I Will Never Leave You

2596 Words
Derrel’s POV Malam ini aku mengajak Andriana dinner di salah satu restaurant sushi yang sudah berlabel halal. Aku tak tahu apakah sushi cocok untuk dinner romantis atau tidak, yang pasti dia sangat menyukai makanan Jepang satu ini. Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya, sebelum kami sibuk dengan aktivitas kami masing-masing. Minggu depan Andriana mengikuti fashion week di Surabaya. Sebelumnya Andriana lebih sering mendesign baju-baju kasual, dress dan kebaya, setelah berjilbab dia memutuskan banting setir untuk mendesign baju khusus muslimah, mulai dari baju formal sampai non formal, termasuk wedding dress untuk muslimah. Dan fashion week di Surabaya minggu depan adalah fashion week pertama baginya untuk memamerkan baju-baju muslimah hasil karyanya. Aku duduk di ruang tengah menunggu Andriana selesai berdandan. Sekitar sepuluh menit kemudian, terdengar derap langkah Andriana menuruni tangga. Kutatap istriku dari ujung atas sampai bawah, satu kata “sempurna”. Semakin hari dia terlihat semakin cantik. Warna pastel yang dia pilih untuk outfit malam ini menambah kecantikan dan keanggunannya. Ehem.. rasanya agak gimana menyebutnya anggun. Di mata semua orang dia memang telihat seperti princess yang feminin dan lemah lembut. Mereka hanya tak tahu, Andriana yang sesungguhnya tak selembut dan sefeminin yang ada di benak orang kala menatapnya. Aku lebih tahu dia luar dalam. Saat sedang marah, dia bisa lebih seram dari mak lampir. Karakternya terkadang keras kepala, ceplas-ceplos dan kontrol terhadap emosinya masih rendah. Namun aku tak peduli itu semua, karena aku selalu bisa melihat kebaikan-kebaikannya. Dia penuh perhatian dan sangat mencintaiku. Aku ingat, Andriana pernah bilang bahwa dia dan Rayya itu memiliki karakter yang bertolak-belakang. Rayya memang terlihat lebih tomboy dan maskulin darinya, tapi soal hati, jauh lebih lembut dan sensitif Rayya dibanding dirinya. Rayya lebih dewasa dalam bepikir, tenang, terkadang lebih senang memendam keluhannya, sedang Andriana terkadang berpikir pendek, tidak memikirkan efek jangka panjang, grasa-grusu dan tidak bisa memendam sesuatu yang mengganjal pikirannya atau menyembunyikan rasa tak nyamannya. Dia lebih senang mengeluarkan semua dan tak suka menyembunyikan sesuatu. Andriana mengakui dia lebih kasar dari Rayya dan tidak selalu bisa untuk bersikap manis. Perbedaan-perbedaan inilah yang mengisi dan melengkapi persahabatan mereka. Apapun karakternya, aku mencintainya apa adanya. Dia perempuan pertama yang membuka pandanganku tentang pernikahan. Sebelumnya aku berpikir, aku tak akan pernah menikah dengan perempuan. Hingga suatu hari pak ustadz mengatakan bahwa menikah adalah satu-satunya cara terbaik untuk membantu seorang SSA kembali ke kodratnya. Menikah adalah satu-satunya jalan terbaik yang membantu seseorang untuk merubah disorientasi seksualnya kembali ke fitrah. Kenapa harus menikah? Karena ada penyaluran kebutuhan seksual secara halal di mata agama, artinya memungkinkan untuk praktek langsung. Aku pun berharap banyak dari pernikahan ini bahwa suatu saat aku akan benar-benar terlepas dari ketertarikan seksual pada sesama jenis dan ternyata semua tak semudah membalikkan telapak tangan. “Derrel..” Panggilan darinya membuyarkan lamunanku. Mataku kembali fokus mengamatinya. “You look so beautiful An.” Aku tersenyum padanya. Dia selalu bisa memadu-padankan pakaian dan khimar dengan warna senada atau sama sekali kontras, namun jatuhnya pas dan matching. Selera fashionnya memang selalu bagus dan terlihat berkelas. “Kamu juga kelihatan ganteng banget Rel.” Andriana mengerlingkan senyumnya yang selalu manis. “Yuk berangkat.” Aku sodorkan lenganku di hadapannya, persis seperti seorang pangeran yang meminta seorang putri untuk menggandeng lengannya. Andriana menggandeng lenganku dan kami saling mengulas senyum. ***** Kami memilih spot di pojok kanan yang berhimpitan langsung dengan jendela kaca agar bisa leluasa melihat pemandangan luar. Aku akui dekorasi restaurant ini memang begitu elegan dan kesan pertama yang aku dapat ketika menginjakkan kaki di pintu masuk adalah, aku seperti berada di dalam ruangan bernuansa klasik ratusan tahun yang lalu. Pajangan lukisan-lukisan dan barang-barang antik menambah kesan klasik pada interior restaurant ini. Aku dan Andriana duduk saling berhadapan. Pandanganku menyisir ke segala sudut. Tatapanku berhenti kala sepasang mata dan seulas senyum yang aku kenal membidik tepat padaku. Aku membalas senyumnya dan menganggukan kepala. Kami hanya sempat kenal di tempat gym, tidak akrab. Aku tak berniat mendatanginya, sepertinya dia juga begitu. Aku lupa nama lengkapnya, aku hanya ingat dia biasa dipanggil Ares. Dia primadona-nya para gay yang biasa ngegym di tempat gym langgananku dulu. Sudah lama aku tak mendatangi tempat gym itu. Aku memang sengaja ingin menjauh dari segala sesuatu yang bisa menghubungkanku dengan dunia gay. Ini semua demi memuluskan langkahku untuk kembali ke kodrat dan membiasakan diri menganggap bahwa aku bagian dari kaum hetero yang terbiasa bersosialisasi di lingkungan hetero dan aku tak mau terbelenggu stigma yang dibuat masyarakat dalam melabeli orang-orang yang menyukai sesama jenis. Aku berlepas dari semua label. Aku adalah aku. Aku adalah laki-laki sefitrahnya laki-laki pada umumnya. Sushi yang kami pesan datang juga. Aku selalu merasa senang setiap melihat binaran mata indah Andriana. Aku suka melihat ekspresi wajahnya yang begitu senang memandangi makanan kesukaannya. Andriana bilang jika sudah melahap sushi, dia bisa lupa pada dietnya. Aku tak suka saat dia bilang mau diet. Menurutku badannya sudah proporsional dan ideal. Entahlah, aku kadang tak mengerti dengan wanita, kenapa mereka suka sekali berdiet kendati badan mereka tidak termasuk kategori gemuk. Lebih aneh lagi jika mereka berdiet tapi tetap tergoda dengan makanan tertentu dan setelah makan banyak, dengan mudahnya mereka bilang “diet can start tomorrow”. Ada-ada saja. “Kamu suka nggak sushinya An?” Tanyaku dengan tatapan yang tak bisa lepas. Andriana tersenyum cerah dengan bibirnya yang merekah. Dia mengenakan lipstik warna nude, namun bibirnya tetap terlihat merah menawan karena warna asli bibir dia memang sudah merah. “Suka banget Rel. Makasih ya kamu udah ngajak aku ke sini.” Kuulas senyum lebar. Rasanya aku ingin ke belakang sebentar. “An, aku ke toilet dulu ya.” Aku beranjak dan Andriana mengangguk. Memasuki toilet, aku masuk ke kamar mandi. Rasanya tak nyaman jika harus buang air kecil di urinoir. Dulu saat aku belum tergerak untuk berjuang kembali ke kodrat, aku senang setiap hendak buang air kecil di urinoir, apalagi jika tidak bersekat, aku sering curi-curi pandang mengintip para cowok yang tengah buang air kecil juga. Cuma resiko terberat adalah, punyaku bisa “on” seketika ketika melihat benda-benda indah itu terpampang nyata di depan mata. Sejak aku mengenal Islam, aku lebih perhatian pada urusan thaharah. Aku tidak lagi asal buang air kecil sekenanya dengan celana masih lengkap di badan. Untuk menghindari celana terkena air seni ya semua harus dilepaskan dan setelah buang air kecil, harus dibersihkan sampai benar-benar bersih. Karena itu aku lebih suka masuk kamar mandi. Kata pak ustadz banyak orang yang menyepelekan masalah thaharah ini. Aku ingin mempelajari Islam secara kaffah dan aku rasa tidak ada yang ribet jika kita memang sungguh-sungguh ingin belajar. Aku teringat akan isi kutbah Jumat waktu sholat Jumat di Masjid terdekat rumah bahwa thaharah batin lebih sulit dibanding thaharah dzahir. Thaharah dzahir bisa dikerjakan dengan berwudhu, mandi pakai air, membersihkan badan, pakaian dan tempat dari najis, tapi thaharah batin butuh usaha lebih dan niat yang kuat karena ini berhubungan dengan membersihkan penyakit hati seperti hasad, iri, dengki, riya’, sombong dan penyakit hati lainnya. Saat aku keluar dari kamar mandi, aku terperanjat melihat Ares berdiri mematung di depan pintu kamar mandi. Dia mengulas senyum. Wajahnya masih sama dengan garis rahang yang tegas, alis tebal, sepasang mata setajam elang, bibir yang ranum dan sepertinya dia seorang good kisser, kalau aku bilang dia mirip Aldefan, hanya saja kulit Ares lebih eksotis dibanding Aldefan dan aku menyukai kulit seperti ini, satu kata “seksi”. Badannya tinggi proporsional dengan d**a bidang dan bahu lebar. Kedua kaki yang jenjang dan otot lengannya begitu kekar. Kenapa aku merasakan ada sesuatu yang berdesir, astaghfirullah kutundukkan wajahku. Aku masih harus berjuang lebih untuk benar-benar membuang ketertarikanku pada laki-laki. Progress yang aku rasakan adalah aku bisa mengendalikan diri untuk tidak terus memandangi cowok-cowok cakep. Tapi sungguh, melihat laki-laki yang tipe kita banget seperti sekarang ini, benar-benar ujian luar biasa untukku, apalagi aku belum berhasil membangun ketertarikan seksual pada Andriana. “Apa kabar Derrel?” Tanyanya ramah sembari menyodorkan tangan kanannya untuk menjabatku. “Baik, kamu apa kabar?” Balasku dan kubalas menjabat tanganku. “Aku juga baik.” Jawabnya dengan senyum penuh arti dibarengi sedikit menggelitik telapak tanganku. Segera kutarik tanganku dan aku jadi gelagapan begini. “Aku denger kamu baru nikah ya? Wanita berhijab itu istrimu?” Kuanggukan kepalaku tanpa berani membuat kontak mata dengannya. “Derrel, aku buka tempat gym di sebelah toko buku Angkasa. Aku kasih voucher ya, siapa tahu kamu pingin nyoba. Voucher ini terbatas lho, cuma ada lima, gratis untuk satu bulan pertama.” Aku menatapnya. Ares mengedipkan sebelah matanya dan memasukkan sesuatu yang aku duga adalah selembar voucher ke saku celanaku dan kurasakan telapak tangannya membuat sedikit gerakan, meremas pahaku pelan dan mendekat ke arah bagian vitalku membuatku terkesiap. Ares mengeluarkan telapak tangannya dari dalam sakuku dan berbalik meninggalkanku dengan senyum yang tak lepas. Kurasakan dadaku berdesir dan jantungku berdegup lebih cepat. Peluh mengalir dari dahi, dan yang paling aku benci... Aku “ON”..? Sial... Kenapa ituku masih bisa menegang karena godaan laki-laki ganteng? Kuusap wajahku dan mendadak terbersit perasaan bersalah yang sedemikian besar berkecamuk dalam hati. Aku merasa bersalah pada Andriana. Selama ini dia mati-matian menarik perhatianku dengan melakukan bermacam usaha agar yang di bawah sana bereaksi dan terbangun setiap kali kami bermesraan. Aku mengecewakannya karena tak ada reaksi apapan. Sebaliknya Ares yang hanya meremas pahaku berhasil membuatku cenut-cenut tak karuan dan seketika yang di bawah sana mengeras tanpa bisa kucegah. Sungguh, aku benci diri ini. Kenapa aku harus seperti ini? Aku ingin kembali pada jalurku sesuai fitrahku. ***** Setiba di rumah aku masih merasa deg-degan dan dadaku bergejolak. Sensasi sentuhan dan remasan tangan Ares tak bisa kuhapus begitu saja. Tidak Derrel, jangan berfantasi yang aneh-aneh. Andriana berdiri di depan cermin menyisir rambut panjangnya yang berombak di ujung. Dia sudah mengenakan gaun tidur. Aku harus fokus padanya, bukan berfantasi aneh-aneh dengan laki-laki. Aku beranjak dan mendekat ke arah Andriana. Langsung kupeluk tubuh istriku dengan begitu erat. Andriana berbalik dan menatapku dengan sejuta tanya. “Ada masalah Rel?” Aku akui, pada beberapa hal, Andriana bisa lebih peka untuk mencium adanya sesuatu yang tak beres. Aku menggeleng dan langsung kucium bibirnya tanpa ia siap menerimanya. Kudorong tubuh Andriana hingga menghimpit dinding. Aku terus menciumnya dengan begitu liar sementara kedua tangannya aku cengkeram erat dan kusandarkan di dinding, di sebelah wajahnya. Ciumanku semakin ganas hingga bibirnya tergigit sedikit dan ia meringis. Kulanjutkan ciumanku di lehernya tanpa memberinya kesempatan untuk menolakku. Kecupanku semakin dalam, meninggalkan jejak di sana sini dan Andriana mengerang pelan. Aku bisa mendengar detakan jantungnya yang berpacu begitu cepat. Napasnya terdengar tak beraturan. Kulepaskan ciumanku dan kami saling menatap. Kucoba menstabilkan deru napasku yang memburu. “Ada apa Rel? Kamu nggak biasanya kayak gini. Tapi aku suka.” Andriana mendekatkan wajahnya dan berbisik lirih, “yang barusan hot banget.” Kupejamkan mataku. Andriana memegang kedua pipiku. Kubuka mataku kembali dan menatapnya dengan gempuran rasa bersalah. “Sepertinya ada yang nggak beres?” Tanyanya menelisik detail wajahku. Aku tercekat. Aku tak ingin menyakitinya tapi aku harus bicara jujur padanya. Aku tak tenang jika menyembunyikan sesuatu darinya, sekecil apapun itu. “Maafkan aku An.” Andriana mengernyitkan alisnya, “minta maaf untuk apa?” Aku menghela napas, “tadi di restaurant waktu aku ke toilet, aku bertemu Ares, kenalan dari tempat gym langganan. Sekarang aku udah nggak pernah ngegym lagi. Ares memberi voucher tempat gym yang baru ia buka. Dia memasukkan voucher itu ke saku celanaku.” Rasanya aku takut untuk melanjutkan. “Terus..” Andriana tak lepas menatapku seakan dia menebak apa yang terjadi antara aku dan Ares. “Dia meremas pahaku dan mendekatkan gerakan tangannya ke organ vitalku.” Aku lihat Andriana bengong dan ada keterkejutan yang bisa aku tangkap dari kedua bola matanya. “Kamu tahu An? Aku masih bisa ON dengan ini semua.” Aku tercekat dan sepertinya mataku sudah mulai berkaca namun aku tak ingin menangis. Kutahan sedemikian kuat agar air mataku tak jatuh. Rasa bersalahku pada Andriana begitu besar dan aku membenci kebodohanku. Andriana membisu tapi aku tahu, dia shock dan kecewa. Aku lunglai dan duduk di atas lantai. Kutekuk lututku dan kulingkarkan tanganku di kedua lututku. “Maafkan aku An. Aku bersalah padamu. Nggak seharusnya aku kayak gini. Semua nggak bisa aku cegah. Apa ini artinya aku belum sepenuhnya menjadi straight?” Aku makin tercekat dan saat ini aku sudah tak bisa lagi untuk angkuh menahan luapan kekecewaan pada diri sendiri. Tak terasa bulir bening itu jatuh juga. Andriana menundukkan badannya dan mengusap rambutku. Dia duduk di sebelahku. “Kamu sedang berjuang untuk menjadi straight Rel. Kamu sedang berjuang untuk menghilangkan ketertarikanmu pada laki-laki. Kamu memang sudah jatuh cinta padaku tapi kamu masih harus berjuang untuk benar-benar menghilangkan ketertarikan seksual pada laki-laki. Dan aku tak akan terlalu banyak menuntut karena aku tahu, itu tak mudah. Aku akan terus memberimu support.” Andriana menggenggam tanganku. Aku bisa melihat ketulusan di matanya. “Aku takut An..” Andriana mengusap pipiku, “takut kenapa Rel?” Kupejamkan mataku sejenak, “takut kamu akan ninggalin aku kalau aku seperti ini terus.” Andriana menatapku tajam, “I will never leave you Rel.. I promise.” “Aku kecewa pada diri sendiri An. Aku pikir pernikahan menjadi jalan yang mudah untukku berubah. Ternyata tidak sesederhana yang ada dalam pikiranku.” Andriana memelukku erat dan kubalas pelukannya lebih erat. “An, boleh aku bertanya satu hal.” “Tentu Rel.” Andriana melepas pelukannya dan menatapku dengan lembut. “Apa dalam Islam.. Heaven is only for straight?” Andriana terdiam. Sepertinya ia tengah mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaanku. “Sayang.. setiap manusia memiliki hasrat seksual, kecuali yang mengalami kelainan, mungkin tak memiliki. Secara fitrah, manusia memilikinya. Aku rasa bagian terpenting dari ketertarikan seksual ini bukan kepada siapa, tapi bagaimana kita menyalurkannya. Jika seseorang memiliki ketertarikan seksual pada sesama jenis dan ia tidak menyalurkannya dengan berhubungan seks sesama jenis, dia tak mendapat dosa, bahkan mungkin dia mendapat pahala setiap kali berhasil menahan diri untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Sama halnya dengan heteroseksual. Yang dilihat adalah bagaimana ia menyalurkan hasrat seksualnya. Jika dia menyalurkannya lewat pernikahan yang sah tentu tidak berdosa, tapi jika dia berzina, dia akan mendapatkan dosa.” Kucerna baik-baik kata-kata yang terlontar darinya. “Kenapa orientasi seksual ini seolah menjadi sesuatu yang penting untuk berjalan sesuai kodrat adalah karena jika menyimpang dari kodrat, ditakutkan akan terjadi tindakan homoseksual. Islam melarang homoseksual dan satu-satunya jalan yang halal untuk memenuhi kebutuhan biologis akan seks adalah pernikahan. Pernikahan dalam Islam itu antar laki-laki dan perempuan, bukan sesama jenis. Kita tahu salah satu tujuan pernikahan untuk mendapat keturunan kan? Hubungan sesama jenis tidak akan menghasilkan keturunan. Jadi lebih baik kamu fokus pada usahamu untuk kembali ke kodrat, dibanding berpikir tentang pertanyaan apakah surga hanya untuk orang straight?” Aku bisa memahami maksud perkataan Andriana. Dia memang benar, aku harus fokus pada usahaku, bukan memikirkan hal lain. Andriana mengulas senyum dan menggerakkan jari-jarinya menelusuri wajahku. Aku beruntung memilikinya. Dia adalah motivasi dan semangat terbesarku untuk berubah. “Aku ingin menjadi laki-laki straight. Aku ingin membahagiakanmu. Aku ingin punya anak darimu. Aku tak bisa terus-terusan seperti ini. Kamu harus bantu aku An. Jangan pernah lelah menghadapiku. Jangan pernah meninggalkanku.” “Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku cinta kamu Rel. Kita akan berjuang dan menghadapi semua bersama. I promise..” Kurengkuh Andriana dalam pelukanku. Aku tak bisa membayangkan jika dia tak ada. Dia selalu bisa menenangkanku, mengenyahkan semua rasa takut yang menyergap. Dia selalu meyakinkanku bahwa aku bisa berubah dan membahagiakannya. Aku yakin aku bisa melalui ujian ini. Andriana layaknya oase yang menyejukkan kala hatiku serasa gersang. She always believes me even when I can’t believe in myself.. And she always accepts me even when nobody cares about me.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD