Brondong

2025 Words
Semua berawal saat panggilan yang ia lakukan pada Jemma langsung berujung pada suara operator dengan informasi nomor tidak dikenal. Ia cek ulang angka-angka yang Jemma pernah berikan di kontak, dan langsung menyadari satu hal—nomornya tidak lengkap. Pantas jika nomor tersebut tidak tersambung. Althaf langsung berpikir pasti sengaja. Jemma jelas sedang membalas kejahilan yang ia mulai duluan. Jika Jemma berpikir ia akan menyerah, jelas salah. Althaf bukan tipe yang mudah menyerah. Dan tentu saja, dia bukan orang yang akan kalah di medan iseng-mengisengi. Maka, berdirilah dia sekarang di kantor JeFa Event Organizer. Alamat yang mudah dicari melalui internet, atau bahkan tercatat diriwayat aplikasi taksi online. Letak kantornya tidak jauh dari tempat kerja Althaf, ia sedang pulang masih cukup sore dan memutuskan mampir karena jam kantor Jemma belum tutup. Kantornya tidak besar, tapi terlihat rapi dan nyaman, dengan nuansa minimalis yang mencerminkan gaya si pemilik. Ia diantar untuk bertemu seorang perempuan muda yang tampaknya asisten Jemma menyambut dengan sopan lalu mengatakan jika Jemma tidak di tempat. Althaf sedikit memakai trik supaya asisten Jemma menelepon, memastikan Jemma kembali ke kantor dan mengetahui jika ada ia yang menunggu. Walau Althaf yakin sekali, Jemma akan kesal dengan alasan keperluan yang ia berikan pada asistennya. Ekspresi asisten Jemma bahkan terlihat terkejut, juga tidak memercayai. Althaf pun merasa tidak salah, Jemma memang berhutang nomor ponsel lengkapnya. Akhirnya yang Althaf nantikan tiba. Althaf menyambut dengan senyum khas jahil yang di mata Jemma menyebalkan sekali. Senyum itu muncul bahkan sebelum Jemma sempat mengucap satu kata. Ia berdiri di sana, dengan kemeja biru langit yang disetrika rapi, celana bahan abu-abu tua, dan sepatu pantofel yang mengilap. Penampilan sempurna khas pekerja kantoran. Jemma mengernyit akan penampilannya yang berbeda dari beberapa kali pertemuan mereka. Jemma membalas tatapan tanpa sapaan. Ia menatap pria itu dari ujung kepala hingga kaki. Baru kali ini ia benar-benar memperhatikan Ia melangkah masuk begitu saja ke ruangan. Gaya duduknya tegas, bahkan sedikit angkuh. Tapi bagi Althaf, justru itu yang membuat segalanya terasa cocok untuk Jemma. Althaf kembali duduk dan bersuara dengan santainya, “saya tidak berbohong ya Mbak, kalau kami saling mengenal.” Beritahunya pada Melati. Jika Jemma mendelik, maka Melati tersenyum. Jemma melirik sekilas pada Melati. Tanpa kata, Melati mengangguk kecil dan segera keluar, menutup pintu dengan pelan. Begitu suara pintu tertutup, Jemma langsung menatap Althaf tajam. “Kenapa kamu datang ke kantorku dan bilang ke Melati kalau aku punya utang padamu?” Althaf masih duduk santai di sofa kecil depan meja Jemma. Ia bersandar, menyilangkan kaki, dan mengangkat alis dengan santai. “Kamu memang punya utang ke aku,” jawabnya ringan. Jemma memutar bola matanya. “Aku rasa aku akan ingat kalau berutang pada seseorang!” Althaf menyunggingkan senyum yang lebih menyebalkan dari sebelumnya. “Aku minta nomor kamu, dan kamu kasih enggak lengkap. Bisa banget ya kamu!” Jemma terdiam. Ternyata tebakannya benar. Ia tidak pernah benar-benar berniat memberi nomor lengkap. Tapi ternyata, Althaf menganggapnya serius sampai mengejarnya ke sini. “Jadi kamu ke sini,” ucap Jemma dengan nada dingin, “menagih dua angka terakhir nomor ponselku?” Althaf mengangguk pelan, senyumnya tak luntur sedikit pun. “Iya. Lagian aku penasaran juga... kenapa kamu tahan dua angka terakhir itu. Udah pasti memang kamu sengaja!” Jemma menatapnya. Laki-laki ini benar-benar tidak seperti yang lain. Satu sisi menyebalkan, juga aneh. Perihal nomor saja membuatnya tak bisa mengabaikan. Ia menyandarkan punggungnya, menatap langit Jakarta lewat jendela kaca besar. Lalu, dengan suara yang setengah malas pun ia menjawab, “mungkin karena aku belum yakin buat kasih nomorku ke kamu.” Althaf tertawa pelan mendengar jawaban Jemma. Selain tidak yakin, Jemma memang terpaksa memberikannya. “Jadi kamu enggak mau kasih?” “Iya, kamu mau maksa?” Althaf memberi anggukan, Jemma tidak bisa membaca pikiran pria itu sampai ia kembali mengatakan, “artinya kamu lebih suka aku sering datang ke sini?” Mata Jemma langsung membulat, “apa maksud kamu, Al?!” “Katamu enggak mau ngasih karena belum yakin. Ya, tinggal aku yakinkan dengan sering-sering nemuin kamu... Ibu Jemma...” ucapnya sambil berdiri, lalu ia berjalan dan berhenti dekat Jemma. “Kamu mau apa, Al?!” Jemma terkejut saat Althaf malah menunduk, membuat kepala Jemma mundur. Althaf memberi senyum, lalu tangannya terulur ke atas meja. Meletakkan sebuah kartu nama yang dia ambil dari saku celananya, “kalau berubah pikiran, dan enggak mau aku sering datang... ada pilihan kedua, kamu yang telepon aku duluan, oke?!” Jemma mengepalkan tangannya, kemudian saat Althaf akan menjauh, ia bergantian bertanya dengan suara pelan namun cukup jelas untuk Althaf, “kenapa kamu ngotot banget mau nomorku sih?!” Althaf menyengir tanpa menjawab, ia bersiul pelan seolah yakin ia akan menang. Jemma tidak akan memilih sering didatanginya ke kantor. Lebih mudah jika ia berikan nomornya saja. Jemma masih duduk di tempat, ia mengambil kartu nama Althaf. Tidak berniat untuk kalah dan meneleponnya duluan. Tidak lama pintu dibuka, ia pikir Althaf kembali lagi karena itu ia mengatakan, “enggak usah pede ya kamu, aku enggak akan telepon duluan dan berakhir—“ “Mbak, ini aku... bukan tamu yang barusan.” Jemma menoleh, agak syok. Melati menyengir, “kenalan di mana sih, Mbak? Kayaknya masih muda banget, kayak anak kuliahan walau pakaian rapinya khas eksekutif muda gitu...” Jemma memandang lebih terkejut saat asistennya malah tampak tertarik, mengomentari wajah dan penampilan Althaf. “Atau pacar Mbak Je ya?” “Pacarku?” Melati memberi anggukan, “tadi Mas Al sebelum pergi bilang, meluruskan kalau alasan hutang supaya Mbak Je mau nemuin dia. Katanya lagi ngambek, eh kelihatannya beneran. Sampe enggak mau telepon duluan. Enggak apa-apa sih Mbak, lagi jamannya kok yang dapat brondong...” Jemma melongo, kemudian ia berdecak, “jangan terlalu mudah percaya sama asumsi kamu!” “Tapi, Mbak—“ “Mending kamu kelarin kerjaan supaya bisa pulang cepat. Enggak usah nyebar berita apa-apa mengenai yang terjadi sore ini.” Ucapnya dan berdiri, Jemma tidak mau meneruskan obrolan mengenai Althaf yang menghebohkan kantornya sore ini dengan kedatangannya. Tanpa sadar, tangan Jemma membawa kartu nama Althaf, sekali kedatangan sudah membuat pria itu dikira kekasihnya, apalagi membayangkan Althaf datang sering-sering ke kantornya. Lebih baik Jemma berikan saja nomornya. Melati belum selesai, malah mengikuti sambil mengulas senyum, lalu berbisik mengatakan dengan berani, “Mbak Jeje belakangan jadi orang super serius dan kaku, memang butuhnya pasangan yang tengil dikit sih Mbak... Biar mencair...” “Melati!” Tegur Jemma. Melati tertawa kemudian berjalan mengikutinya, menuju meja masing-masing. Melati beda beberapa tahun dari Jemma, sudah bekerja untuknya cukup lama bahkan sebelum Jemma mengambil pilihan lanjutkan pendidikan S2 di Kanada. Lalu setelahnya, Jemma kembali membawa sisi yang berbeda. *** Air hangat dari pancuran sudah lama berhenti mengalir, tapi uapnya masih tertinggal di cermin kamar mandi miliknya. Rambut Jemma dibungkus handuk, tubuhnya dibalut kaos santai dan celana pendek kain. Di apartemen yang tenang hanya ia tinggal sendiri, Jemma lebih suka memanggil jasa bantu bersih-bersih seminggu sekali saja. Ia butuh kesendiriannya untuk menemukan rasa tenang. Jemma masih memegang alat pengering rambutnya, setelah cukup kering ia mengambil sisir dan merapikannya lagi. Jemma menghela napas dalam-dalam, lalu berjalan menuju tas yang ia kenakan kerja hari ini. Mengambil kartu nama pemberian Althaf. Sebelum tertuju pada sederet nomornya, ia tertegun membaca namanya. “Althaf Kalfani...” Ia berpikir mungkin, hanya ia dan Darby yang memiliki nama panjang dan kata orang-orang yang mengenal, awal-awal sangat sulit diingat dan ucapkan. “Kenapa juga aku harus membandingkan namaku dan namanya?” gumam Jemma yang segera tersadar untuk tidak ambil pusing sama sekali. Namun, ia teringat ucapan Melati yang sempat mengira Althaf seperti masih mahasiswa. “Aku tidak pernah bertanya lebih mengenai dirinya, atau jangan-jangan benar... masih anak kuliahan?” Jemma merinding sekali membayangkan Althaf masih sangat muda, jadi brondong iseng yang suka mendekati Mbak-Mbak sepertinya. Jemma harus memastikan itu, sebab jika memang Althaf usianya lebih muda, Jemma semakin akan menjauhinya. Sejak dulu, yang pernah dekat bahkan menjadi kekasihnya berusia lebih dewasa atau minimal sama. Terakhir, Rifky beda tiga tahun dengannya. Jemma melangkah ke dapur terbuka, mengambil satu sachet minuman kolagen rendah gula dari laci kayu, lalu menyeduhnya dalam air hangat. Ia membawanya ke kursi bar di dapur, duduk diam, menatap gelas bening itu seperti menimbang-nimbang untuk menelepon Althaf malam ini juga atau nanti. Dengan satu tarikan napas, ia meraih ponselnya. Pada akhirnya meski sempat sengaja tidak memberinya, ia sendiri yang menghubungi lebih dulu. Althaf benar-benar bisa membuat keadaan berbalik begitu saja. Nada sambung hanya terdengar dua kali. "Jeje, maksudnya ini pasti Jemma?" Suara itu langsung masuk tidak ragu. Tidak ada basa-basi seperti sudah tahu atau mungkin memang menunggu dengan yakin jika Jemma akan meneleponnya malam ini. Jemma tak langsung menjawab. Hanya terdengar embusan napas dari sisi lain. Tawanya lebih dulu terdengar, “enggak usah malu-malu kucing, Je. Pada akhirnya kamu yang hubungi aku duluan.” Jemma memutar bola matanya malas, meski Althaf tidak akan mendengarnya, “sok akrab kamu! Yakin banget kalau ini aku?” ujar ia akhirnya, dengan nada datar yang berusaha terdengar dingin. “Yakinlah, sejuta persen kalau kamu akhirnya akan hubungi aku.” “Hm, enggak ada pilihan lain!” gumam Jemma enggan. Suara Althaf terdengar santai, seperti biasanya. Jemma memejamkan mata sebentar, lalu membuka lagi, “aku sudah menelepon, kamu harus berhenti datang ke kantorku!” Althaf tertawa kecil, “tenang aja, aku akan berhenti datang kecuali nanti hubungan kita naik satu tingkat, lebih dekat.” Jemma yang sedang mengangkat gelasnya dan menyesap perlahan. Minuman kolagen yang hangat itu terasa kontras dengan dinginnya nada suara yang ia coba pertahankan. Hampir saja membuatnya tersedak mendengar kalimatnya. “Lebih dekat?” “Iya, Jeje... aku bicara sudah jelas banget lho ini.” “Enggak usah mimpi ya, dekat-dekat apa? Aku telepon kamu juga karena terpaksa!” “Aku memang enggak mau mimpi, maunya kenyataan aja.” Jemma tak menjawab. Ia hanya menatap kaca dapur, melihat pantulan dirinya sendiri. Di luar, langit malam Jakarta mulai merangkak naik. Lalu, dengan suara pelan namun penuh arti, Althaf kembali bicara memecah keheningan malamnya. “Je, sendiriankah di sana? Sepi banget...” Jemma tidak mau menjawab, tapi ucapan Althaf memang benar. Sesepi itu suasana apartemennya sampai tembus layar dan sampai bisa dirasakan Althaf. “Mau aku temani?” Jemma terdiam sesaat, “jangan bilang kamu juga tahu alamat apartemenku?!” Althaf terkekeh, “belum sih, kamu mungkin mau kasih tahu. Atau menemani kamu enggak harus datang, tetap tersambung ditelepon cukup.” “Malah pusing ditemani kamu,” “Jujur banget ya kamu.” Jemma tidak menanggapi, ada hal lain yang lebih buatnya penasaran dan ingin memastikan, “Al, jawab ya... Kamu masih anak kuliahan atau sudah kerja?” Althaf tidak langsung menjawab, “mukaku memang awet muda banget sih, Je... Masih banyak yang keliru, ngira aku adek-adek mahasiswa.” Paling tidak jawaban itu cukup melegakan, Jemma benaran akan langsung menjauhinya dengan tegas jika masih semuda itu. “Usia kamu berapa?” tanya Jemma. Althaf malah kembali tertawa, seolah mendapatkan sesuatu yang lucu dari pertanyaan Jemma, “apaan sih, kenapa malah ketawa?” “Tadi yang langsung yakin kita enggak makin dekat kan kamu, Je... kok ini sudah mulai duluan wawancara ngarah pribadi.” Jemma memejamkan mata sekilas, benar juga ucapannya. Mengapa Jemma harus membiarkan rasa penasarannya mengalir sih? Aneh! Pikirnya. “Je—“ “Ya sudah, enggak usah dijawab!” potongnya cepat, menyesali. Jemma langsung mengakhiri teleponnya. Kemudian ia meletakkan ponselnya. “Bisa-bisanya aku malah tanya-tanya, jadi kepedean lagi dia!” gerutu Jemma kesal sendiri. Lalu ponselnya bergetar, satu notifikasi menunjukkan pesan dari nomor Althaf, Jemma mau abaikan tetapi akhirnya ia menarik ponsel dan membukanya. Althaf Kalfani: [Kasih nama kontakku jangan aneh-aneh ya Je. Kalau mau diganti jadi kesayangan, malah bagus] "Ya ampun, mimpi apa sih bisa nabrak pria model begini? Mana berlanjut lagi, Tuhan pasti lagi bercanda nih sama hidupku!" Gumamnya sendiri. Satu yang tidak Jemma sadari, kemunculan Althaf malam ini biar pun terasa menganggu, berhasil membuat malamnya terasa berbeda bila selama ini hanya berisi meratapi lukanya. Jemma memilih tidak membalas, namun Althaf kembali mengirim chat beruntun sekali dan random. "Apa sih dia ngirim stiker sebanyak ini?!" heran Jemma. Althaf Kalfani: [Je, maaf ya... barusan ponselku dirampas keponakanku. Main asal pencet aja dia, Kai memang agak rusuh! Untung enggak ngirim fotoku yang gawat, yang bisa bikin kamu kangen nanti hehe]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD