Part 6

1096 Words
"Baru ketemu enggak formal sekali ini doing, Yan. Lo jangan mikir macem-macem. Lagipula 'kan wajar pasien gue akrab ama gue, Yan." Elvina menatap Ryan dalam. Mencoba meyakinkan laki-laki yang jelas-jelas sampai sekarang masih menaruh hati padanya. "Iya, sih. Tapi ketemu berdua begini, bukan di ruang pemeriksaan 'kan kurang enak dilihat, El?" Ryan masih tak mau kalah. Elvina hanya menghela nafas dan memutar bola matanya. Panjang, nih. "Iya, lain kali nggak lagi gue ketemu pasien gue di luar. Tadi juga nggak sengaja. Yuk ah balik. Udah jam segini status pasien masih numpuk." Elvina ingin segera menyudahi percakapannya dengan Ryan yang terasa semakin memanas dan panjang jika diteruskan. Ryan tampak enggan mengikuti Elvina yang mulai melangkah. Tapi akhirnya ia beranjak juga. *** Seorang laki-laki dengan penampilan kasual tampak memasuki sebuah café di tengah kota. Pengunjung café cukup ramai menjelang malam begini, menyisakan beberapa tempat duduk saja. Laki-laki yang kali ini memilih tidak mengenakan kacamatanya mengambil tempat duduk di dekat jendela. Matanya yang tajam sesekali melirik jam di pergelangan tangan. Pintu café terbuka menampilkan sesosok wanita yang ia tunggu-tunggu. Sosok yang tetap mempesona meski hanya dibalut celana jeans dan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai menambah segar wajah yang terbingkai di dalamnya. "Lagi nggak jaga, Dok?" tanya Ivan dengan senyum terkembang begitu Elvina menarik kursi di hadapannya. "Enggak. Ya kali tiap hari jaga 24 jam." Elvina memutar bola matanya, mendengus ringan. Ivan hanya terkekeh pelan. Tiga minggu terakhir mereka semakin dekat. Ivan yang memulai kedekatan mereka. Menghubunginya lewat pesan singkat atau bisa dengan sengaja mendatanginya ke Rumah Sakit. Awalnya Elvina ragu mengingat laki-laki yang kini sudah terbiasa mengisi hari-harinya adalah Ayah dari pasiennya. Tapi kenyamanan yang ia tawarkan sangat menggiurkan. Mudah bagi mereka untuk menjadi sedekat sekarang. Pribadi Ivan yang terbuka dan menyenangkan membuat Elvina tak segan juga ikut membuka diri. Menerima pertemanan yang Ivan tawarkan. Benarkah hanya teman? Soal ini, hati Elvina selalu meronta-ronta. Semakin hari ia semakin terpikat oleh pesona laki-laki itu. Melupakan statusnya sebagai suami orang dan bapak beranak satu. "Kenapa tiba-tiba ngajak ketemu? Biasanya tiba-tiba datang ke RS." Elvina melempar tatapan jahil sambil meneguk Frappe Blend Avocado Coffee-nya yang baru saja datang. "Hehehe. Nggak leluasa kalau di RS." Ivan menjawab asal. "Jadi, kenapa ngajak ketemu di luar?" Elvina bertanya lagi. Sebenarnya ia was-was jika harus bertemu di luar begini. Tentu ia masih ingat bahwa laki-laki berhidung mancung ini adalah suami orang. Ia tidak mau dianggap mengencani laki-laki yang sudah punya buntut meski sekarang pun kelihatannya begitu. Hah, Elvina pusing dengan perasaannya sendiri. "Minggu depan aku ke Jerman." Ivan menjawab datar. Matanya menatap tepat di manik mata Elvina. "Oh ya, ngapain?" mata bulat Elvina semakin membulat. "Hmmmm, ngapain, yaa. Sekolah, sih." Ivan menjawab kikuk. Terlihat jelas ia enggan jujur akan tujuannya ke Jerman. Meski ia tak pandai berbohong. "Wow! S2?" Elvina menatap penuh selidik. "Hmmm, sejenis itu." "S2 apa?" "Ntar deh kalo udah lulus kamu bakal tahu." Elvina merengut tidak suka mendengar jawaban Ivan yang terkesan menutupi sesuatu. "Udah berapa lama sekolah di sana?" "Udah 4 tahun sih. Kalau lancar 2 tahunlagi lulus. Doain, ya." Ivan nyengir. Memamerkan deretan giginya yang rapih. "Lama banget? S2 doang atau double degree?" Elvina mengernyit. "Emang lama, sih. Hahaha" Ivan tertawa cukup keras. Terlihat jelas ada yang ia tutupi. Elvina memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh meski ia sangat penasaran. Ia mencoba menghargai keputusan Ivan untuk tidak memberitahu seluruh hal dalam hidupnya. Toh, mereka bukan apa-apa apalagi siapa-siapa. "Flight-ku hari Selasa jam 15.00. Kamu bisa dateng?" Elvina tersedak mendengar pertanyaan Ivan yang sama sekali tidak ia sangka. "Dateng ke mana?" "Haha, ya dateng ke bandara, lah. Ke mana lagi? Itung-itung salam perpisahan karena mungkin sekitar 6 bulan sampai 1 tahun aku baru pulang lagi ke Indo." "Hmmmmm," Elvina menimbang-nimbang. "Senin, deh, kukabari." Jawabnya masih ragu. Sebenarnya ia ingin bertanya apakah Jihan ikut, tapi segera ia urungkan. Elvina membohongi dan menipu hatinya bahwa ia sadar betul ia sedang berada dalam hubungan yang lebih dari sekedar teman dengan suami orang. Tapi ia sudah terlanjur nyaman dengan kehadiran Ivan di kehidupannya. Dosakah? Ah! Ya jelas dosa, lah! Pake tanya lagi! Elvina merutuki hatinya. *** Perpustakaan rumah sakit tampak lengang. Sudah mendekati jam pulang kerja. Hanya ada beberapa orang yang masih sibuk dengan notebook dan buku-buku. Elvina menutup notebooknya. Menggerakkan badannya sejenak, peregangan. Tugasnya sudah selesai. Ia menghampiri Diana yang duduk tak jauh dari mejanya. "Di, Lo udah selesai?" "Hmm-mm," gestur tubuh Diana mengisyaratkan ia tak mau diganggu. Jemarinya masih mengetik cepat, sementara dua bola matanya fokus menatap layar notebook sesekali berpindah ke buku tebal di sampingnya. "Pulang ini mau ke tempat gue gak? Gue bikin brownies tadi pagi." Elvina nyengir, tidak mengindahkan 'penolakan' Diana. "Kenapa, nih? Lo pasti ada apa-apanya deh." Mata Diana masih tak lepas dari layar notebook. "Hehe. Tau aja Lo. Belum kelar, ya?" Elvina mengintip layar notebook Diana. "Dikit lagi." "Ya udah gue tungguin." Elvina menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi yang berbantal. Lega rasanya. Langit sudah berwarna jingga ketika Elvina dan Diana berjalan beriringan keluar dari Rumah Sakit. Tas ransel berisi notebook dan beberapa buku tebal menambah lelah tampang mereka. Kos tempat Elvina tinggal hanya berjarak sekitar 200 meter dari Rumah Sakit tempat mereka mengenyam pendidikan dokter spesialis. Elvina memang tidak tinggal di apartment seperti beberapa temannya, terlalu mahal untuk kantongnya. "Mana browniesnya?" tanya Diana begitu ia merebahkan badan di kasur kos Elvina. "Sabar, sih." Elvina mengeluar kotak makanan berisi brownies coklat yang sudah ia makan seperempatnya. "Nih!" Diana segera menyuap brownies buatan Elvina yang memang sangat disukainya itu. "Lo sempet banget bikin kue, El. Gue tidur aja kurang." "Kalo bikin kue gue ngerasa enjoy, Di. Makanya gue suka." Elvina merebahkan diri di samping Diana. Elvina bukan orang yang mudah dekat dengan orang lain. Ia sulit menjalin persahabatan dengan orang lain karena sifatnya yang introvert dan sedikit cuek. Tapi dengan Diana, ia merasa nyaman. Diana seperti selalu mengerti dirinya. Meski kedekatan mereka sudah tidak seperti remaja yang ke mana-mana berdua, chatting gak jelas meski seharian sudah ketemu, atau haha hihi di tempat umum kayak dunia cuma mereka yang menempati. "Jadi, ada apa Lo ngundang gue ke mari?" Diana tengkurap sambil mengangkat kepalanya menatap Elvina. "Hmmm, gue bingung, Di." raut muka Elvina berubah drastis. "Trus?" "Lo pernah gak, hmmmm, suka sama su- eh, pasien Lo?" Elvina menatap wajah Diana lekat. Mengamati perubahan ekspresi sahabatnya akibat pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. "Hah?! Lo suka sama siapa, El?" Diana duduk seketika. Matanya terbelalak. "Bukan suka, sih. Ngerasa nyaman aja kalo sama dia, kalo ngobrol nyambung, orangnya juga baik." Elvina ikutan duduk. Jemarinya mencubit pinggiran bantal di pangkuannya. Gelisah. "Siapa, El? Siapa?!" Diana mengguncang bahu Elvina tidak sabar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD