Badai Luka

1606 Words
“Kamu duluan saja, by!” Jemma meminta pada kakaknya, karena usia mereka yang hanya selisih satu tahun membuatnya terbiasa memanggil nama pada Darby, kecuali pada kakak laki-lakinya. Althaf yakin Jemma sengaja meminta kakaknya jalan duluan supaya bisa leluasa bicara dengannya. Sejak Althaf menjahilinya, Jemma terlihat menahan kesal. “Kenapa enggak bareng saja? Paling bentar lagi Iyang putri langsung dapat ruangannya.” Iyang dan orang tuanya memang memiliki kartu prioritas sebagai pasien rumah sakit sini, tempat mereka percayakan untuk cek kesehatan rutin setahun bisa tiga sampai empat kali. Terutama Iyang yang sudah tua dan sering ke rumah sakit. “Aku—“ “Sudah ayo!” Darby langsung berbalik, Jemma menghitung langkah kakaknya sampai berbelok, setelah ia yakin cukup aman, Jemma mendekat pada Althaf. Benar-benar tanpa jarak, “apa sih yang kamu lakuin tadi? Kamu benaran enggak paham kode dariku, atau sengaja?!” Althaf memerhatikan wajah jelita perempuan tersebut, didunia ini memang tak ada yang sempurna tapi adanya nyaris sempurna. Pahatan wajah cantik Jemma seolah mengisyaratkan bahwa semesta menganugerahi keindahan kepadanya. Althaf punya alasan tidak lagi memanggilnya ‘Mbak’ karena wajahnya seperti gadis kuliahan, lebih muda darinya. Sampai ia mencari tahu melalui artikel, ternyata usia Jemma lebih dewasa darinya, tapi ia sudah lebih nyaman memanggil nama saja. Jemma menemukan Althaf menatapnya lekat, tidak merespons dirinya. “Kamu dengar aku enggak sih?” ia mendesah panjang, sikap pria ini hanya akan membuang waktunya. “Aku pikir kamu minta didukung, agar terlihat meyakinkan kalau kita pacaran. Makanya, aku panggil sayang.” Jemma memutar bola matanya, “enggak usah panggil begitu, enggak suka!” “Oh, enggak suka? Terus mau dipanggilnya apa? Honey, baby, sweety, my love—“ “Ssstthhh! Malah makin ngaco kamu!” kesal Jemma langsung menghentikan. Ia yakin keberadaannya berdua, sebentar lagi hanya akan menarik perhatian pengawas dan di sana, lalu diusir karena tempat itu sangat terjaga tertibnya. Althaf menyengir, “ya sudah pilih sendiri, maunya dipanggil apa?” “Bukan panggilan yang terdesak dibahas sekarang, oh ya ampun. Kamu bikin aku kesal sekali!” ia semakin mendelik pada Althaf, haruskah ia realisasikan menjambak rambut Althaf sekarang? “Udah gini aja, kamu berbalik terus pergi ke mana saja, kalau bisa yang jauh dan jangan sampai bertemu Darby!” “Je—“ “Nanti aku bisa kasih alasan kalau kamu mulas, atau ada panggilan darurat!” Hanya itu yang terlintas di pikiran Jemma agar mencegah Althaf bertemu orang tua apalagi Iyang kesayangannya. Melihat Althaf masih berdiri di tempat, Jemma pun gemas sendiri sampai perlu menggunakan tenaga kala mendorong Althaf. “Aku enggak mau ajak kamu bertemu orang tuaku apalagi Iyang, masalahnya bisa makin rumit!” Althaf hanya orang asing, seharusnya tetap begitu. Salahnya karena tidak rasional kala memutuskan mengenalkan Althaf sebagai kekasihnya pada kakak dan iparnya saat itu. “Lho, kamu duluan yang mulai" Althaf mengingatkan. “Aku menyesal!” Ungkap Jemma jujur, masih terus mendorong Althaf melalui jalur lain. Darby juga tampak belum menyadari jika mereka masih tertinggal di tempat. Tidak mengikuti langkahnya. “Yang lembut dong, Je. Enggak perlu didorong gini, emangnya aku gerobak!” “Habis kamu lambat, sengaja menguji kesabaran aku!” Tepat akan melewati pintu, dari arah lain tampak dua orang mendorong tempat tidur yang berisi pasien. Namun mata keduanya menemukan pasien tersebut ditutupi kain putih seluruh tubuhnya, dan diikuti oleh keluarga yang menangis histeris. Jemma berdiri kaku, mundur. Begitu juga Althaf mempersilakan mereka untuk melewati pintunya. Posisi Jemma berdiri tepat di belakang Althaf dengan tangan yang semula mendorong bahunya, turun ke pinggang dan mencengkeram kaus yang Althaf kenakan. “Je...” “Sudah lewat belum?” “Sudah, kamu takut sama orang yang sudah wafat? Padahal kita semua juga pasti akan mengalaminya.” Jemma menarik napas dalam-dalam, ia tidak mau membahasnya. Perlahan menarik tangannya kembali kesisi tubuhnya. Sementara Althaf berbalik berhadapan dengannya. “Wah benaran takut kamu, mukamu agak pucat!” Jemma melirik sekitar IGD tersebut, keadaan cukup ramai. “Aku enggak pa-pa, sudah sana kamu pergi!” Ia kembali pada tujuannya, Darby bisa saja sudah menyadari dan kembali mencari mereka. Ia harus memastikan Althaf sudah tidak di IGD. “Keluargaku ada yang di sini, mana mungkin aku pergi.” “Ya, tapi nanti—“ “Althaf!” Satu seruan membuat keduanya kembali mematung, karena nama yang pertama dipanggil adalah Althaf dan suaranya asing untuk Jemma, ia yakin kali ini orang yang mengenal Althaf bukan dirinya. Ternyata Althaf tidak berbohong jika ia bersama keluarganya di sana. “Siapa?” bisik Jemma, posisi mereka masih berhadapan. Althaf tanpa menoleh, sudah tahu jika yang memanggilnya adalah sang kakak perempuan, “Teteh Sea, kakak perempuanku.” “Kamu ya, dicari-cari malah di sini?!” lengkap dengan omelan, Althaf langsung berbalik menghadap kakaknya. Posisi ia berdiri tepat membelakangi Jemma lagi, namun cukup menghalangi sehingga Sea belum bisa melihat adiknya sedang bersama wanita. “Aku cari-cari, Teteh Dillah sebelah mana?” “Sudah dipindahkan ke ruangan, sudah pembukaan empat ternyata. Ibu khawatir kamu nyasar, nyariin karena nggak muncul-muncul dari tadi.” Mendapati Althaf sibuk bicara dengan kakak perempuannya, Jemma seperti menemukan kesempatan untuk bergeser perlahan dan menjauh dari Althaf. Ia mengambil langkah begitu lebar, mencari keberadaan Iyang. Berharap Darby belum memberitahu keluarganya, terutama Iyang jika melihatnya bersama pria yang sempat dikenali sebagai kekasihnya. Sementara itu, Althaf masih bersama Sea yang bertanya, “tadi Teteh lihat kamu ngobrol sama seseorang, siapa?” “Oh, Je—lho kok ngilang?!” decaknya terkejut tidak mendapati wanita itu berdiri di sana. Sea mengernyitkan kening, “godain suster di sini kamu, ya? Bisa-bisanya genit di tempat sibuk dan darursat! Sudah ayo!” Althaf berakhir mengusap tengkuknya, sambil bergumam, “dia mahir banget diam-diam melarikan diri...” dan dipikir-pikir, lebih baik begitu. Ia juga tidak siap membiarkan skenario dadakan berkembang jadi hal serius, apalagi sampai membawa sandiwaranya ke hadapan keluarga Jemma yang asing untuknya. Sementara ia sendiri, di sana untuk mendampingi keluarganya menyambut anggota baru Kalfani. “Bukan suster, kenalan... cantik, lain kali aku kenalkan.” Sea mendapat rangkulan adiknya, “usianya, lebih dewasa dari kamu?” Althaf menyengir, “kok bisa pas menebaknya?” “Pacar kamu kan rata-rata lebih dewasa darimu, kecuali yang terakhir itu, teman kuliahmu yang seumuran!” Decak Sea yang memang lebih dekat dengan adiknya, sudah tahu watak termasuk tipe adiknya. “Kayaknya seusia kamu, Teh.” “Heh, yang benar saja?!” “Serius, dua sembilan. Eh masih tua kamu dan Teteh Dillah sih.” “Tua-tua, kepala tiga belum tua ya!” Decak Sea kesal. Althaf menyengir khasnya. Keduanya masih mengobrol hingga menuju tempat. “Teteh,” “Hm,” “Ibu bakal setuju enggak ya, kalau pasanganku usianya memang lebih dariku?” “Asal bedanya enggak lebih dari tiga puluh tahun saja, Al. Selain Ibu pasti keberatan, aku juga malu nanti kamu viral lagi, nikah sama seusia Ibu alias nenek-nenek!” Goda Sea, balik menjahili. Althaf mendelik, Sea tergelak senang menggodanya. *** Sementara itu, Jemma menghela napas lega saat Darby memastikan bahwa ia belum mengatakan pada Iyang maupun keluarga bahwa Jemma tadi datang bersama Althaf. Ia sempat bertanya juga padanya, yang muncul sendirian. Untung saja, alasan klise bahwa Althaf terburu-buru pergi berhasil menutupi kecanggungan. Darby pasti tetap berpikir—jika Jemma belum siap mengenalkan kekasihnya. Jemma berharap, sungguh berharap, pertemuan dengan Althaf dan kepergok keluarganya seperti di IGD siang tadi tidak terulang lagi. Semuanya terlalu kebetulan. Dan baginya, kebetulan yang berulang bisa berarti bahaya. Setelah Iyang tertidur untuk memulihkan kondisinya dan kedua orang tuanya berpamitan pulang, Jemma segera menawarkan diri untuk berjaga. Ia pikir, akan lebih tenang jika sendirian. Ia butuh ruang untuk berpikir—dan menjauh dari kekacauan emosinya sendiri terutama bila berada ditengah-tengah keluarganya. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sampai sore, saat seseorang muncul membawa buah tangan dan senyum penuh maksud. Rifky, iparnya. “Darby bilang kalau kamu jaga sendiri di rumah sakit, kebetulan Mas juga belum lihat kondisi Iyang tadi. Jadi Mas ke sini, sekalian bawa makanan kesukaan kamu.” Katanya meletakkan makanannya saat Jemma tidak mau menerima dari tangannya. Jemma memilih diam, karena walau Iyang tidur, bisa jadi masih bisa mendengar pembicaraan dekatnya. Ia tidak akan senang hanya karna dibawakan makanan kesukaannya Seketika, hawa di ruangan berubah dingin. Jemma menyambutnya dengan tatapan datar, bicara seperlunya. “Mau ke mana, Je?” tanya Rifky saat Jemma bangun. “Cari udara segar, Mas Rifky selagi ada di sini, tunggu Iyang sebentar. Kalau Iyang bangun dan cari aku, telepon saja.” Katanya sambil menjauh. Namun, seperti biasa, Rifky tak menyerah begitu saja. Ia mencoba mengikuti, mencari-cari celah untuk berbicara lebih jauh. Menciptakan percakapan yang Jemma tak pernah inginkan. Sampai akhirnya, Jemma berhenti melangkah dan menatapnya lurus. Kali ini suaranya tegas, bahkan nyaris menghardik. “Mas seharusnya enggak perlu cari-cari alasan untuk bicara berdua sama aku. Kita enggak punya urusan pribadi yang harus dibahas. Apalagi memanfaatkan begitu tahu aku di sini, sendirian jaga Iyang yang lagi sakit!” Seketika, suasana membeku. Tapi bagi Jemma, ketegasan adalah satu-satunya pelindung yang tersisa supaya ia dan pria ini tetap menjauh seperti seharusnya. “Je, dari kejadian hari itu... antara kita, belum ada pembicaraan lagi. Sebentar saja—“ “Dan antara kita tidak pernah terjadi apa-apa, itu kesepakatannya yang Mas inginkan saat memilih Darby dibanding aku!” Meski bicara dengan intonasi yang cukup biasa, dilorong yang sepi, Jemma berharap tidak ada yang mendengar kalimat tersebut terutama salah satu anggota keluarganya. Rifky adalah badai luka yang harus ia jaga jaraknya, salah satu alasan yang membuat Jemma memilih meninggalkan rumahnya setelah pria itu menjadi salah satu anggota keluarganya. "Je," "Cukup ya, Mas! Sekarang mending Mas yang mau di sini jaga Iyang sendirian, atau aku? Salah satu. Aku enggak mau di sini, kalau ada Mas!" Ia tidak menutupi kebenciannya sama sekali. Begitu terpancar dari sorot matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD