JEJAK LAMA

1415 Words
“Cuti sampai kapan, Bang?” tanya Pia, the one and only tantenya Ben dari pihak Ayah. “Lusa sudah masuk, Bund. Kan ngga langsung honeymoon,” tanggap Ben. “Ada kerjaan yang harus diselesaiin dulu, biar pas jalan pikirannya ngga ke kantor.” “Anne?” “Sama, Bund. Anne juga ada finalisasi desain minggu depan. Sudah tinggal nunggu approval aja sih.” “Terus kenapa milih destinasi honeymoon-nya yang asing-asing di telinga gitu? Nanti kalau di sana fasilitas publiknya kurang layak apa ngga repot, Bang?” tanya Pia lagi. “Sempat mikir begitu sih, Bund. Tapi, keinginan buat datengin tempat-tempat hidden gem begitu, jauh lebih kuat. Apalagi Anne, Bund. Dia mah lembut luarnya doang. Hobinya racing sama olahraga ekstrim. Kalau jalan-jalan seleranya juga unik, malah sebisa mungkin menghindari tempat-tempat yang kekinian.” Pia terkekeh. Ya, ia sudah tau itu. Meski ia menerka jika Anne menyenangi hal-hal ekstrim dan unik sebagai respon pertahanan diri dari beberapa kali bullying yang pernah dialami. Bullying itu jarang langsung terlihat atau ditindaklanjuti. Seringkali, orang luar hanya melihat sisanya, dari senyum yang dipaksakan sampai sikap tenang yang sebenarnya rapuh. Selama belum ada penyelesaian yang tuntas—baik berupa permintaan maaf tulus, dukungan yang nyata, atau keadilan—bekasnya akan menetap. Bukan cuma di ingatan, namun di cara seseorang memandang dirinya, memercayai orang lain, bahkan memilih tempat untuknya melanjutkan hidup. Anne membungkus lukanya dengan keberanian-keberanian kecil seperti mencoba hal-hal yang menantang atau pergi ke tempat-tempat yang jarang orang pilih, seolah ingin membuktikan jika ia mampu menaklukkan ketakutan yang dulu pernah membuatnya tak berdaya. Pia paham, setiap pilihan itu bukan sekadar selera—tapi juga cara Anne mengendalikan hidupnya sendiri, sekaligus agar orang lain tak mengendalikannya lagi. “Abang shalat dulu, ya Bund?” Pia mengangguk. Private lunch sudah selesai, sebagian kerabat dekat sudah pulang, mobil-mobil mereka yang tadinya berderet di jalan berbatu kini satu demi satu menghilang di tikungan. Area cafe dan resort itu terasa lebih lengang, hanya tersisa Ben, Anne, serta keluarga kandung kedua belah pihak. Beberapa orang dewasa memilih tetap di ruang keluarga villa utama, sementara sebagian lagi menepi ke teras dengan pemandangan lapangan berumput yang dipagari barisan pohon pinus di sekeliling. Ben masuk ke kamar pengantinnya, mendapati sang istri yang duduk di depan meja rias. Midi wedding dress berwarna blush masih melekat di tubuhnya, sementara kedua matanya memejam, mempercayai Reina dan Cantika membantunya menghapus makeup. “Susah dibersihin ya?” tanya Ben. “Ngga sih,” jawab Reina. “Perasaan sudah dari tadi masuk kamar, Teh.” “Ngobrol dulu kan.” Ben terkekeh. “Kenapa memang? Ngga boleh?” tanya Reina dengan nada ngajak ribut. “Ampun, Teh!” Reina malah tergelak. “Mau ngapain lo? Sudah cuci muka belum?” “Mau mandi, shalat ashar. Gerah banget,” jelas Ben. “Kita ngga harus pindah kan?” “Nggalah. Aman.” “Ben?” tegur Anne. “Kenapa, sayang?” “Masih ada kue-kue yang bisa dimakan ngga?” “Oh iya, tadi kamu makannya kan dikit banget.” “Ngga enak badanku. Masuk angin deh kayaknya.” Ben mendengus pelan. “Aku lihat dulu ke depan, ya?” “Ngga apa-apa?” “Iyalah. Ngga masalah pake banget.” “Thanks, Ben.” “Oke,” tanggap Ben seraya mengayun kakinya keluar dari kamar. Namun, ia tak mencari kue-kue yang dimaksud Anne. Ben justru menuju dapur, membuka kulkas, mencari sesuatu yang bisa ia olah. Sebungkus bakso sapi instan, dua buah telur, daun bawang, dan lima bonggol baby pakcoy menjadi pilihannya. “Ngapain, Bang?” tanya Dirga yang datang untuk mengisi ulang mug kopinya. Ia tak sendiri, Borne membuntuti langkahnya. “Cooking something,” jawab Ben. “Anne masuk angin kayaknya, Pa. Pas lunch ngga habis makannya. Katanya perutnya kembung, badannya agak nyeri.” “Mana Anne?” “Masih bersihin makeup sama Teteh Reina dan Cantika, Pa.” Dirga duduk di minibar dapur tersebut, tepat di samping Borne yang lagi asik makan lontong pakai nori. Entah gaya dari mana. “Enak, Ne?” tanya Dirga. “Enak,” jawabnya. “Tapi bukan enak banget.” “Mananya?” “Lontongnya.” “Lo kan doyannya lontong mi.” Borne mengangguk-angguk. “Ayah mau, Bang,” ujarnya kemudian ke Ben seraya mendelikkan dagu ke mangkuk berisi telur yang tengah putranya kocok. “Papa Ga juga mau,” sambar Dirga. “Baksonya tinggal sebungkus tapi,” tanggap Ben. “Nasi sama telur dadar saja cukup,” sahut Dirga. Borne mengangguk sepakat. Ben kembali sibuk dengan kompor, peralatan memasak, dan bahan-bahan makanan yang akan ia olah. Sementara itu, Dirga dan Borne melanjutkan permainan SOS-nya. Mana niat banget, pakai kertas grid segala. Aturannya cuma satu; siapa yang berhasil menghubungkan huruf S-O-S, maka boleh menyentil kening lawan mainnya, berlaku kelipatan. Borne yang paling happy, soalnya permainan ini tak membutuhkan kekuatan ingatan, namun kepintaran berstrategi. Apalagi kalau giliran Dirga yang kalah... sebelum nyentil, Borne pakai acara pamer otot dulu. “Dendam apa sih lo sama gue?” sambat Dirga. Ben menoleh, mendapati kedua kening ayahnya yang memerah. “Papa Gi mana, Pa, Yah?” tanyanya. “Main golf sama Papi Ri,” jawab Borne. “Di mana, Yah? Memang ada lapangan golf dekat sini?” “Ngga ada lah,” Dirga yang menanggapi. “Golf-golfan, Bang. Pakai ranting sama bola bekel.” Ben sontak terkekeh. “Bisa kepukul bolanya?” “Banyakan meleset sama bengeknya mereka main,” jawab Borne. “Ada masalah apaan sih mereka? Pasiennya sehat-sehat kan?” “Namanya pasien ya pasti lagi sakit, Ne.” Ben makin ngekek. “Biarin aja udah. Lagi stres sama kerjaan kali,” ujar Dirga lagi dengan ekspresi datar. “Kalau Ayah dan Papa Ga lagi stres apa?” tanya Ben, usil. “Stres bola bekelnya ngga dibalikin!” sahut Borne. Pungkas menyajikan dua porsi nasi panas dan telur dadar untuk kedua ayahnya, Ben membawa seporsi lainnya beserta semangkuk bakso ke kamar. Pintu ia ketuk beberapa kali hingga Cantika membukakan. Ben lalu bertukar tempat dengan Reina dan Cantika yang meninggalkan kamar mereka. Wajah Anne sudah lebih bersih, tinggal gaunnya saja yang belum diganti. “Kamu masak?” tanya Anne saat Ben meletakkan makanan itu di hadapan sang istri. “Iya. Makan gih,” jawab Ben. “Mumpung hangat.” “Kuenya habis?” “Ngga. Ada kok, sayang.” Anne menatap Ben agak lama. Tangannya lalu terulur, menyentuh punggung tangan suaminya yang masih terasa hangat. “Jangan nangis dong,” seloroh Ben. “Nanti makin asin kuah baksonya.” “Kamu itu, ngerusak momen aja,” tanggap Anne, lalu terkekeh. “Makasih, Ben.” Ben hanya mengangguk pelan, lalu menyentuh kening Anne dengan bibirnya. “Kalau bisa dihabisin, soalnya kamu makan dikit banget pas lunch.” “Kamu ngga ikut makan?” “Ngga. Aku mau mandi, gerah banget.” “Oke.” *** Selepas membersihkan diri, Anne dan Ben bergabung dengan keluarga mereka yang tengah menikmati sore di teras villa. Langit tampak jernih dan cantik, semburat jingga menembus sela dedaunan pinus, jatuh membentuk pola-pola samar di lantai teras. Pengantin baru itu duduk di sofa panjang, berhadapan dengan meja kayu rendah yang penuh dengan piring buah, kue, dan cangkir teh serta kopi yang mengepulkan uap tipis. Ben meraih tangan Anne, meletakkan ke pangkuannya, menggenggam hangat. Anne terpaku sejenak melihat ibu jari Ben yang mengelus-elus cincin kawinnya, tersenyum simpul. Ada momen sunyi yang hanya mereka berdua nikmati, seperti jeda di antara riuh obrolan keluarga. Ben menoleh, menatap teduh pada Anne, tanpa mengucap satu kata pun. Lucunya, pipi Anne terasa memanas, namun ia juga tak ingin memalingkan wajah dari tatapan yang membuat jantungnya berdetak riang. Hingga... ketenangan itu terdistraksi sebuah panggilan yang masuk ke nomor Anne. Elisa. Nama yang muncul di layar. Jika Elisa selalu mengatakan ke mana-mana ia dan Anne bersahabat sejak duduk bersisian di kelas VIII, maka Anne belum pernah secara blak-blakan memberi pengakuan yang sama. Bukan karena Anne tak merasa dekat dengan Elisa. Hanya saja, riwayat dirisak yang ia miliki membuatnya sulit untuk terlalu akrab dengan orang-orang selain keluarga. “Siapa, sayang?” tanya Ben. Anne menunjukkan layar ponselnya pada sang suami. “Angkat saja,” ujar Ben lagi. “Tapi kan kita lagi ngumpul?” balas Anne. “Angkat buat bilang nanti kamu hubungi lagi.” Anne mengangguk. Sebenarnya, bukan ia kesulitan menyampaikan apa yang Ben usulkan barusan. Hanya saja, hatinya berat untuk sekedar mengangkat panggilan. Alasannya sederhana; orang yang menghubunginya ini, cukup lama menghilang. Nomornya aktif, namun memperlakukan Anne seolah tak kasat mata. “Sayang?” tegur Ben lagi. Ia mengangguk, menggerakkan ibu jarinya, menerima panggilan video tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD