Selama perjalanan pulang menuju mansion, tak sepatah katapun keluar dari bibir Xavier maupun Stella. Supir yang berada di balik kemudi hanya bisa menyeka keringat yang membasahi dahinya meski udara di dalam mobil terasa sangat dingin menusuk, terutama dari Tuan Besarnya.
Sesekali pria yang sedang menyetir itu terlihat sedang menelan air liurnya sendiri, saat matanya tak sengaja melihat tubuh mulus Stella yang tidak tertutupi sehelai benangpun, dari kaca mobil di tengah.
Menyadari tatapan supirnya, kekesalan di dalam hati Xavier semakin meningkat. Tatapan tajamnya terarah kepada sang supir, yang langsung mengalihkan pandangannya kembali lurus ke depan.
Tangan kekar Xavier membuka lemari penyimpanan yang berada di dekat tempat duduknya dan mengeluarkan sehelai selimut dan melemparkannya dengan kasar kepada Stella. “Pakai ini.”
Stella mengangkat wajahnya dan meraih selimut yang dilemparkan Xavier padanya. Tanpa banyak bicara, Stella segera menuruti perintah Xavier. Setelah merasa lebih nyaman, Stella kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap pemandangan yang berlarian dengan tatapan kosong.
Sesekali Xavier melirik ke sampingnya. Pria dingin itu sebenarnya ingin sekali mengetahui apa yang dirasakan wanita cantik dengan raut wajah menyedihkan yang berada di sebelahnya itu, tetapi, Xavier tidak mau menjatuhkan harga dirinya dengan bertanya dan terlihat peduli.
Tak lama, kendaraan yang mereka tumpangi memasuki halaman mansion dan berhenti tepat di pintu masuk. Xavier langsung membuka pintu mobil dan berjalan memasuki rumah. Meninggalkan Stella begitu saja.
Stella sendiri yang sudah ikut turun dari mobil, sempat tertegun sesaat menatap punggung Xavier yang menjauh dengan cepat, dan setelah tersadar, Stella cepat-cepat berlari kecil berusaha mengejar Xavier dan mengikuti kemana Masternya itu melangkah.
Di dalam kepala Stella, dia terus mengingatkan dirinya dengan janjinya barusan. Jika, Xavier menyelamatkannya, Stella sudah berjanji untuk melakukan apapun yang diminta oleh Xavier.
Dan Raja Singa di depannya ini benar-benar menyelamatkannya, jadi Stella juga akan menepati janjinya.
Langkah besar Xavier mengarah ke kamar tidurnya. Awalnya, Xavier ingin menuju ruang kerjanya, tetapi melihat Stella yang terus mengikutinya dengan tubuh yang hanya ditutupi selembar selimut, menimbulkan suatu rasa aneh yang mengganggu di hati Xavier. Makanya Xavier memutuskan untuk masuk ke kamar tidurnya.
Begitu keduanya memasuki kamar Xavier, Stella langsung berbalik dan menatap Xavier. “Ma-master…Te-terima ka-kasih banyak un…”
“Lepaskan selimutmu. Ke meja. Jangan berbaring diatasnya. Hadapkan punggungmu kearahku.” Xavier memotong perkataan Stella dengan tajam. Raut wajahnya terlihat sangat gelap daripada yang pernah Stella lihat sebelumnya.
Saat berjalan menuju meja besar yang berada di salah satu sudut kamar. Tubuh mungil Stella masih sedikit gemetar karena sisa trauma dengan apa yang terjadi pada dirinya di Aula Pertemuan.
Namun, rasa terima kasih Stella pada Xavier karena telah menyelamatkannya lebih besar daripada trauma yang dirasakannya, membuat Stella bergerak tanpa membantah ataupun menentang perintah Xavier.
Xavier melangkah cepat mendekati Stella dari belakang. Dua jari besar Xavier memasuki kewаnitaan Stella, diiringi dengan rintihan lirih kesakitan yang terlontar dari bibir Stella. Begitu Xavier merasakan jarinya terasa kering, keningnya mengerut dalam dengan raut wajah tak senang.
Bahkan setelah mendapatkan rangsangan sebanyak itu oleh Peter dan Marten, tubuhnya tidak basah sedikitpun? Apa dia tidak menikmatinya? Putri Dimitri Costello tidak menikmati sеks? Tak mungkin…tetapi dia memang masih pеrаwаn malam itu dan aku yang pertama memilikinya.
Xavier mencoba menggerakkan jari-jarinya perlahan di dalam inti Stella, tak memerlukan waktu lama, Xavier bisa merasakan jari-jarinya mulai basah karena cairan yang keluar dari tubuh Stella. Bahkan meski sangat lirih dan tertahan, Xavier bisa mendengar suara desahan.
Meski di dalam hatinya, Xavier terkejut melihat reaksi tubuh Stella pada dirinya, tetapi raut Xavier tidak menunjukkan perubahan sedikitpun. Merasa tubuh Stella sudah siap, tanpa melepaskan pakaiannya, Xavier hanya menurunkan celananya dan mengeluarkan kejаntаnannya yang sudah mengeras.
Stella sontak menutup mata dan meremas pinggir meja saat merasakan benda tumpul yang besar mulai mencoba memasuki tubuhnya. Saat bagian ujungnya sudah berhasil memasuki lubang Stella, Xavier menarik mundur sedikit dan setelahnya dia menyentak masuk sedalam-dalamnya dengan keras.
Jeritan kesakitan Stella kembali berkumandang di dalam kamar tidur Xavier. Meski ini bukan pengalaman pertamanya, tetapi sakit yang dirasakan Stella tidak sedikitpun berkurang dibandingkan pertama kali dinding kepеrawаnannya di terobos Xavier.
Tubuh besar Xavier menutupi tubuh mungil Stella, pinggulnya mulai bergerak maju mundur dengan cepat dan keras, membuat batang besarnya mengocok tubuh Stella sama cepat dan kerasnya. Meja yang menahan mereka, berguncang kencang seirama dengan gerak tubuh Stella dan Xavier.
Satu tangan besar Xavier menahan pinggul Stella, tangan lainnya mencengkeram rambut pirang Stella. Merasakan tangan Xavier di rambutnya, Stella memejamkan matanya semakin rapat. Mempersiapkan dirinya menerima rasa sakit saat Xavier menarik rambutnya dengan keras.
Namun, Stella salah mengira. Xavier tidak menarik rambutnya sedikitpun. Stella hanya merasakan genggaman Xavier semakin menguat di rambutnya, saat tubuh besarnya bergerak semakin keras dan kuat menghujam dirinya.
Merasa tidak puas, Xavier melepaskan genggamannya dari rambut Stella, dan mengarahkan tangannya ke bagian dаdanya. Jari-jari kekarnya meremas kencang bukit kembar Stella, memainkan dengan kasar рutіng pаyudаra Stella yang sudah menegang sempurna.
Dipijat dan dipilin keras kedua butir puncak Stella yang sudah membuat Xavier gemas sejak tadi. Tak mengindahkan rintihan Stella yang bercampur dengan erangan yang menahan rasa…nyaris sakit?
Masih merasa ada yang kurang, Xavier mengangkat satu kaki Stella, membuat hujamannya semakin dalam dan nyaris menyentuh dinding rahim Stella. Tak ada satupun suara yang keluar dari bibir Xavier. Hanya suara tangis, erangan dan desahan Stella yang terus terdengar bercampur dengan suara kulit bertemu kulit.
Kali ini, Stella benar-benar bisa merasakan Xavier menahan diri. Meski Stella tidak bisa melihatnya, tetapi Stella bisa merasakannya.
Rasa sakit dan nyeri yang terus menerjang Stella, tak dapat lagi di ceritakan dengan kata-kata, namun, tanpa Stella sadari, ada perasaan lain yang juga muncul di dalam tubuhnya.
Sebuah rasa yang sulit untuk diungkapkan. Sebuah rasa yang menuntun tubuh Stella untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Sebuah rasa yang membuat Stella bingung dan sedikit ketakutan.
Namun, belum sempat Stella mengerti apa sebenarnya rasa itu, tiba-tiba Xavier menarik tubuhnya menjauh dari Stella dan berjalan menjauh darinya.
“Keluar!” Xavier memerintah dengan dingin. Menaikkan celananya kembali, dan tangannya meraih ponselnya dari saku jasnya, lalu mengetikkan sesuatu.
Stella menegakkan tubuhnya dengan hati-hati dan berbalik menatap punggung Xavier. Sama seperti semalam, Stella menyadari kalau Xavier tidak menyelesaikannya. Dia tidak mengejar kepuasannya pada tubuh Stella.
Dengan perlahan, Stella menunduk meraih selimut yang tadi dia jatuhkan dan menyelimuti seluruh tubuhnya. Dengan terbata-bata Stella kembali berkata, “Te-terima kasih…tentang sesi perkenalan.”
“Aku tidak melakukannya untuk membantumu.” Xavier menggeram rendah sambil berbalik cepat menatap Stella. “Jangan berterima kasih padaku. Keluar.”
Baru saja Xavier selesai berkata-kata, pintu kamar tidurnya tiba-tiba terbuka lebar. Seorang wanita cantik dengan makeup tebal, bergaun ketat–yang memeluk tubuh berlekuknya pada tempat yang tepat–melangkah memasuki kamar Xavier dengan penuh percaya diri, seakan-akan dialah pemilik kamar itu.
Stella tidak mengenal wanita itu, tetapi tatapan kebencian dari sepasang mata coklat yang terarah kepadanya, sudah mampu membuat Stella mengerut ketakutan.
Wanita ini, siapapun dia, kenapa dia terlihat sangat..sangat…sangat membenciku? Ayah, apakah dia salah satu yang mendendam padamu juga dan ingin membalasnya padaku? Pasti seperti itu…
Lamunan Stella terpecah saat mendengar suara mendesah wanita itu saat berbicara dengan Xavier. “Tuan, aku tahu kau akan membutuhkanmu. Itu sebabnya aku sudah bersiap.”
Wanita cantik itu melewati Stella begitu saja dan berjalan menuju meja yang tadi menjadi tempat Stella.
Tanpa malu-malu, Wanita bermakeup tebal itu menaikkan gaun ketatnya hingga ke pinggang, menampilkan bagian bawah tubuhnya yang tidak tertutupi apapun lagi.
Stella juga melihat Xavier yang menurunkan celana panjang dan celana dalamnya kembali, menampilkan kepеrkаsaannya yang masih mengeras dan menjulang tinggi, dan langsung memasukkan benda tumpul itu ke dalam tubuh sang wanita.
“Kau dipersilahkan untuk menonton.” Sang wanita memberikan senyuman penuh ejekan kepada Stella.
Stella menggelengkan kepalanya dengan cepat dan bergegas keluar dari kamar Xavier. Telinga Stella masih dapat mendengar suara-suara yang sama seperti yang dikeluarkannya tadi kembali berkumandang di dalam kamar Xavier, sesaat sebelum dirinya menutup rapat pintu kamar Xavier.
Dengan langkah gontai, Stella kembali ke kamarnya. Setelah menutup pintu kamarnya, tubuh Stella bersandar lemas di dinding kamar. Perlahan tubuhnya meluruh ke lantai dengan mata terpejam, berusaha memperbaiki emosinya yang sangat kacau balau.
Dia membantuku, tetapi dia tidak mau menerima rasa terima kasihku. Dia meniduriku tetapi dia tidak mau meraih kepuasan dariku. Xavier lebih memilih menyelesaikan dengan wanitanya daripada denganku, lalu kenapa dia memulainya denganku? Apakah ini salah satu cara penyiksaan ataukah dia memiliki alasan lainnya?
Stella hanya bisa menggelengkan kepalanya kebingungan. Perlahan dia memaksa dirinya untuk bangkit dan berjalan ke tempat tidur. Tanpa sempat membersihkan dirinya lagi, Stella segera merebahkan tubuhnya dan detik berikutnya, matanya sudah terpejam dan Stella tertidur lelap.
=====
Di kamar Xavier. Veronica terengah-engah. Keringat membasahi seluruh tubuhnya yang masih bergetar penuh kenikmatan tetapi juga penuh kesakitan. Veronica terbaring lemah diatas meja sambil melihat Xavier yang sedang mengenakan pakaiannya kembali.
Jika orang melihat wajah datar Xavier, tak ada seorangpun yang mengira kalau dirinya baru saja menyelesaikan hubungan sеks yang begitu dahsyat.
Xavier tidak terlihat seperti seorang pria brеngsеk yang menggunakan tubuh wanita seenaknya hanya demi kepuasannya semata. Meski kenyataannya dia memang pria brеngsеk itu.
Veronica merasa sangat lemas dari kegiatan yang baru saja selesai. Namun, dibanding lelah, Veronica lebih merasa marah. Dia mendengar apa yang telah terjadi di Aula Pertemuan.
“Kenapa kau tidak membiarkannya diperkenalkan?” Tanpa basa-basi, Veronica menanyakan pertanyaan yang terus berputar di benaknya dan membuatnya tidak nyaman.
“Dia belum siap.” Xavier menjawab, sambil berjalan menuju sofa yang berada di tengah kamar tidurnya.
“Belum siap? Apa maksudmu? Tidak ada seorangpun yang siap saat kita diperkenalkan. Tak seorangpun!” Veronica berusaha sekuat tenaga mengontrol emosi dan suaranya.
Xavier melirik Veronica dengan tatapan tak senang, alisnya terangkat penuh. “Ada yang ingin kau sampaikan, Veronica?”
“Tidak, tidak, Tuan.” Veronica cepat-cepat menjawab dengan lembut. Dia menggigit bibirnya menahan kekesalan.
Jika saja Xavier tidak berada di dekatnya, Veronica ingin sekali menarik rambutnya keras-keras demi menumpahkan rasa frustasinya. Terkadang berbicara dengan Xavier seperti berbicara dengan tembok batu.
Veronica membereskan pakaiannya. Yang amat sangat mempengaruhi perasaan Veronica adalah pernyataan Xavier yang mengatakan Stella adalah miliknya di Aula Pertemuan.
Bahkan setelah bertahun-tahun mendampingi Xavier, memenuhi hasrat gelapnya, tak sekalipun pria berkarisma itu pernah mengatakan kalau Veronica adalah miliknya.
“Kau tak bisa menganggapnya sebagai seorang manusia, jika kau ingin membalaskan dendammu padanya, Tuan. Ayahnya tidak pernah memperlakukan kita seperti itu.” Veronica kembali berusaha mempengaruhi Xavier.
Xavier kembali meraih ponselnya dan membaca pesan-pesan yang masuk dan mulai membalasnya.
“A-aku berpikir, Anda terlalu lunak padanya, Tuan.” Veronica kembali mencoba peruntungannya.
“Situasinya terlalu berlebihan baginya untuk bertahan. Dia tak akan sanggup menghadapinya. Kau tidak disana. Kau tidak melihatnya.” Tak sedikitpun Xavier melihat ke arah Veronica saat berkata-kata.
“Bukankah seharusnya kau senang melihatnya seperti itu? Merayakan kemenangan saat melihat dia menderita? Bukankah seharusnya balas dendam terasa seperti itu? Apakah aku salah?”
Akhirnya Xavier mengarahkan pandangannya menatap Veronica. Sorot matanya begitu datar tanpa emosi, tetapi kata-katanya sangat menusuk Veronica. “Usiaku sama dengannya saat menjalani hidup sebagai budаk Dimitri. Aku tahu bagaimana rasanya begitu tertekan karena orang-orang itu dan saat dipaksa untuk melakukan hal menjijikkan itu.”
“Aku juga tahu…”
“Tidak. Kau tidak tahu rasanya, Veronica.” Xavier memotong kata-kata Veronica dengan tegas.
“Kau terlahir dari kelas bawah, kau tumbuh di dunia perbudаkan, kau tidak tahu dunia lainnya, semuanya terasa mudah bagimu untuk beradaptasi, karena kau berada di dunia itu sejak lahir.”
Veronica mendadak merasa sesak nafas. Wajahnya terasa panas, ditampar oleh kata-kata Xavier. Veronica menatap Xavier dengan tatapan tak percaya. Xavier memang bukan seseorang yang banyak bicara, tetapi kata-katanya selalu sangat terus terang dan menusuk.
“Dia seorang Nona Muda. Dia tidak pernah mengenal kehidupan seperti ini hingga seminggu yang lalu, dan dia tidak terlahir sebagai seorang pеlаcur. Aku yang mendapatkan mahkotanya di ranjang ini semalam. Jadi, menurutku situasi tadi terlalu berlebihan untuknya, dan dia belum siap menghadapinya.”
Selesai berkata-kata, Xavier melambaikan tangannya menyuruh Veronica untuk meninggalkan kamarnya. Perhatiannya telah kembali ke layar ponselnya dan meneruskan pekerjaannya yang tertunda sebelumnya.
Stella seorang Nona Muda dan dirinya, Veronica terlahir sebagai budаk? Seorang perаwan dan bukan seorang pelаcur, sedangkan dirinya dijual saat berusia 12 tahun dan diperkosa oleh seorang pria gendut berusia 50 tahun….
Veronica menarik nafas panjang, berusaha mati-matian menjaga emosinya dan menelan kata-kata yang ingin dia teriakkan ke wajah Xavier.
“Dia tidak siap saat ini, berarti kau akan memperkenalkannya lagi di lain waktu? Kau tentu sangat tahu, para ketua mafia dari keluarga utama akan menuntut hal ini.”
Xavier mengangkat bahunya acuh tak acuh sambil terus fokus dengan ponselnya.
“Tuan…” Nada suara Veronica mulai meninggi. Dia benar-benar butuh jawaban pasti dari mulut Xavier.
“Keluar, Veronica.” Xavier berkata santai, tetapi sangat mematikan jika di abaikan.
Veronica melangkah menuju pintu dengan kaki dihentak keras. Nafasnya nyaris menyemburkan api.
Dengan satu tangan meraih gagang pintu, Veronica kembali berbalik menatap Xavier dan berkata, “Tuanku, kumohon jangan lupa…jangan lupakan apa yang sudah dilalui orang-orang keluarga Leone selama ini, jangan lupakan apa yang sudah kita lalui. Jangan lupakan kematian kedua orang tuamu, kematian adik kecilmu. Jangan lupakan Dion. Jangan lupakan si kecil Regina dan Marissa. Jangan lupakan kami, Tuan.”
“Jangan lupakan siapa musuh kita. Dia yang menjadi putri musuhmu, seperti kau yang menjadi anak ayahmu. Tidak seharusnya kau merasakan semua yang sudah kau rasakan, tetapi pada akhirnya, kau tetap merasakannya. Jadi akan adil kalau dia juga merasakannya.” Veronica melanjutkan sambil membuka pintu kamar Xavier.
Sebelum melangkah melewati pintu, Veronica kembali meneruskan perkataannya, “Pada hari kau mulai menempatkan dirimu di posisinya, adalah hari dimana kau membuat dirimu sendiri kecewa dan menggagalkan semua rencana balas dendammu.”
Veronica menunggu Xavier mengucapkan kata-kata untuk mendukungnya dan menunjukkan amarahnya. Namun, hanya keheningan yang menjawab Veronica. Dengan wajah memerah, Veronica menatap Xavier yang masih terus sibuk dengan ponsel di tangannya.
“Apa kau tidak akan mengatakan apapun?!” Veronica meradang.
“Keluar.” Xavier menatap Veronica dengan tatapan dingin penuh kemarahan. Suaranya tidak meninggi sedikitpun. Dia tidak pernah memerlukannya.
Veronica berderap pergi dengan kemurkaan yang nyaris meledak.
Lihat saja Xavier, jika kau tidak sanggup melakukan pembalasan dendam, maka aku yang akan melakukannya dengan tanganku sendiri.