My Annoying Ex-Husband

2619 Words
Author’s POV Rayya tampak telaten mengganti popok Bintang yang basah terkena ompol. Andriana begitu takjub menyaksikan kecakapan Rayya mengurus bayinya. Setiap kali melihat Rayya yang sekarang, Andriana seakan lupa bahwa dulu Rayya pernah menjadi gadis yang sedemikian tomboy dengan rambut cepak yang tak pernah dibiarkan panjang dan selalu keren dengan pakaian laki-laki yang seringkali ia pilih untuk fashion style-nya. “You are really a great mom Ray.” Rayya melirik Andriana yang memandangnya dengan seulas senyum. “Hanya gantiin popok aja kamu bilang aku great mom. Ada-ada aja kamu An.” Rayya tertawa kecil. Andriana ikut terkekeh, “I’m your true stalker Mrs. Aldefan. Aku tahu seperti apa aktivitasmu. Kamu kerap beragi cerita di akun medsosmu.” “Suatu kehormatan untukku diintip akunnya oleh designer terkenal.” Rayya mengulas senyum lebar. “Aamiin. Mudah-mudahan beneran jadi terkenal ya.” Andriana juga tersenyum lebar menanggapi ucapan Rayya. “Kamu udah cukup tenar An. Namamu selalu diperhitungkan tiap kali ada acara fashion week. Hasil designmu juga semakin cetar.” Rayya mengusap keringat yang meluncur pelan membasahi wajah bayi chubbynya. Bintang terpejam dan terlihat begitu pulas dalam tidurnya. Rayya duduk di hadapan Andriana. Diamatinya wajah Andriana yang begitu bersinar. “Kayaknya kamu happy banget An. Aura pengantin barunya kerasa banget.” Rayya tersenyum. Andriana tertawa kecil, “masa sih? Emang auraku kayak gimana?” “Kayaknya sih auranya warna pink.” Jawab Rayya sekenanya. Andriana tertawa, namun ia segera menutup mulitnya, takut tawanya akan membangunkan Bintang. “Ngacau kamu Ray. Oya Ray, aku pingin ngucapin makasih banget karena kamu mau ngluangin waktu buat balesin WA-ku. Padahal kamu sibuk ngurus baby, tapi masih mau aku recokin.” Rayya tersenyum, “nggak perlu bilang makasih An. Aku seneng sih bisa sharing pengalaman.” “Aku bersyukur banget Ray, kemajuan Derrel begitu pesat.” “Kekuatan doa seorang istri itu adalah support terbesar untuk suami An. Sesuatu yang nggak mungkin menurut kita, bisa dengan mudahnya terjadi jika Allah berkehendak. Mudah bagi Allah untuk membolak-balik hati manusia An. Jadi inti dari kesabaran kita untuk mendampingi suami dalam proses mengubah orientasi seksual mereka, kita selalu yakin ada Allah yang mendengar doa kita dan akan memberi jalan selama niat kita baik.” “Ya kamu benar Ray. Kita nggak perlu takut menghadapi apapun karena ada Allah bersama kita.” Andriana tersenyum tipis. Sementara itu Derrel dan Aldefan tampak berbincang di taman sebelah kolam renang. Derrel memandang lepas ke arah kolam. Airnya yang jernih seakan menembus ke setiap celah di hatinya, menjadikan perasaannya begitu sejuk dan tenang. “Kamu harus tetap optimis Rel. Selalu berpikir positif itu penting banget.” Derrel beralih menatap Aldefan, “ya Al. Aku bakal berusaha untuk selalu optimis. Tips kamu keren-keren banget Al. Aku berhasil mraktekin.” “Aku senang kalau apa yang aku bagi bisa ngasih manfaat buat kamu.” Aldefan menyeruput segelas jus strawberry. “Aku sendiri masih nggak percaya, aku bisa melakukannya. Aku cuma ingin melihat Andriana bahagia. Tapi masih ada satu hal yang sangat menggangguku Al.” Aldefan menatap Derrel dengan begitu serius. “Apa yang mengganggumu Rel?” “Aku males sebenarnya ngomongin masalah ini. Tapi serius, aku terganggu banget. Aku masih bisa turn On saat melihat cowok yang tipeku banget.” Derrel tak berani membuat kontak mata dengan Aldefan. Dia merasa malu mengatakannya, seakan ini adalah aib terbesarnya. Aldefan menghela napas, “semua perlu proses Derrel. Setiap kamu melihat laki-laki yang membuat kamu tertarik atau ada laki-laki yang menggodamu, tundukkan pandanganmu, berdzikir dan berdoa agar Allah senantiasa menjagamu dari perasaan tertarik dengan sesama jenis. Dulu aku juga pernah seperti ini. Alhamdulillah perlahan ketertarikan itu hilang sama sekali.” Derrel mengangguk. Dia meyakinin satu hal, bahwa melibatkan Allah dalam segala hal akan membantunya untuk bisa keluar sepenuhnya dari permasalahan ini. ***** Andriana’s POV Sekembalinya dari rumah Rayya, aku mampir ke butik, sedang Derrel mendatangi toko elektronik keduanya. Aku memeriksa kembali baju-baju yang akan aku bawa nanti untuk mengikuti acara fashion week di Surabaya. Paling tidak aku harus tiba di Surabaya lebih awal sebelum acara dimulai untuk persiapan gladi resik sebelum hari H. Besar harapanku agar produkku bisa dikenal masyarakat luas. Aku merancang busana muslimah yang mengedepankan nilai-nilai sesuai syariat sebagai bentuk kampanye agar para muslimah tidak ragu untuk belajar berbusana lebih syari’i dan bangga dengan hijab sebagai identitasnya. Tiba-tiba suara ketuk pintu membuyarkan konsentrasiku. “Masuk.” Karyawati yang baru bekerja setengah tahun ini melangkah mendekat. “Ada apa Lia?” “Ada orang ingin pesan baju pengantin.” “Laki-laki atau perempuan? Kalau perempuan suruh masuk aja, kalau laki-laki suruh tunggu di luar ya” “Laki-laki. Ya udah kalau gitu saya turun dulu ya teteh bos.” Lia kembali berbalik menuju pintu. Semua karyawanku baik karyawan butik maupun salon selalu memanggilku teteh bos. Panggilan ini memang unik. Derrel sempat mengomentari, kenapa bisa dipanggil teteh bos? Ya Angga karyawan salon yang maunya dipanggil Anggun itu yang memelopori. Alasannya karena aku masih muda jadi kata mereka aneh, jika aku dipanggil ibu atau bu bos. Apalagi aku membangun usaha salon lebih dulu sebelum aku membangun butik dan aku sudah memulai usahaku sejak aku masih kuliah. Kuturuni tangga menuju lantai bawah. Aku terperanjat mendapati sosok yang tak asing duduk di sofa dan menatapku dengan senyum, yang entahlah senyum itu tak pernah terlihat tulus sejak kami berseteru. Laki-laki itu yang dulu meyakinkanku untuk menikah dan aku belajar untuk mencintainya. Laki-laki yang pernah menjadi sosok paling sempurna di mataku sebelum kelakuan bejatnya terbongkar. Laki-laki yang pernah membuat air mataku membanjir dan pertahananku seakan amblas tak bersisa setara dengan tanah. Laki-laki yang ketika mengingat namanya saja membuat dadaku bergemuruh dengan segala rasa tak suka dan ingin kuhempas jauh-jauh, sama seperti saat membaca “surat-surat cinta” dari pengadilan yang akhirnya aku hempas ke tempat sampah. Laki-laki yang mengusik pikiranku bahwa cinta itu hanya omong kosong dan butuh waktu serta kekuatan hati untuk benar-benar bisa move on darinya. Laki-laki yang menjadi bagian dari masa lalu terpahit, Regan Parahita Wirata, mantan suamiku. Regan beranjak dan mengulurkan tangan kanannya, “hai Andriana apa kabar?” Kutangkupkan kedua telapak tangan di depan dadaku dan kuanggukkan kepala. Regan menarik kembali tangannya, “oh maaf.” “Tak apa, alhamdulillah aku baik, kamu apa kabar?” Meski aku tak menyukainya, aku mencoba bersikap sebiasa mungkin. “Alhamdulillah baik juga. Lama tak bertemu, kamu semakin cantik dengan hijab.” Regan mengulas senyum dan kurasakan pandangannya menyisir dari ujung atas hingga bawah, membuatku tak nyaman. “Oya, selamat ya atas pernikahanmu.” Ucapnya lagi dengan senyum yang tak jua lepas. Aku tersenyum tipis, “makasih.” “Sayang kamu nggak ngundang aku An. Padahal aku udah nyiapin kado istimewa buat kamu.” Entahlah kali ini ucapannya begitu tak enak untuk didengar. “Aku hanya mengundang orang-orang terdekat.” Jawabku datar. Regan menyeringai, “ya ya.. siklus hidup memang seperti itu, yang pernah menjadi terdekat, sekarang menjadi terjauh.” Perbincangan ini sepertinya sudah teramat menjengkelkan untukku. Sungguh aku tak menyukai gayanya yang tengil dan seringkali menatapku dengan tatapan meremehkan. Entahlah, bagaimana bisa dulu aku pernah menjadi wanita bodoh yang tergila-gila padanya. “To the point aja apa maksud kedatangan kamu ke butikku?” Regan tertawa kecil. Sungguh sikapnya tak mencerminkan pria berkelas, kontras dengan setelan jas yang ia kenakan. “Jangan buru-buru An. Santai aja. Bisa dibilang kita ini teman lama kan? Aku ingin bernostalgia sejenak denganmu.” Regan kembali mengulas senyum. Aku tak suka melihat caranya tersenyum, seperti senyuman sinis. “Aku tak punya waktu banyak dan aku nggak berminat untuk bernostalgia denganmu.” Nada bicaraku kubuat lebih tegas agar dia tahu, aku tak suka dengan basa-basinya. “Kamu masih saja galak dan angkuh seperti dulu.” Regan menggeleng lalu kembali menatapku dari atas ke bawah, “tapi itu yang aku kangenin dari kamu.” Aku menyeringai dan kupalingkan wajahku menuju sudut lain, “kamu juga masih playboy dan suka nggombalin perempuan. Kasian bener ya sekretarismu itu kalau tahu pacarnya masih suka nggombalin cewek lain.” Regan tertawa kecil, “aku cuma nggombalin perempuan yang menurutku menarik. Dan cowok terkadang nggak harus lurus-lurus banget kan An? Hanya sebatas nggombalin apa salahnya? Toh yang penting cinta aku masih untuk dia dan kami sudah bertunangan.” Aku tersenyum sinis, “selamat untuk pertunanganmu. Saat nanti kalian menikah, aku harap kamu benar-benar bisa merubah sikapmu Gan.” “Terimakasih nasihatnya, kamu masih peduli juga.” Aku tersenyum sekali lagi, “jangan salah mengartikan. Aku lebih peduli ama tunanganmu. Kasihan dia kalau kalian menikah dan suaminya masih selengekan begini.” Regan tertawa, “dia menerimaku apa adanya An. Dia tidak sepertimu yang suka mengatur dan mendominasi.” Aku tertawa sinis, “apa untungnya kamu bandingin aku sama dia?” “Aku ingin kamu tahu aja, aku sudah menemukan orang yang lebih baik darimu. Dia tak hanya piawai memasak, dia juga tahu caranya menyenangkanku di ranjang.” Regan mengedipkan mataku dan sungguh aku jengah sekali mendengarnya. “Harus ya menceritakan semua itu? Dan aku merasa bersyukur banget mengetahui perselingkuhan kalian, jadi aku bisa lepas darimu.” Mataku membulat dan atmosfer terasa bertambah panas. “Kamu melepaskanku dan mendapatkan seseorang yang tak layak untukmu An.” Regan menyeringai dan aku tak suka dia membawa nama Derrel dalam pembicaraan ini. Apa haknya menyebut Derrel tak layak? “Derrel itu sangat layak dan aku bersyukur menikah dengannya. Dia laki-laki yang bisa menjaga kesetiaan dan nggak jelalatan kayak kamu.” Intonasi suaraku terdengar meninggi. Aku tak peduli lagi meski para karyawanku mendengarnya. “Okey.. Dia mungkin nggak jelalatan ke para cewek...” Regan semakin mendekat ke arahku dan aku sedikit mundur. “Tapi dia mungkin jelalatan ke para cowok.” Ucapnya lebih pelan dan aku terperangah. Apa Regan tahu masa lalu Derrel? Bibirku mendadak kelu dan sungguh aku ingin menendang Regan keluar dari sini. “Everybody knows who is Derrel Aditya Hazel. Dia cukup tenar di kalangan gay. Sepupuku adalah mantan pacar pertamanya. Tanya saja ke suamimu, kenal Martin Anggawan nggak?” Aku tak peduli dengan apa yang dikatakan Regan. Masa lalu Derrel tak lagi menjadi sesuatu yang mengusikku. “Kamu melepaskan laki-laki straight yang penuh pesona sepertiku dan menikah dengan gay yang mungkin nggak akan bisa memberimu nafkah batin dan nggaka akan pernah bisa memuaskanmu.” Aku tersentak mendengar kata-katanya yang begitu frontal. Sungguh aku ingin menamparnya. Tapi aku ingat mengotori tanganku dengan menyentuh laki-laki yang bukan mahram hanya akan merugikanku. “Lebih baik kamu keluar dari sini Gan. Asal kamu tahu ya, Derrel sudah kembali ke kodratnya dan aku tak peduli sepahit apapun masa lalunya.” Nada bicaraku meninggi dan rasanya d**a ini begitu sesak, serasa seperti terbakar. “Ayolah An, kamu harusnya lebih paham dengan dunia LGBT. Sekali gay tetap gay. Martin dulu pernah ada dalam fase denial hingga akhirnya dia lelah dan memutuskan untuk terbuka akan identitasnya lalu coming out ke keluarga yang menyebabkan dia terusir. Hingga akhirnya dia ingin kembali diterima keluarganya dengan berusaha menjadi straight, termasuk memacari perempuan dan berhubungan intim dengannya, tapi apa faktanya? Martin tidak merasa bahagia dan dia kembali lagi ke dunia gay. Aku tekankan An, seorang gay yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sesama jenis, aku pastikan dia tak akan bisa lepas dari dunia pelangi ini.” Hatiku seakan meradang mendengar ucapan panjang Regan. Aku percaya Derrel bisa melepaskan diri seutuhnya dari dunia gay. “Derrel beda dengan Martin. Aku percaya pada suamiku. Dia sungguh-sungguh bertaubat dan aku akan selalu mendukungnya.” “Jangan terlalu polos An. Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak gay menikah tapi di belakang dia masih main sama pacar lelakinya.” Regan tersenyum licik. Sungguh aku sudah tak bisa lagi menerima dia sebagai tamuku. “Kamu mencoba memprovokasiku? Urus saja tunanganmu, jangan mengurusi suami ataupun rumahtanggaku. Kalau nggak ada urusan lagi lebih baik kamu keluar. Aku sudah malas untuk berbicara denganmu.” Aku berbalik dan menaiki tangga, sementara kudengar Regan nyerocos, “An urusan kita belum selesai. Aku mau pesan wedding dress untuk calonku.” Aku tak peduli, aku tak ingin berurusan lagi dengannya. ***** Derrel tampak bersemangat membuka buku tajwid dari ustadznya. Besok dia hendak belajar kembali dengan ustadz Azzam. Derrel masih menjalani mengaji privat dengan ustadz Azzam setiap tiga kali seminggu. Biasanya dua kali privat di rumah, satu kali di Masjid setelah Maghrib, dilanjut lagi setelah Isya. “An, ilmu tajwid ini cukup rumit juga ya, dan aku agak kesulitan menghafal. Misal huruf apa aja yang masuk huruf ikhfa terus aturan-aturan saat huruf tertentu bertemu nun mati atau tanwin dibacanya gimana, ini bikin aku bingung.” Derrel duduk lesehan di atas karpet dengan buku di hadapannya yang ia letakkan di atas meja. Aku mendekat padanya dan duduk di sebelahnya. “Semakin sering dipelajari nanti kamu akan semakin paham. Mesti sering baca Al-Qur’an juga Rel. Nanti ustadz Azzam akan lebih mengarahkanmu. Jangan dibawa bingung ya. Mempelajari segala sesuatu itu mesti tenang dan rileks.” Aku mengulas senyum. “Iya An. Surat-surat pendek di juz 30 aja, aku banyak yang belum hafal.” Mata Derrel terus awas membaca buku di hadapannya. “Iqlab, bila nun mati atau tanwin menghadapi ba, bunyinya berubah jadi M. Ini maksudnya huruf nun-nya dibaca jadi M ya An?” Derrel melirikku. “Iya, biar lebih jelas dibaca contoh penggalan ayatnya aja Rel. Misal ini, mimm ba’di, ada huruf nun mati ketemu ama ba, dibacanya bukan min-ba’di, tapi jadi mimm-ba’di. Dari sekian hukum tajwid, aku paling hafal ama iqlab Rel.” Aku tertawa kecil. Derrel ikut tertawa, “paling simple ya An, nggak kayak ikhfa yang punya 15 huruf.” Aku mengangguk, “aku juga perlu belajar lagi Rel. Setiap hari Jumat dan Minggu ada kajian ibu-ibu, aku suka ikut juga dan macem-macem sih bahasannya, kadang bahas tajwid juga.” “Bagus itu..” Derrel kembali membaca bukunya, “sumpah An, ipk cumlaudku serasa nggak ada artinya jika berhadapan dengan ilmu tajwid. Aku butuh konsentrasi lebih untuk mempelajarinya.” Aku tersenyum, “kamu pasti bisa Derrel.” Kucoba memberinya semangat. Tiba-tiba aku ingat perkataan Regan tadi siang. Kenapa aku jadi memikirkan perkataannya. Derrel sepertinya tahu aku tengah memikirkan sesuatu. “Ada apa An? Kamu kayak lagi mikirin sesuatu.” Aku terkesiap dan menatap wajah suamiku dengan banyaknya tanya. Aku ingin mengungkapkan apa yang mengganjal di pikiranku, tapi agak ragu. “Ayo cerita An, aku bisa jadi good listener.” Derrel mengusap kepalaku lembut. “Ehm.. ada sesuatu yang mengganjal. Ada yang bilang sekali gay tetap gay dan jika dia sudah pernah berhubungan seks sesama jenis, dia bakal susah lepas dari dunia gay.” Derrel tersenyum, “kamu masih meragukanku? Apa moment romantis kita kemarin belum cukup untuk membuktikan kalau aku benar-benar serius ingin menjadi straight seutuhnya?” Aku menggeleng cepat, “bukan itu Derrel. Aku hanya....” Belum kutuntaskan perkataanku, Derrel menempelkan jari telunjuknya di bibirku, “dengar ya An. Ada ayat Al-Qur’an yang selalu menguatkanku untuk berjalan di jalurku sebagai laki-laki sesuai fitrahnya. Ayat yang memotivasiku untuk benar-benar berubah. Ada surat Adz-Dzariyat ayat 49 yang terjemahannya intinya seperti ini, dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu ingat kebesaran Allah. Ada lagi surat Adz-Dzariyat ayat 45, terjemahannya begini, Dan sesungguhnya Dia menciptakan laki-laki dan perempuan berpasang-pasangan. Ini adalah ketentuan Allah An, bahwa laki-laki diciptakan berpasang-pasangan dengan perempuan. Apa aku masih bisa angkuh dengan mengingkari apa yang sudah ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an? Aku takut berbuat dosa An. Aku ingin belajar tentang Islam secara utuh, bukan setengah-setengah dan aku benar-benar ingin kembali ke kodratku sebagai laki-laki.” Ada setitik rasa haru yang mengisi hati dan aku bangga padanya. Derrel sudah banyak belajar dan tekadnya begitu kuat. Tidak seharusnya aku meragukannya. Kugenggam tangan Derrel dan aku tersenyum. Derrel menarikku dalam pelukannya. Rasanya begitu hangat dan bisa kurasakan detak jantunganya yang teratur. “Jangan khawatir An. Aku nggak akan menyerah untuk terus berjuang.” Derrel mengecup keningku begitu dalam. Satu doa yang tak pernah lupa untuk kupanjatkan adalah, aku ingin Allah senantiasa menjaganya dan merahmatinya dengan banyak kebaikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD