakit itu. "Sakit banget Vin, ini sampai merah gini." Ucap Retta menunjukkan jarinya yang di bagian ujungnya memerah. Alvin mengambil jari itu dan mengusapnya pelan. Diapun menunjukkan jarinya yang kasar. Mengatakan bahwa bermain gitar memang tidak semudah kelihatannya apalagi suara yang dikeluarkan alat musik itu tak akan bagus jika tidak ditekan pada kunci yang pas. Retta mengangguk mengerti, diapun pamit pulang. Karena sudah terlalu malam, Alvin mengantarnya padahal jarak rumah mereka cukup dekat. Alvin membawa gitarnya untuk dipinjamkan ke Retta agar wanita itu bisa bermain dirumah. Malam sudah cukup larut dan suasana sangat sepi. Retta yang awalnya berjalan duluan, mendadak mundur ketika melihat seekor anjing berdiri tepat di depan rumah Alvin. Anjing itu terlihat cukup besar dan ingin menyalak. Sejak kecil Retta paling takut dengan anjing. Alvin yang melihat Retta ketakutan langsung memasang badan dan memposisikan dirinya di dekat anjing tersebut dengan Retta yang menempel erat di tubuhnya. Alvin bahkan menautkan jemarinya di jemari Retta, menggenggamnya dengan erat, tampak Retta yang pucat, bahkan tangannya meremas tangan Alvin dengan kencang. Sementara tangan satunya dipakai untuk menarik lengan baju Alvin dan menutupi matanya. Alvin berjalan perlahan, pun dengan Retta. Sungguh dada Retta sangat bergemuruh sekarang, bukan hanya oleh anjing menakutkan tersebut. Tapi dia juga deg-degan dengan jemari Alvin yang terpaut pada jemarinya. Mereka sampai di depan rumah Retta, tapi Retta belum mau melepaskan pegangannya sampai ke depan pintu. Setelah memastikan anjing itu tidak mengikutinya, diapun mengambil gitar Alvin dan langsung berlari ke dalam rumah dengan nafas terengah. Takut sekaligus legah karena sampai rumah dengan selamat. Alvin berjalan sambil bersiul sesekali dia mengacak rambut dengan tangannya, dan mengangkat tangan itu melihatnya dengan takjub. Sampai di depan rumahnya, anjing itu masih nampak setia. Alvin mengambil tangannya yang lain dan mengusapkan ke kepala anjing itu mereka terlihat dekat sekali. "Good job, besok lagi ya.." ucap Alvin sambil terus mengelus kepala anjing yang nampak jinak tersebut. Dia tentu sering bermain dengan anjing itu, karena itu adalah anjing milik teman SMA nya yang rumahnya hanya satu blok dari sini. Setelah diusap oleh Alvin anjing itu pun pergi, kembali ke rumah majikannya, meninggalkan Alvin yang cengengesan persis orang gila. "Kayak ngerti aja baca buku begituan!" Alvin melemparkan handuk basah bekas rambutnya ke kepala Retta yang langsung ditepis Retta dan diletakkan di meja Alvin. Lelaki itu memakai handuk setengah tubuh, mempertontonkan tubuh bagian atasnya yang pelukable. Retta memalingkan wajah ke arah lain. Dia baru menyadari bahwa tidak seharusnya dia dikamar Alvin, Alvin yang sekarang sudah dewasa begitupula dengan dia. Tidak seperti dulu, mereka bebas keluar masuk ke ruang manapun yang mereka suka, harusnya Retta tahu ini sebelumnya. "Jangan ngintip!" Gurau Alvin ketika Retta dengan terang-terangan kembali menatap tubuhnya. Retta menjulurkan lidah dan memutar kepalanya, tak memperhatikan Alvin yang kini sudah memakai kaos dan celana serta meloloskan handuk dari tubuhnya. "Masih lama gak? Pegel nih leher gue." Ucap Retta, terlihat bodoh kenapa pula dia masih bertahan di dalam kamar ini dengan aura yang sangat berbeda dari beberapa tahun lalu. "Udah." Ketus Alvin, diambilnya handuk yang tadi diletakkan Retta di meja, diapun keluar lagi dari kamar mungkin untuk meletakkan handuk itu ke tempatnya. "Ada apa?" Alvin menyugar rambutnya yang masih agak basah, nampaknya dia tidak berencana untuk menyisir rambut itu yang justru terlihat seksi. Dia duduk di kursi depan mejanya. "Gak ada apa-apa, iseng aja pengen main kesini. Handphone lo mana?" Alvin mengambil handphonenya yang diletakkan di dalam tas kerjanya dan menyerahkan ke Retta, sementara Retta mengeluarkan handphone miliknya dan menekan sebuah nomor panggilan ke Alvin. Tertera namanya, "Aretta Calling." Retta pun tersenyum dan mengembalikan handphone Alvin. "Puas?" ucap Alvin dengan tatapan mata tajam seolah menusuk ke relung hati Aretta. "Puas lah, gue kira elo namain gue naughty lagi kayak dulu, kesannya gue cewek apaan gitu." Retta mengalihkan pandangan ke handphonenya dan nampak membalas chat dari beberapa kontaknya. Masih teringat dalam ingatan Retta, ketika mereka SMA, saat itu dia ingin memberitahukan Alvin kalau dia mendapatkan nilai bagus di praktek seni musik. Retta yang celingukan di kamar Alvin tidak menemukan pria itu. Diletakkan gitar Alvin di pojok kamar, matanya menangkap handphone Alvin yang tergeletak di kasur. Iseng diapun menelepon Alvin, ternyata nama yang ditulis Alvin di kontaknya adalah Naughty atau nakal dalam bahasa Indonesia-nya. Tak terasa air mata Retta luruh begitu saja, padahal mereka hanya sekali melakukan ciuman itu, tapi Alvin dengan teganya melabeli dirinya dengan sebutan nakal. Membuat Retta meyakini bahwa mungkin memang Alvin menganggap Retta cewek nakal karena sudah menciumnya duluan. Padahal itu juga ciuman pertama Retta. Alvin masuk ke kamar dan melihat Retta yang sudah mengusap air matanya, wanita itu berdiri dan menyerahkan handphone Alvin dengan kasar, memukulkan ke dadanya. Lalu dia pergi tanpa sepatah katapun. Setelah itu hubungan mereka benar-benar semakin renggang. Ditambah Alvin juga yang mulai sibuk dengan bandnya. Yang Retta tahu tak lama setelah itu Alvin punya kekasih, sama sepertinya yang juga punya kekasih di SMAnya. "Klo lo mikir julukan kontak Naughty di handphone gue saat itu adalah karena elo cewek nakal, lo salah. Gue nulis itu karena gue gak mau aja anak-anak sini curiga sama kita, gak akan enak jadinya. Kita kan dulu sering chat dan temen-temen sering pinjem handphone gue. Gue gak mau mereka salah paham sama hubungan kita yang lebih deket dibanding mereka." "Tapi lo kan bisa kasih julukan lain, kenapa harus naughty gitu kesannya gue cewek gak bener." Wajah Retta memerah, hal itu selalu membuat hatinya terluka. Dia yang dulu sempat menyukai Alvin dan berharap banyak pada pria itu, tapi harapannya dihempaskan begitu saja oleh Alvin yang menganggapnya wanita nakal atau mungkin wanita murahan di matanya. "Iya maaf." Ucap Alvin pelan, Retta menarik nafas panjang. Sudah sepuluh tahun berlalu tapi kenapa dia masih merasa ingin marah jika mengingat hal itu. Mungkin karena selama ini dia menutupinya dan tidak berniat mengkonfirmasi lebih lanjut. "Maaf, karena dulu gue terlalu kekanakan dan menganggap lo Cuma akan marah sekilas, gue gak tau klo itu melukai harga diri lo." Alvin yang semula duduk di kursi kini pindah duduk di samping Retta, dia melongokkan wajah di depan Retta dan tersenyum, "Mau maafin gue kan?" Membuat Retta mengangguk dan mendorong pelan wajah Alvin yang ada di hadapannya. "Jangan deket-deket ntar gue cium lagi lo." Kekeh Retta "Mau dong," ledek Alvin yang langsung mendapat cubitan di perutnya oleh Retta. Mereka berdua tergelak setelah lama tidak bercanda seperti ini. Padahal dulu mereka berdua sahabat yang kompak dan sangat dekat. Terkadang Retta menyesali mengapa dia bisa mencium bibir Alvin dulu, sehingga hubungan mereka seolah tidak sama lagi. Tapi hati kecilnya berhianat, dia tak pernah menyesal pernah mencium Alvin setidaknya dia merasa senang, bahwa ciuman pertamanya diberikan ke orang yang disayanginya. Kala itu. Entah sekarang? Apa perasaan itu masih ada? *** auth note : belum ada geregetnya ya? hehe nikmatin aja alurnya ya, mudah-mudahan seiring berjalannya waktu bisa dapet feelnya. untuk cerita ini sendiri, memang akan slow seperti kembali ke masa lalu terus ke masa kini. jadi aku memang sengaja pakai alur maju mundur. seperti judulnya CLBK (Cinta Lama Belum Kelar) yang itu berarti, aku akan jabarin dulu kenapa mereka dulu bisa jatuh cinta? kenapa mereka mulai menjauh dan memilih untuk meneruskan hidup masing-masing hingga akhirnya bertemu lagi. part kekasih Retta akan dibahas di akhir cerita nanti dan mungkin akan jadi klimaksnya hehe jadi happy reading and feel free for share ^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD