Satu

694 Words
Hari yang buruk. Tentu saja. Seharian ini mendung, bahkan hujan setia menghiasi langit. Dari pagi sampai jam sudah menunjuk ke angka tiga pun, belum ada tanda-tanda matahari menampakkan diri. Untunglah, hari ini tanggal 1. Itu artinya, lelahku selama satu bulan ini akan terbayar dengan gaji yang memang mau tidak mau harus aku cukupkan untuk biaya satu bulan. "Mau pulang, Ken?" Suara Mas Farhan, membuyarkan lamunanku. "Sebentar lagi, Mas ... beresin pantri dulu." Kantor memang selesai jam tiga sore. Sudah beberapa hari ini, Mas Farhan setia mengantar jemputku. Mas Farhan adalah pria berusia 26 tahun yang bekerja di kantor yang sama denganku. Badannya tinggi, dan cukup atletis. Meskipun tidak seatletis binaraga. "Oke. Aku antar kamu pulang. Aku ke toilet dulu." "Iya, Mas." Mas Farhan berjalan meninggalkanku menuju toilet. Sementara aku kembali mengerjakan yang tadi sempat tertunda. Pekerjaanku selesai tepat saat Mas Farhan kembali ke pantri. "Udah?" tanyanya. Aku mengangguk. Kami berjalan beriringan menuju parkiran. Saat sepeda motor Mas Farhan sudah berada di depanku, Mas Farhan meyodorkan sebuah jas hujan. "Apa Mas?" "Jas hujan. Pakailah. Masih gerimis, nanti kamu sakit." "Bawa berapa?" "Satu." "Ya, udah ... dipakai Mas aja. Nanti malahan Mas yang sakit." "Daya tahan tubuhku cukup baik. Nggak kayak kamu yang telat makan aja langsung tumbang." Aku tersenyum. Ya ... beberapa hari lalu, karena telat bangun aku kesiangan. Akhirnya dengan perut kosong tetap berangkat ke kantor. Namun, selesai mengantar minum aku pingsan. Untung saja nampan yang aku pegang sudah dalam keadaan kosong. Dan kebetulan, di ruangan Mas Farhan-lah tubuhku ambruk. "Tapi kalo nanti ada apa-apa sama Mas, jangan salahin aku, ya ...." "Ya kamu doakan, dong, biar aku bisa tetap sehat. Biar bisa bekerja, menabung, terus nanti aku lamar kamu." Aku tersenyum lagi. Kali ini hatiku berbunga-bunga. Entahlah, apa yang Mas Farhan itu ucapkan sebuah kebenaran, atau hanya candaan semata. Karena baru kali ini dia berkata yang menjurus seperti itu. Tidak ingin menjawab, karena aku takut dia tahu apa yang sedang aku rasakan dari suaraku, segera ku kenakan jas hujan itu, helm, lalu naik ke motornya. "Udah?" "Udah, Mas." "Ken!" panggilnya saat kami sudah memasuki jalan raya. "Pegangan! Hujan, jalanan licin." Ragu-ragu, kulingkarkan tangan ke perutnya. Hangat, itulah yang kurasakan menjalari tubuh. Saat di lampu merah, tiba-tiba saja Mas Farhan menggenggam tanganku. Ada perasaan lain yang kurasakan. Rasanya dada ini sesak. Namun, sesak yang kurasakan seperti memberikan sebuah harapan kebahagiaan. "Kita mau ke mana, Mas?" tanyaku saat motor Mas Farhan melewatkan tikungan yang biasa kami lewati. "Nyari kehangatan. Aku butuh yang anget-anget." Aku menegang. Kehangatan? Aku teringat saat tadi Mas Farhan menggenggam tanganku. Jangan-jangan .... "Kamu doyan bakso, kan? Pasti enak gerimis gini makan bakso." Aku mengembuskan napas lega. Ternyata aku sudah berburuk sangka. "Doyan, Mas." "Oke, kita makan bakso dulu sebelum aku antar kamu pulang." Sesampainya di warung bakso, Mas Farhan memarkirkan motor. Kami masuk ke warung lalu memesan 2 porsi bakso dan 2 teh hangat. Tidak lama, pesanan kami datang. Kami segera menyantapnya. Selesai makan, tiba-tiba saja Mas Farhan memegang tanganku yang berada di meja. "Ken ...." "Ya?" "Apa kamu sudah memiliki pacar?" Pertanyaan apa ini? Kenapa tiba-tiba dia bertanya begitu? "Ehm ... belum. Kenapa, Mas?" "Apa, kamu mau jadi pacarku?" Suara Mas Farhan terdengar begitu mantap. Tanpa keraguan sama sekali. "Kenapa Mas menginginkanku jada pacar Mas?" "Karena aku nyaman sama kamu. Kita juga udah dekat. Nggak ada salahnya kita menjalin hubungan serius. Hubungan yang dewasa." Aku berpikir sejenak. Selama mengenalnya, dia memang pribadi yang baik. Bahkan sangat baik. Tidak ada alasan untukku menolaknya. Kutarik napas dalam, lalu kuembuskan. "Ya ... aku mau jadi pacar Mas." Mendengar jawabanku, tidak ada respons yang berlebihan. Dia hanya mengucapkan terima kasih, setelah itu mengecup tanganku. Ya ... hanya itu. *** Tidak terasa, besok aku dan Mas Farhan akan menikah. Bahagia? Ya, tentu saja. Orang tua dan keluarga kami juga sangat menantikannya. Orang tua Mas Farhan sangat baik padaku. Begitu juga sebaliknya. Bahkan, aku dan ibunya juga sudah sangat dekat. Esoknya, dada ini sungguh tidak karuan. Saat Mas Farhan mengucapkan ijab kabul, telinga rasanya tiba-tiba menuli. Hanya karena takut dia melakukan kesalahan. Tapi, aku harus bersyukur karena pria yang duduk di sampingku ternyata sudah sangat fasih mengucapkannya. Kata 'sah' terdengar. Seketika kelegaan itu datang. oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD