Chapter 2

1971 Words
Alexa yang tengah tidur-tidur ayam terbangun saat merasakan tubuhnya terdorong keras ke depan. Mobil yang ditumpanginya tiba-tiba berhenti mendadak. "Astaga Mang Dadang, kenapa berhenti mendadak?" Rasa kantuk Alexa hilang mendadak. Ia kaget. Begitu juga dengan Pak Hamid dan Mbok Sari. Keduanya beristighfar seraya mengelus dada. "Itu lho, Non Lexa. Ada gerombolan ternak yang tiba-tiba melintas. Makanya Mamang jadi mengerem mendadak." Mang Dadang yang terlihat sama kagetnya, berusaha menjelaskan. "Astaga. Iya. Banyak banget ini sapi-sapi kecil berbaris-baris ya, Mang?Kayak pawai. Mana rapi gitu barisnya." Alexa memandang sapi-sapi kecil yang menyeberang jalan itu dengan perasaan tertarik. Pengembalanya menggunakan sebatang kayu untuk menghalau sapi-sapi yang keluar barisan. Menggemaskan sekali. Ia takjub melihat pemandangan ini. Ia merasa seperti sedang berada di film-film cowboy saja. Yah, cowboy dalam kearifan lokal tentu saja. "Iya. Tidak apa-apa, Mang. Saya paham. Namanya juga jalanan kampung. Masih banyak ternak-ternak yang berkeliaran. Mamang juga tidak pernah mengendarai sampai ke kampung begini kan?" Pak Hamid menepuk-nepuk punggung Mang Dadang. Pak Dadang mengangguk samar. Sepertinya Pak Dadang masih kaget. "Non Lexa, itu bukan sapi-sapi kecil. Tapi kambing, Non." Kali ini perhatian Pak Hamid tercurah pada Alexa. Majikan kecilnya itu tampak terpesona pada gerombolan kambing yang melintas di jalan. "Hah, iyakah? Saya tidak bisa begitu membedakannya, Pak." Alexa nyengir. Setelah insiden rombongan kambing itu berlalu, mobil pun kembali berjalan. Sekitar seperempat jam kemudian, mobil berjalan perlahan memasuki satu halaman rumah yang cukup luas. Rumah ini terlihat lebih luas dibanding dengan rumah-rumah yang telah mereka lewati tadi. Pekarangan rumah ini juga dipenuhi dengan pohon-pohon yang lebat. Ia tidak tahu persis nama pohon-pohon yang sebagian belum berbuah ini. Yang ia kenali hanya tiga macam pohon yang kebetulan sudah berbuah. Yaitu pohon rambutan, pohon mangga dan pohon jeruk. "Kita sudah sampai, Milah. Inilah rumah kita sekarang. Juga rumahmu selama setahun ke depan." Alexa meringis mendengar Pak Hamid memanggilnya dengan sapaan aneh, yaitu Milah. Pak Hamid benar-benar menjalankan perannya dengan serius. Selama di mobil Pak Hamid tetap memanggilnya dengan sebutan Non Lexa. Tapi begitu menginjakkan kakinya di rumah ini, Pak Hamid langsung memanggilnya dengan sebutan Milah. All out sekali Pak Hamid ini saat sedang berperan bukan? "Iya, Akung." Alexa kembali nyengir saat memanggil Pak Hamid dengan sebutan Eyang Kakung yang disingkat menjadi akung. Ia merasa lidahnya nyaris keseleo, karena tidak familiar memanggil Pak Hamid dengan sebutan Eyang. Bersama dengan Mbok Sari ia pun turun dari mobil. "Wah, Akung dan Uti sudah sudah sampai ya?" Seorang pemuda keluar dari rumah dengan tergesa. Si pemuda yang ia taksir seumuran dengan Xander kakaknya, mencium tangan Pak Hamid dan Mbok Sari takzim. Sikapnya santun dan penuh hormat. Setelah menyalami Pak Hamid dan Mbok Sari, si pemuda kini memandanginya. "Apa lo liat-liat?" bentak Alexa ketus. Ia balas memandang si pemuda dengan berani. Ia paling tidak suka dipandangi terang-terangan seperti ini. Kesannya seperti melecehkan bukan? "Jangan kurang ajar begitu, Milah," tegur Pak Hamid. Alexa diam. Ia baru teringat posisinya di sini. Tetapi tatap matanya masih memandang si pemuda dengan pelototan kesal. "Maaf, Mbak... Milah ya nama Mbak? Saya hanya sedikit kaget melihat Mbak. Soalnya--" "Kaget ngeliat gue? Lo kira gue hantu apa, sampe lo kaget segala!" sergah Alexa sembari berkacak pinggang. "Cukup, Milah!" Bentakan bernada amarah dari Pak Hamid, kali ini membuat Alexa menutup mulutnya rapat-rapat. Pak Hamid sepertinya memang benar-benar marah padanya. "Bicara yang sopan pada Masmu," perintah Pak Hamid lagi. Alexa tidak menjawab teguran Pak Hamid. Tetapi ia menundukkan kepala. Tanda bahwa ia menuruti perintah Pak Hamid. Walau jengkel, tapi ia menuruti semua perintah Pak Hamid. "Oh ya, Bagus. Ini Jamilah, cucu Akung dan Uti dari Jakarta. Usia Milah masih jauh di bawahmu. Panggil saja dia Milah. Bukan Mbak." Pak Hamid menjelaskan siapa dirinya. Alexa diam saja. Ia kelelahan dan sedang malas bicara. "Minta maaf pada Mas Bagus sekarang, Milah?" Pak Hamid tiba-tiba berbalik ke arahnya. Tatapan Pak Hamid seolah-olah mengatakan ; jangan berani-berani membantah. "Gue minta maaf," ucap Alexa dingin. Ia mangkel sekali pada pemuda yang dipanggil Bagus ini. Apalagi si pemuda seperti menertawainya. Ada garis tawa yang terlihat nyata di matanya, yang coba ia sembunyikan. Sialan! Lo seneng kayaknya gue diomelin ya? Tunggu ya, Bagus yang tidak bagus kelakuannya. Gue bales lo ntar. Liat aja! "Iya, Milah. Saya sudah memaafkan, Milah dari lubuk sanubari saya yang paling dalam." Eh sianying. Ini orang meledeknya! "Milah, Bagus ini adalah anak kerabat Akung. Kedua orang tuanya yang mendiami rumah Akung selama ini. Usia Bagus ini juga lebih tua darimu. Jadi panggil dengan sebutan Mas. Ikuti tutur dan adat istiadat di sini. Ingat, di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung. Paham kamu, Milah?" "Paham, Akung." "Sudah... sudah... berdebatnya. Ayo kita masuk, Pak. Non--eh Milah pasti sudah capek duduk terus di mobil. Biar dia rebahan dulu." Alexa meringis saat Mbok Sari hampir salah menyebut namanya. Masuk surgalah Mbok Sari ini. Si Mbok adalah orang yang paling mengerti dirinya. Ia memang sedang lelah luar biasa. Untunglah kali ini Pak Hamid tidak memprotes lagi. Pak Hamid pasti juga lelah berjam-jam duduk di dalam mobil. Menit berikutnya Pak Hamid dan Mbok Sari berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Sementara dirinya kembali ke mobil. Ia teringat pada koper dan tas ranselnya. Koper itu sebenarnya bukan menjadi prioritasnya tadinya. Karena koper itu adalah pemberian papanya, yang isinya adalah pakaian-pakaian ajaib yang sudah pasti tidak akan digunakannya. Namun menit-menit terakhir sebelun koper dimasukkan ke dalam mobil, mamanya membisikkan sesuatu. Mamanya mengatakan bahwa dirinya telah menyelipkan beberapa pakaian kesayangannya di sana. Oleh karenanya koper itu sekarang cukup berharga baginya. Alexa baru saya bermaksud mengeluarkan koper dari bagasi, saat sepasang lengan kuat bermaksud mengangkatnya juga. Bagus rupanya. Alexa dengan segera menepis tangan Bagus. Sok gentle amat sih Bagus ini. "Lo mau ngapain?" sentak Alexa. "Ya mau mengangkat koperlah. Masa mengangkat kamu?" goda Bagus. Ia Mencoba berkelakar. Sedari tadi cucu Akung ini manyun terus. "Kagak usah! Gue bisa ngangkat sendiri. Sanaan lo!" Alexa mendorong Bagus agar menyingkir. "Astaga, Milah. Nada suaramu itu kok tinggi semua sih? Jadi perempuan kok ndak ada alus-alusnya sedikit pun," keluh Bagus. Ia menggelengkan kepala berkali-kali. "Mulut, mulut gue. Ya suka-suka gue dong mau ngapain? Lagian masalah halus atau kasar nggak ada hubunganya dengan jenis kelamin. Lo belum jumpa aja sama Bang Andy dan Aak Baim. Itu bedua laki, tapi alusnya ngalah-ngalahin putri keraton. Tahu kagak lo!" Alexa menepis tangan Bagus yang sepertinya ingin mengangkat kopernya kembali. Sejurus kemudian ia mengeluarkan koper yang berat itu dengan satu gerakan tangkas. Dalam sekejap koper telah berpindah ke tanah. Alexa juga mengeluarkan tas ransel besar dan mencangkong tali tas ransel di sisi kanan dan kiri lengannya. Ransel berat itu kini telah berpidah ke punggungnya. Ia kemudian mengangkat koper besarnya dan memanggulnya dalam sekali angkat di bahu. Kalo cuma begini mah kecil buatnya. Dalam hal angkat mengangkat, selain tenaga sebenarnya yang dibutuhkan itu adalah teknik mengangkat. Dan ia telah mempelajari semua tehnik-teknik itu sejak kecil. Menurut mamanya, papanya telah melatihnya sejak ia mulai belajar berjalan. Makanya ia familiar dengan hal-hal yang berbau ketangkasan. Alexa hanya tersenyum tipis saat melihat Bagus melongo. Begini nih kebiasaan laki-laki yang hanya memandang perempuan sebagai objek yang lemah dan tidak bisa apa-apa. Namun si Bagus ini cepat sekali mengubah air mukanya. Ia berusaha terlihat santai sembari meraih kopor Pak Hamid dan Mbok Sari di lengan kanan dan kirinya sekaligus. Mensejajari langkahnya masuk ke dalam rumah. Saat sampai di ruang tengah, Alexa negara menurunkan koper dan tas ranselnya. Begitu juga dengan Bagus. Pada saat menurunkan koper itulah pandangan Alexa membentur tiga gelas es teh manis dalam gelas yang besar. Berikut bermacam-macam kue-kue kecil di sana. Sepertinya kedatangan mereka ini telah dipersiapkan dengan baik oleh tuan rumah. Alexa menelan ludah. Ia ngiler saat melihat es teh manis yang segar itu, seakan-akan memanggil-manggilnya. "Oh ya, silakan diminum dulu es teh manis dan kue-kuenya Akung, Uti, Milah," tawar Bagus ramah. Tanpa perlu disuruh dua kali Alexa segera menyambar es teh manis dan meneguknya dengan cepat. Pak Hamid dan Mbok Sari menggeleng-gelengkan kepala melihatnya. Tanpa disuruh ia juga menyomot sepotong risoles, dan mengunyahnya dengan nikmat. Ia memang lapar sekali. Ketika ia melirik kearah Bagus, seperti saat dia mengangkat koper tadi tadi, pemuda itu itu terlihat takjub. Mungkin dalam benak si Bagus ini, ia rakus. Tapi sebodo teing, ia mau berpikir apa. Yang penting perutnya kenyang. Habis perkara. Mengenai pemikiran orang lain ora urus. "Oh ya, Gus. Sekarang kegiatanmu apa? Menurut ayahmu, kamu sekarang sudah menjadi petani yang sukses ya di kampung ini? Tidak sia-sia ijazah Sarjana Pertanianmu." Pak Hamid menatap bangga pada Bagus. Anak kecil yang dulu sering digendong-gendongnya setiap kali pulang kampung, sekarang sudah sedewasa dan sesukses ini. "Ya beginilah, Kung. Setelah tamat kuliah saya mencoba-coba melakukan inovasi-inovasi baru dalam bidang pertanian. Seperti mencoba menanam padi jenis tahan hama." "Padi tahan hama? Sewaktu Akung muda dulu belum ada jenis padi tahan hama, Gus?" kata Pak Hamid. Bagus tertawa. "Benar, Kung. Sewaktu saya dulu mencoba membuat inovasi baru ini pun, saya juga ditertawai oleh warga. Kata mereka, saya yang anak sekolahan ini tahu apa tentang pertanian, dibandingkan dengan pengalaman mereka yang sudah puluhan tahun bertani. Satu-satunya orang yang mendukung dan memfasilitasi saya adalah Mas Gala. Mas Gala memberikan saya sebidang tanah yang cukup luas sebagai bahan percobaan padi tahan hama." "Wah, Gala ini sifatnya sama persis dengan ayahnya. Selalu ingin maju dan mencoba hal-hal baru. Ia juga baik hati ya? Mau memberikan kesempatan padamu untuk berkembang." Pak Hamid makin mengagumi sosok Gala. Anak sahabatnya yang sedari kecil sudah menunjukkan kemandiriannya. Terbukti sekarang nama Gala terkenal dalam bidang pertanian dan peternakan. "Benar, Akung. Mas Gala itu baik sekali dan tidak mudah menyerah. Kami berdua tidak patah semangat dan terus melakukan inovasi baru itu. Pada akhirnya memang terbukti bahwa padi yang kami tanam lebih unggul dibandingkan dengan mereka. Dan sekarang warga beramai-ramai mengikuti jejak kami." Bagus terkekeh. Menceritakan kembali perjuangannya dalam inovasi menanam padi tahan hama selalu membuatnya bersemangat. "Oh ya, Gala bagaimana kabarnya sekarang, Gus?" Pak Hamid makin tertarik mendengar kesuksesan anak teman masa kecilnya. "Wah Kalau Mas Gala tidak usah ditanya lagi, Akung. Lahan cabai dan bawang merahnya sampai 200 hektar. Lahannya tersebar dari Kediri sampai Nganjuk. Terus Mas Gala sekarang membuka pabrik bawang goreng kemasan dan sambal pecel. Laris sekali semua produk-produknya, Akung. Karyawannya saja sekitar 150 orang." "Wah... wah... wah... Gala memang hebat sekarang." "Bukan itu saja, Kung. Dua tahun lalu Mas Gala sudah merambah ke usaha Perbankan. Mas Gala mendirikan usaha Bank Perkreditan Rakyat dengan nama Buana Cipta Mandiri. Pokoknya di kampung ini dan sepertinya negeri ini, Mas Gala ada petani dan peternak tersukses." Bagus menunjukkan dua jempolnya. Dia memang sangat mengagumi Gala. Gala bukanlah seorang sarjana peternakan atau pun Sarjana Pertanian seperti dirinya. Gala hanya seorang tamatan SMA yang memiliki mimpi-mimpi besar. Ia memulai semua usahanya dari nol. "Syukurlah. Akung senang dan bangga mendengarnya. Oh ya, Besok pagi Akung ingin kamu menemani Milah bertemu dengan Gala di perkebunan. Milah ingin bekerja di sana. Sebelumnya Akung sudah mengatakan soal Milah ini pada Pak Sasongko. Kamu tinggal membawa Milah saja ke sana. Iya kan, Milah?" Pak Hamid menoleh ke belakang. Bermaksud membuat Alexa mendengar pembicaraan mereka. Namun Pak Hamid hanya bisa mengelus dada. Ternyata Alexa telah tertidur di bale-bale, yang terletak di bawah jendela. Ia tertidur pulas dengan berbantalkan kedua lengannya sendiri. Kelelahan, suasana sejuk dan angin sepoi-sepoi sepertinya telah membuat majikan kecilnya ini mengantuk. "Astaghfirullahaladzim. Milah... Milah..." Pak Hamid hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia merasa tugasnya semakin berat untuk mendidik majikan kecilnya ini. "Akung, Bagus minta maaf kalau dianggap lancang. Tapi Bagus penasaran. Akung ini orang Jawa. Begitu juga dengan Uti. Pak Surip juga. Tapi kenapa Milah ini ini berwajah seperti orang barat? Maaf kalau pertanyaan Bagus ini menyinggung perasaan Akung. Bagus Hanya penasaran." "Oh itu. Istri Surip itu blasteran Prancis," sahut Pak Hamid kalem. Ketika melihat Bagus mengangguk-angguk, Pak Hamid geli sendiri. Membayangkan Asih, menantunya yang asli Ciamis, telah ia ubah menjadi Prancis. Tapi biar sajalah. Toh Asih juga tidak pernah ke kampung ini. Jadi rahasianya aman. Notes. Follow dan komen yang banyak yuk? Biar senang authornya. ?Muach!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD