8 tahun lalu...
"Ayah, El nggak mau jadi dokter. El mau sekolah psikologi aja." Gadis berseragam abu-abu putih itu tampak cemberut dengan ponsel menempel di telinganya.
"El, kamu harus nurut Mamamu. Dia ngerti yang terbaik buat kamu."
Elvina mendengus. "Mana ada orang yang baru kenal udah tahu yang terbaik buat El? Dia aja nggak pernah tinggal serumah dengan El."
Sejak Hendri, sang Ayah, meninggalkannya bertahun-tahun lalu, ia sudah tak pernah seatap dengan laki-laki yang berjasa atas keberadaannya di muka bumi itu. Bahkan, sejak Hendri menikah lagi 3 tahun lalu pun tak ada tanda-tanda ia akan diajak tinggal bersama lagi layaknya sebuah keluarga yang utuh dan bahagia.
Suara di seberang terdengar menghela nafas berat. "El, nurut aja bisa 'kan? Ayah dan Mama mau yang terbaik buat El."
"Yang terbaik buat kalian tanpa mempertimbangkan perasaan El." Elvina mulai bersungut-sungut.
"Kamu selalu bikin Ayah marah. Jangan sekali-kali kamu begini ke Mamamu. Jangan bikin Ayah malu!" suara laki-laki di sambungan telepon meninggi. Membuat Elvina mengernyit.
Beberapa detik tak ada jawaban dari Elvina.
"Ya, El ngerti." Elvina menunduk sedih. Tapi ia tahu Hendri tak akan menghiraukan perasaannya.
"Kamu punya sifat jelek persis seperti ibumu."
Plak!
Elvina seperti merasa ditampar. Ia tak menyangka laki-laki cinta pertamanya akan mengatakan hal menyakitkan. Membawa-bawa nama mendiang ibunya.
"Bukan El yang minta Ayah nikah sama Ibu sehingga lahir anak berperangai jelek seperti El!" Elvina tak kuasa menahan tangis.
Hendri menghardiknya. Ia mendengar suara Hendri semakin meninggi karena amarah. Tapi tak lagi ia dengarkan. Hatinya terlalu sakit.
Ayahnya berubah sejak menikah dengan Silvia. Wanita baru yang hadir dalam keluarga mereka dan dengan terpaksa ia panggil Mama. Ayahnya yang hangat dan sangat dekat dengannya berubah menjadi mudah marah dan lebih membela Silvia. Membangga-banggakan Silvia seolah ia tak pernah bertemu wanita yang lebih baik dari Silvia. Membuatnya muak. Bahkan tak jarang Hendri menjelek-jelekkan ibu kandungnya yang membuat Elvina merasa sangat sedih.
Pernikahan Hendri dan Silvia tak dihadiri satu pun anak Hendri. Bukan mereka tak mau datang, mereka tak diberitahu. Elvina tahu alasannya saat melihat video pernikahan Ayahnya. Dalam video itu, disebutkan bahwa Ayahnya adalah seorang perjaka. Itu sama saja dengan tidak menganggap kehadiran dua orang anak yang lahir dari pernikahan Ayah dan Ibu kandungnya. Mendapati kenyataan itu, Elvina sangat terpukul. Terlebih belakangan ia mengetahui ternyata sebelum mereka menikah, Silvia membuat perjanjian dengan Hendri bahwa setelah menikah Silvia lah yang akan bekerja di luar rumah dan secara tidak langsung memegang kuasa atas rumah tangga mereka.
Elvina masih tidak mengerti soal peran suami istri dalam keluarga ketika itu. Soal ketimpangan rumah tangga Ayahnya yang berakibat secara tidak langsung pada hidupnya. Yang ia tahu, hidupnya tak lagi sama sejak kedua orang tuanya memutuskan berpisah dulu.
***
Sebuah gendung bertingkat dengan desain futuristik tampak mulai ramai meski matahari baru saja menyingsing. Manusia lalu lalang menyelesaikan kesibukan masing-masing. Loby gedung itu sangat luas tapi tidak bisa menampung semua pengunjung yang datang. 10 loket pendaftaran ditambah 5 loket untuk pasien khusus tidak mampu membuat antrian berkurang. Semakin siang jumlah pengunjung semakin banyak. Satu orang dilayani, sepuluh pengunjung baru datang. Aktivitas gedung ini di hari kerja sangat sibuk.
Berbeda dengan sebuah bangunan di ujung belakang kompleks Rumah Sakit yang tampak lengang. Sebuah gedung tak bertingkat dengan d******i warna hijau dan orange itu tampak segar dan asri dengan hiasan taman di depan pintu utamanya. Instalasi Rawat Inap Anak. Begitu tulisan yang tertera di sebuah papan ukiran kayu.
Elvina keluar dari gedung itu begitu menyelesaikan shift 24 jam-nya. Ia hanya punya waktu 1 jam untuk mandi dan sarapan lalu kembali lagi untuk bertugas di Poli Bayi. Sampai di persimpangan, langkahnya berbelok menuju kantin Rumah Sakit. Perutnya meminta jatah.
"Yan, sendirian?" yang disapa tampak terkejut. Dan hanya sepersekian detik berikutnya ekspresi laki-laki yang disapa Elvina itu kembali datar.
"Iya, nih." Ryan menjawab datar. "Habis jaga 24 jam, ya? Ada pasien gawat kah?" sambungnya.
"Nggak ada. Aman," Elvina nyengir. Lalu mereka sibuk dan tenggelam dengan sarapannya masing-masing. "Yan, gue dateng jam 8an yaa. Mau balik dulu. Lengket nih badan 24 jam di RS. Haha,"
"He'em, nggak apa-apa. Manggil pasien nunggu Lo gak?" Ryan menatap Elvina sambil menyesap kopinya yang masih mengepul.
"Serah, sih." Elvina bangkit dari tempat duduknya begitu isi piring dan gelasnya tandas. "Duluan, ya, Yan." Ia berlalu sambil menepuk pundak Ryan.
Laki-laki berwajah datar itu menghela nafas. Di balik sosoknya yang teramat tenang, tampak gurat kesedihan di sana. Ada luka yang bertahun-tahun ia biarkan menganga.
Tak ada yang menyangkal kedekatan Ryan dan Elvina. Bahkan sejak di bangku kuliah dulu. Mulai dari hobi yang serupa dan kecintaan mereka berorganisasi. Sejak keduanya menjabat sebagai ketua dan sekretaris BEM, takdir seperti mendekatkan mereka. Kiprah Ryan sebagai ketua BEM, ditambah otaknya yang cerdas dan wajah ganteng jadi nilai plus yang bikin junior-junior cewek memujanya. Tapi Ryan bergeming. Karena matanya tak pernah menatap pada wanita lain selain wanita yang baru saja meninggalkannya sendiri bersama kepulan asap kopi.
Elvina tidak berubah. Ia selalu meninggalkannya sendiri. Seperti yang ia lakukan tepat setelah pelantikan dokter beberapa tahun silam. Ryan memberanikan diri mengungkapkan perasaannya yang justru bertemu penolakan. Bukan hanya Ryan yang heran, sahabatnya pun terbelalak ketika Ryan menceritakannya. Siapapun yang melihat kedekatan mereka, pasti mengira mereka adalah sepasang kekasih. Tapi ternyata Elvina tak pernah menganggap kedekatan mereka sebagai hubungan yang spesial. Entah apa penyebabnya, Elvina tak pernah mau menjelaskan. Dan Ryan membiarkannya tetap begitu.
Ryan menyesap tegukan terakhirnya kemudian beranjak. Mengenakan jas dokternya yang membalut kemeja hitam dengan kombinasi warna putih di leher dan ujung lengannya. Menambah sekian persen ketampanan dan kegagahan laki-laki itu yang memang sudah nyaris sempurna.
"Yan, Yan. Lo masih nggak bisa move on?" tiba tiba Ken merangkulkan lengannya di pundak Ryan. Entah dari mana laki-laki ini muncul.
"Heh? Maksud Lo?" alis hitam tebal Ryan bertaut.
"Lo kira gua nggak lihat gimana Lo menatap kepergian Elvina? Yan, gue sohib Lo dari jaman preklinik."
"Apaan, sih?!" Ryan menepis tangan Ken di pundaknya.
"Lo nggak pengen nyoba lagi?"
"Nyoba apaan?"
"Nembak dia lagi. Kali aja dia berubah pikiran dan ada rasa sama Lo," Ken menjawab asal sambil berjalan mendahului Ryan. Ryan terdiam beberapa detik, mempertimbangkan usulan Ken.
Bodo ah! Putusnya.
"Eh tunggu, Ken. Lo di bayi juga 'kan?!" Ryan menjejeri langkah Ken. Yang ditanya hanya mengangguk.
Nanti, di waktu yang tepat ia akan mencobanya lagi.