Wanita hampir kepala tiga itu berlari sepanjang lobby bandara. Sepatu kets-nya berdecit saat ia menghentikan langkahnya mendadak. Nafasnya tersengal, sorot matanya panik melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Pukul 10.45!
Ayolah cepat! Batinnya menggerutu. Kepalanya celingukan mencari celah untuk menyelinap di antara gerombolan manusia yang memenuhi lobby bandara. Jadwal penerbangannya pukul 11.20!
Hari ini adalah hari bersejarah baginya. Ia akan terbang bersama beberapa rekan sejawat dokter untuk menghadiri sebuah simposium di Berlin dan jurnalnya terpilih untuk dipresentasikan di depan ratusan dokter spesialis anak seluruh dunia! Tapi sial, wanita awet jomblo itu justru merusak momen berharganya dengan bangun kesiangan.
Ia berlari gesit menuju rekan-rekannya begitu selesai melakukan check-in.
“Begini ini kalo hidup sendiri alias jomblo, bangun kesiangan mulu.” ejek Diana yang juga ikut dalam rombongan. Segera ia balas dengan tatapan setajam silet. Diana hanya tergelak melihat reaksi sahabatnya.
“Yuk lah kita masuk, 30 menit lagi nih.” Seorang pria hampir setengah abad yang mereka segani itu berjalan mendahului. Membuat lima orang lainnya yang jelas tampak lebih muda mengekor di belakangnya termasuk Elvina.
Lorong menuju pintu pesawat hening. Elvina sedang menghemat tenaga karena energi dari sarapannya sudah ia habiskan untuk berlari dari pintu masuk bandara hingga ke ruang tunggu. Tiba-tiba ekor matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal. Bahkan ia mengenal dengan baik caranya berjalan. Ia menoleh seketika. Hatinya berdegub sangat kencang.
Di sana, di lorong yang mengarah ke pintu masuk kru pesawat tampak sesosok pria mengenakan seragam pilot yang amat ia kenal. Tapi ia ragu, wajahnya hanya tampak sebagian. Ia membelakangi pandangan Elvina. Hatinya masih berdegub sangat kencang.
Ah, mana mungkin! Dia kan bukan pilot! Geletar yang menjalari hatinya seketika berhenti. Ia kembali memijak alam sadarnya.
“Kenapa, El?” Diana menyadari tingkah Elvina.
“Ah enggak,” Elvina mengelak. Ia menjajari langkah Diana yang lebih dulu berlalu. Sementara di lorong seberang, lelaki berseragam pilot itu mencari-cari sosok yang sempat menarik perhatiannya tadi. Ia menatap lorong di seberang yang mengarah ke pintu penumpang. Tidak lama karena seorang seniornya segera menyadarkannya. Namun, sekilas ia masih mencari dengan ekor matanya.
Hampir dua tahun berlalu sejak terakhir kali Elvina mengantar kepergian Ivan di bandara yang sama saat kini ia akan bertolak ke Berlin. Awalnya sesekali Ivan masih menghubunginya, tapi hampir setahun belakangan sudah tak ada kabar. Elvina pun menyadari bahwa sikap yang diambil Ivan benar. Maka ia tak ambil pusing ketika Ivan tak lagi menghubunginya. Terlebih ia mulai disibukkan dengan penelitiannya.
Hari ini, kenangan dan rasa yang telah lama ia kubur justru dibangkitkan hanya oleh sebuah pemantik kecil. Sesosok mirip Ivan yang tadi menarik perhatiannya. Yang bahkan dari jarak beberapa meter, kemiripan sosok itu mampu membuat jantungnya berdegub kencang. Rasa itu belum benar-benar hilang dari hatinya. Hanya tertidur pulas.
Hampir seluruh penumpang pesawat sudah menemukan tempat duduk mereka, termasuk tim Elvina yang memesan tempat duduk berdekatan. Elvina memilih bertukar tempat dengan Diana yang duduk di di sebelah jendela. Matanya menerawang ke kejauhan.
Ah Berlin. Jerman. Elvina menghela nafas.
Sekelebat sosok Ivan membayanginya. Tapi cepat-cepat ia tepis. Sudah terlalu tak ada kabar. Apa lagi yang diharap? Lagipula hubungan mereka bukan hubungan yang sehat.
“Lo masih keinget Ivan ya, El?” tiba-tiba Diana nyeletuk. Sahabatnya itu sedang membaca materi presentasi di notebooknya.
“Eh? Hmm,”
“Dia kuliah di Jerman ‘kan?”
Elvina mengangguk.
“Lo nggak tau tepatnya di mana?”
Kali ini Elvina menggeleng. Hening. Diana tak lagi membuka suara. Suara merdu pramugari yang menginformasikan bahwa pesawat akan segera take off membuat keduanya sibuk menyiapkan diri.
“Kalo ternyata di Berlin nanti ketemu gimana?” pertanyaan Diana sontak membuat Elvina menoleh.
“Jerman nggak Berlin doang, Di. Kemungkinan ketemu sangat kecil.” Elvina memilih jawaban paling rasional meski otaknya mulai menghitung kemungkinannya bisa bertemu dengan Ivan.
“Bisa aja ‘kan ketemu?” wanita berjilbab biru langit itu memandang Elvina dalam. Tampak kekhawatiran yang nyata dalam sorot matanya.
“Semoga aja nggak ketemu.” Elvina menunduk. Mengambil notebooknya. Memilih melakukan hal yang sama dengan Diana.
“Hmm, ya sudah.”
Hampir 20 jam perjalanan mereka tak banyak bicara. Masing-masing menyiapkan bahan presentasi untuk simposium nanti. Meski Elvina tampak serius mencoret-coret catatannya atau mengetik sesuatu di notebook-nya, pikirannya tetap menimbang-nimbang kemungkinan bertemu Ivan. Entah, ada ingin namun juga tak ingin.
***
Tegel Airport, Berlin, Germany. 23.40
Malam sudah sangat larut, langit Berlin pun sudah gelap pekat. Tapi hiruk pikuk di Bandara Internasional ini tak jauh beda dengan saat siang hari. Ratusan atau mungkin ribuan orang lalu lalang. Ada yang datang, pergi, atau sekedar mengantar dan menjemput.
Seorang pilot muda berjalan cepat begitu mendapatkan barang-barangnya. Tangan kirinya menarik sebuah koper tanggung sementara tangan kanannya mendekatkan ponsel ke telinga.
“Van, gue nginep di tempat lo ya? Males tidur di hotel.” Ujarnya begitu terdengar suara dari seberang.
“Hahaha, iya iya. Assalamu’alaikum,”
“Hehe, nggak apa-apa lah. Di hotel sendiri, sih. Lusa gue terbang lagi. Dua hari doang, ya?” suaranya terdengar merajuk. Entah apa ucapan orang di seberang telepon.
“Nggak perlu jemput, kok. Gue naik taksi. Eh btw, kayaknya gue liat gebetan lo, deh. Tadi satu flight sama gue.”
“Hahahaha, sorry sorry. Ya udah, gue ke sana. Siapin makanan! Hahaha”
Di sudut lain Tegel Airport, Elvina dan rombongannya bergegas mengikuti soerang pria hampir paruh baya berwajah campuran Asia-Eropa. Ia terlihat akrab mengobrol dengan Prof Dito. Mereka berjalan cepat menuju sebuah mobil. Terhitung sejak kedatangan mereka di Berlin, waktu istirahat yang mereka miliki hanya empat sampai lima jam sebelum acara simposium. Maka, tak satupun dari mereka yang menyia-nyiakan waktu, hotel yang sudah jauh hari mereka pesan kini adalah tujuan utama.
***
Magdeburg, Germany.
Ivan menggenggam ponselnya kuat. Ia tak menyangka apa yang disampaikan si penelepon. Sudah hampir dua tahun berlalu. Tapi bayangan wajahnya, suaranya, seolah tak pernah pudar dalam ingatan Ivan. Sekuat tenaga Ivan melupakan sosok wanita itu. Tapi kini, keteguhannya seolah digoda.
Kantuk yang beberapa menit lalu sempat menguasainya kini telah sepenuhnya sirna. Ia mondar mandir di apartemen yang tidak seberapa luas itu. Jemarinya memijit pelipis. Ada rindu tapi juga takut.
Masih teringat beberapa bulan pertama setelah ia meninggalkan Indonesia, Ivan gencar mengirimi Elvina pesan. Ia tidak ingin kehilangan kontak dengan wanita itu. Wanita yang sudah mencuri separuh hatinya. Tapi kini semuanya sudah berubah. Ada yang harus Ivan perjuangkan dan pegang teguh sebelum tiba waktu yang tepat untuk bertemu lagi dengan wanita itu. Tapi, begitu mendengar saat ini Elvina ada di Berlin, ia tak bisa menutupi rindu yang telah lama hampir buncah. Ivan terduduk, menangkupkan kedua tangan ke wajah. Ia sungguh ingin bertemu.