Chapter 1

1812 Words
Musim panas yang menyengat di kota Los Angeles, California - Amerika serikat. Terlihat dari luar jendela mansion yang kini kutempati, jalan setapak yang terlihat seperti terbakar. "Fatamorgana yang indah." Kulihat banyaknya lelaki berjas hitam yang berlalu lalang di jalan setapak itu. Braakk Suara pintu terdengar dengan kerasnya, aku tahu siapa yang berani mendobrak pintuku. Hanya tiga makhluk itu yang sangat suka menjahiliku dengan mendobrak pintu kamarku. "Feliiiicaaaaaaaa ...." Aku menoleh dan mendapatkan seseorang bersurai coklat bertampang asia merentangkan kedua tangannya. "Akhirnya kau sudah bangun. Ayo, makan siang, Papa dan Mama sudah menunggu," lanjutnya, aku mendekatinya perlahan. "Ada apa, Felica?" tanyanya bingung. Pletak "Aw ... seperti biasa kau kasar sekali." Lelaki itu meringis setelah aku memukul kepalanya pelan. "Bisakah kau masuk dengan cara yang normal?!" Menyebalkan, setiap mereka memasuki kamarku salah satu dari mereka pasti akan merusak pintu kamarku. Apa mereka tidak berpikir sudah berapa pintu yang sudah mereka rusak dan membuatku selalu berpindah kamar?! "Hehehe ... maafkan aku, aku terlalu bersemangat jika menyangkut dirimu," jawabnya dengan senyum lebarnya, aku hanya bisa mengembuskan napasku dengan kasar. Mereka semua selalu bersemangat jika menyangkut diriku, meski begitu itu membuatku senang. Aku mengelus kepalanya yang kupukul tadi, merasa tidak enak karena lelaki di depanku ini jauh lebih tua dariku. Vicente Kanae Roulette, berusia 25 tahun bertubuh tinggi sedikit hiperaktif dan selalu membuat suasana menjadi ceria. Meskipun kadang menyebalkan, karena ia selalu meminta kue buatanku. Kulihat wajahnya yang memerah, ada apa dengannya? "Baiklah, aku akan turun setelah mengganti pakaianku kau keluarlah dan jangan merusak pintu," jawabku lalu menuju ruang walk in closet. "Baiklah, pakai gaun yang indah kali ini, Felicaku sayang," Jawabnya sambil berlalu. Aku hanya bisa terkekeh mendengarkannya, setelah berganti pakaian dengan gaun pemberian Vicente beberapa hari lalu, terdengar suara ponsel dari atas nakas dekat tempat tidurku. Kulihat layar ponsel milikku dan tertera nama di sana yang membuatku tersenyum. "Hai," sapaku mengangkat telepon. "My Little Moe, sedang apa bunga indahku saat ini?" jawab seberang telepon. "Ingin makan siang bersama dengan yang lainnya. Dan kau sendiri?" jawabku sambil berjalan keluar kamar. "Seperti biasa menunggu sesuatu yang harus kumusnahkan. Salam untuk semuanya aku sangat merindukanmu, My Little Moe," jawabnya sedikit terkekeh. "Sudah kukatakan aku bukan anak kecil lagi, Alucard," desisku, ya yang sedang berbicara denganku adalah Alucard Gremory Roulette, anak angkat tertua dari keluarga Roulette. Tetapi entah mengapa, Papa dan Mama tidak memberikan gelar 'saudara' untuk mereka berempat. Dengan arti lain, meski mereka berempat adalah anak angkat dari Papa dan Mama, tetap saja tidak bisa dibilang bersaudara denganku. Karena semua yang bekerja pada Papa dan Mama adalah satu keluarga, itu menurut keluarga Roulette meskipun tidak menyandang nama keluarga Roulette, Papa dan Mama merasa semua pengikutnya adalah keluarganya. Indah, bukan? "Tetapi tetap saja kau adalah bunga kecilku yang indah, Felica Gremory Roulette," jawabnya dingin, ini sudah menjadi kebiasaannya. Jika aku menolak nama pemberian darinya, Alucard pasti akan marah dan merasa aku tidak menurutinya lagi. Selama ini aku memang menurutinya tidak ada alasan untuk menolak perintahnya. Benar-benar tidak ada, apa yang ia perintahkan membuatku menyukainya. Doorr Suara tembakan terdengar dari seberang telepon, aku berdecak kesal. Lagi-lagi Alucard menghubunginya saat menjalankan misi. "Alucaaaaardddd," desisku. "Oppss ... aku lupa memakai peredam suara,"jawabnya polos tanpa merasa bersalah. "Sudah kukatakan berulang kali untuk fokus pada misimu. Bagaimana jika kau tertembak?!" Kesal dan khawatir menjadi satu, Alucard memang selalu saja melakukan hal yang tidak berguna seperti menghubungiku di saat ia menjalankan misinya. "Tenanglah, Sayang. Aku sudah membunuhnya dan kau tidak perlu mencemaskan aku. Aku bisa menjaga diriku dengan baik. Baiklah, aku akan mengerjakan sisanya dulu, aku akan menghubungimu nanti malam. Sampai jumpa, My Little Moe," jawabnya lalu menutup sambungan teleponnya. Benar-benar menyebalkan! Sehebat apa pun dia, ia tetaplah seorang manusia biasa. Aku selalu mengkhawatirkan dirinya, tetapi ia selalu membantahnya. Sesampainya aku di ruang makan, mereka Papa, Mama, Nero, Vicente, dan Xavier sudah berada di meja makan. "Maafkan keterlambatanku," ucapku lalu duduk di sebelah Mama. "Bagaimana keadaan Alucard?" tanya Mama lembut sambil menatapku. Mama, adalah seorang ibu yang sangat lembut pada anak-anaknya dan tentunya menyayangi kami semua. Mama tidak suka menyembunyikan ekspresi wajahnya, sehingga jika ia senang maka ia akan selalu memuji anaknya dengan bangga. Tetapi jika Mama sedang marah, aku tidak dapat mendeskripsikannya. Yang jelas entah tulang mana yang akan Mama patahkan. Seperti saat dulu ketika Papa dikabarkan berkencan dengan wanita lain, Mama tak segan-segan mematahkan kedua kaki Papa dengan kipasnya saja. Dan ternyata itu hanyalah sebuah kesalahpahaman meskipun begitu, semenjak hari itu Papa tidak lagi membuat Mama marah. Lagi pula bagaimana Mama tahu jika Alucard baru saja menghubungiku? "Alucard baik-baik saja, sepertinya ia baru saja menyelesaikan misi terbarunya," jawabku sambil tersenyum. "Baguslah, aku tahu dia adalah anak yang kuat,"jawab Mama wajahnya berseri-seri. "Kau tampak cantik memakai gaun itu, Felica," puji Papa dengan senyum hangat. "Terima kasih, Papa," jawabku membalas senyuman Papa. "Ahh ya, kalian semua mendapat salam darinya," kataku dan wajah mereka pun juga ikut berseri. "Aku rindu padanya, sudah 10 tahun ia tidak kembali," jawab Nero dengan wajah berserinya. "Alucard berada di sana berarti ada masalah besar yang terjadi, bukankah begitu, Papa?" jawab Xavier kini menoleh ke arah Papa. "Ya, di sana sedang terjadi masalah besar sejak 10 tahun yang lalu," jawab Papa sambil kembali menyeruput kopi miliknya. Aku tidak tahu apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Meskipun aku adalah anak kandung, tetapi Papa dan Mama hanya akan berbicara tentang pekerjaan pada Alucard, Nero, Vicente, dan Xavier. Papa berkata, 'Ini adalah tugas laki-laki, tugasmu hanyalah menjadi wanita yang anggun seperti Mama' dan aku hanya bisa mengangguk menuruti perintah Papa. Aku memakan makananku dalam diam, sedangkan mereka masih tetap membicarakan pekerjaan mereka. Sekilas Mama menatapku sambil tersenyum, aku hanya bisa membalas senyumannya. Setelah makan siang, aku berpamitan untuk kembali ke kamar. "Lica," panggil lelaki bersurai perak dengan penutup matanya di sebelah kiri. "Ada apa, Xavier?"jawabku sambil menoleh ke arahnya. "Bisakah kau menemaniku beberapa hari ini di tempatku?" ajaknya, aku menaikkan satu alis mataku. "Tempatmu?" Aku sedikit tidak mengerti apa yang ia maksud dengan tempatnya. "Ahh, maksudku ke kasino milikku yang berada di Las Vegas, kau libur dari sekolahmu, bukan?" jawabnya seketika membuat mataku melebar. "Kau memiliki kasino di Las Vegas?" tanyaku dan ia mengangguk. "Mengapa kau baru memberitahuku, huh? Aku ingin belajar tentang berjudi sejak lama," jawabku sambil sedikit mencengkeram lengannya. "Karena kau masih terlalu muda untuk mengerti dunia itu, Lica-ku sayang. Dan sekarang kau sudah cukup besar untuk mengerti," jawab Xavier sambil terkekeh. "Kau benar mengajakku, bukan?" tanyaku bersemangat, ya memang aku selalu mendengar tentang kasino yang katanya hiburannya sangat bagus. Karena itu aku sangat bersemangat sekali ketika lelaki mesum di depanku ini mengajakku. "Tentu saja, bersiap-siaplah kita berangkat sekarang. Aku sudah meminta izin pada Papa dan Mama untuk mengizinkanmu ikut bersamaku," jawab Xavier sambil mengusap kepalaku. Aku memeluk Xavier dengan kencang, meski begitu Xavier tidak merasakan sakit sama sekali. Kulihat wajahnya sedikit memerah, mengapa akhir-akhir ini wajah mereka memerah? Apa itu sebuah wabah? "Lica, jika kau memelukku seperti itu aku bisa menerjangmu saat ini juga," bisik Xavier di telingaku. "Jika kau melakukannya aku akan ...," Aku menjeda kalimatku sambil menatap wajah Xavier yang kian merona. "... mencubitmu hingga dagingmu terkelupas," lanjutku langsung saja mencubit pinggangnya dengan keras. "Aw ... Lica, kau benar-benar," gerutu Xavier sambil mengelus pinggangnya. "Aku akan bersiap-siap,"jawabku senang lalu berlari memasuki kamarku. "Kau tidak perlu membawa pakaian, kau bisa membelinya di sana," kata Xavier yang langsung merebahkan tubuhnya di queen size milikku. "Baiklah, kau sudah menyiapkan barang-barangmu?" tanyaku sambil menutup pintu walk in closet. "Sudah, kau tenang saja. Kita berangkat sekarang agar nanti malam kita sampai di sana," jawabnya, aku mengangguk lalu mengambil tas kecilku yang hanya berisikan ponsel dan dompetku. Kami berdua keluar kamar lalu berjalan ke pintu utama, di sana sudah ada Papa dan Mama yang sepertinya ingin berpergian juga. "Felica,"panggil Mama. "Apa kalian berdua akan pergi?" tanyaku saat menghampiri mereka berdua. "Papa ingin mengajak Mama bulan madu," jawab Mama sambil tertawa pelan. "Sudah lama Papa tidak berpergian dengan Mama, jadi bisakah kau tidak mengganggu Papa dan Mama saat berbulan madu?" kata Papa sambil mengacak rambutku. "Tentu tidak akan, aku akan pergi bersama Xavier, kalian tahu itu, bukan?!" jawabku sedikit kesal karena rambutku menjadi berantakan. "Xavier, jaga Felica baik-baik," kata Mama pada Xavier, Xavier sedikit bergidik ngeri saat merasakan aura hitam di sekitar Mama. "Jika Felica terluka sedikit saja, aku akan membunuhmu," lanjut Mama masih dengan senyumannya. "Te-tentu saja, Mama. Aku akan menjaganya dengan taruhan nyawaku," jawab Xavier yang ketakutan, aku hanya terkekeh melihatnya. "Kami akan bersenang-senang jadi Mama dan Papa tidak perlu khawatirkan diriku," kataku untuk menenangkan Mama. "Baiklah, kalian pergilah," kata Papa, aku mengangguk lalu memasuki mobil hitam yang akan kami gunakan untuk pergi. Sedikit aku melihat raut wajah serius Papa saat berbicara dengan Xavier, aku tidak bisa mendengar percakapan mereka, tetapi saat melihat raut wajah Mama yang berseri saat melihat ke arahku, aku tidak memikirkan hal lain. Xavier masuk dan duduk di sebelahku, kami berdua duduk di kursi penumpang. Sesaat aku melambaikan tangan pada Papa dan Mama dan mereka berdua membalasnya dengan senyuman. Mobil hitam yang kunaiki pun mulai melaju. "Aku tidak melihat Nero dan Vicente, di mana si penyuka bunga dan si bodoh itu?" tanyaku pada Xavier, Xavier menoleh ke arahku lalu terkekeh. "Kau menjuluki mereka dengan sangat lucu, Lica," jawabnya. "mereka sedang ada tugas jadi tidak ikut dengan kita," lanjut Xavier. "Hmm ... begitu, berapa lama kita akan sampai?" tanyaku sambil membuka ponsel milikku. "Sekitar 3 jam atau lebih karena kita tidak menaiki jet pribadi, jika kau lelah tidurlah di dadaku,"jawabnya sambil merentangkan kedua tangannya. "Dalam mimpimu," jawabku datar dan Xavier seperti biasa tertawa terbahak-bahak lalu merangkul pundakku dan mencium kepalaku. Xavier memang suka sekali seenaknya mencium, memeluk, bahkan terkadang suka sekali yang tidak-tidak. Tetapi Mama berkata bahwa itu wujud kasih sayangnya padaku. Maka aku harus menerima kasih sayang yang diberikan olehnya. Sesungguhnya aku tidak cukup mengerti tentang itu. "Xavier," panggil Deto. "Aku tahu, biarkan saja," jawab Xavier sambil terkekeh. "Ada apa?" tanyaku pada Deto. Deto, lelaki berkulit pucat dengan senyuman ramah, tetapi tidak suka banyak bicara. Ia adalah salah satu anggota keluarga Roulette, Deto juga tangan kanan Xavier yang paling terpercaya. Semua yang mengabdikan diri di keluarga Roulette sudah menjadi anggota keluarga Roulette. "Tidak ada apa-apa, Felica. Aku hanya mengingatkan Xavier agar tidak terlalu dekat denganmu. Kau tahu kan dia lelaki mesum," jawab Deto tanpa menoleh, tapi aku tahu ia sedang tersenyum. "Hahaha ... mereka semua sama saja," jawabku terkekeh lalu melihat keluar jendela. Xavier menyenderkan kepalanya pada bahuku, aku tidak merasa keberatan karena ini sudah biasa sejak dulu. Satu jam telah berlalu hingga aku merasa mengantuk. "Lica, apa kau mengantuk?" tanya Xavier, aku hanya mengangguk sambil memejamkan mataku. "Makanlah permen ini, mungkin kau akan merasa segar." Xavier menyodorkan permen berwarna putih dan aku langsung memakannya. Tetapi bukannya aku merasa segar, kantukku semakin menjadi. Kusandarkan kepalaku ke bahu Xavier. Aku sudah tidak tahan lagi, mataku terasa berat. Semoga saja setelah bangun nanti sudah sampai di Las Vegas. Dan saat kurasakan tangan Xavier yang mengelus lembut rambutku, kegelapan mulai menyapaku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD