Part 8

1135 Words
"Mau gue temenin, El?" Ryan menyentuh pundak Elvina yang berdiri kaku. Matanya nanar menatap bayi yang baru beberapa saat lalu lahir kini tergolek tak bernyawa. Bayi ini sudah tak bernyawa sejak dari dalam kandungan, tapi tetap saja untuk menyampaikan berita duka itu sangat berat. Terlebih berita duka ini akan disampaikan kepada ibu yang baru saja berjuang melahirkan anak yang ditunggu-tunggu selama 9 bulan. Elvina berbalik. Menatap Ryan dengan air mata yang nyaris jatuh. Ia mengangguk samar. Dengan sigap Ryan menggenggam jemari Elvina, membawanya melewati lorong yang sepi ke kamar bersalin. Tempat ibu si bayi memulihkan diri. "Mbak, bed Bu Mariya di mana, ya?" Ryan bertanya begitu sampai ke midwife station kamar bersalin. "Di bed nomer 2, Dok." Seorang bidan muda menjawab sambil tersenyum. "Makasih," Ryan tersenyum kemudian berlalu. "Gue yang nyampein atau lo mau nyampein sendiri?" Ryan berbisik sebelum beberapa langkah lagi sampai ke bed pasien. "Hmm, gue aja nggak apa-apa." Elvina tersenyum. Ini adalah salah satu tugasnya, ia tak mungkin mengandalkan orang lain hanya karena emosinya saja. "Lo yakin?" "Iya," Elvina masih tersenyum. Air matanya sudah hilang sama sekali. Mereka berdiri di samping bed pasien. Bu Mariya baru selesai dirapikan setelah dilakukan pemasangan kateter atau selang kencing. "Permisi, nama ibu siapa?" Elvina memulai dengan prosedur paten sebelum melakukan tindakan atau menyampaikan informasi ke pasien. Menanyakan nama dan nomor identitas pasien. "Bu Mariya. Kenapa, Dok?" Wanita 30an tahun itu meringis saat memperbaiki posisi tidurnya. Bekas jahitan di jalan lahirnya terasa nyeri. "Hm, kami dokter anak yang menangani bayi ibu tadi. Begini bu," Elvina memotong kalimatnya. Ia menggigit bibirnya pelan. Hatinya benar-benar hancur. "Bayi ibu sudah meninggal sejak di dalam kandungan, jadi mohon maaf. Bayi ibu memang sudah meninggal sejak di dalam kandungan. Jadi, tidak ada yang bisa kami lakukan." Elvina tahu kata-katanya berantakan. Ia bingung. Ia benci menyampaikan berita duka begini. Bu Mariya hanya menatap dua dokter residen yang berdiri gelisah di samping bednya itu. Tak ada ekspresi apapun. Tapi air mata yang mengalir dari sudut matanya cukup menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini. Elvina dan Ryan diam mematung, mereka menunggu reaksi verbal dari pasien yang berbaring lemah itu. "Ya sudah, Dok. Terima kasih." Bu Mariya menyeka ujung matanya. Sinar matanya tampak sangat terpukul, tapi bibirnya tersenyum. Elvina sudah siap menerima reaksi denial seperti memberontak, menjerit histeris, dan sebagainya. Tapi reaksi Bu Mariya ini justru membuat hatinya semakin mencelos. Bu Mariya datang ke IGD Rumah Sakit dalam kondisi kejang. Tekanan darahnya meninggi sejak kehamilan 6 bulan. Ia sudah dirujuk untuk memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan di Rumah Sakit, namun karena keterbatasan dana untuk akses ke Rumah Sakit ia memilih tetap di rumah dan sesekali memeriksakan kandungannya ke bidan terdekat. Tak disangka, menjelang tanggal perkiraan persalinanya ia kejang. Keluarganya yang kurang mendapat edukas akhirnya hanya bisa panik dan bingung, mereka tidak segera membawa Bu Mariya ke tenaga kesehatan. Beruntung kejang mereda, namun selang beberapa menit kemudian kejang terulang kembali yang akhirnya membuat mereka sampai ke Rumah Sakit ini. Segala cara diupayakan untuk menyelamatkan kedua nyawa. Tapi sayang, nyawa si bayi sudah tidak dapat diselamatkan. Karena bayi yang dikandung Bu Mariya telah kehilangan nyawanya sejak kejang yang pertama. Elvina dan Ryan berlalu setelah berpamitan pada Bu Mariya. Ia menggenggam jemari Ryan erat. Ada hangat yang menjalar. "Lo harus kuat, El." Ryan membalas genggaman Elvina. "Sedih banget, Yan. Seandainya ibu atau keluarganya mau berkorban sedikit saja buat periksa ke sini waktu hamil kan bisa ditangani dari awal. Gak bakal begini," "Tapi gak semua pasien punya duit yang cukup buat periksa ke Rumah Sakit, El." "Kan sudah ada asuransi kesehatan, Yan?!" Elvina merengut. "Bukan soal biaya Rumah Sakit, El. Buat bayar transport itu yang seringkali memberatkan mereka. Belum lagi ibu hamil kan butuh lebih dari sekali kontrol." Elvina tercenung. Ya, di negara kita ini soal ekonomi seringkali menjadi hambatan terbesar seseorang memperoleh kesehatan dan kesejahteraan. Pelayanan kesehatan yang tidak merata, membuat sebagian daerah memiliki akses yang terlalu jauh dan sulit ke fasilitas pelayanan kesehatan. Akhirnya tak sedikit kasus kematian justru dikarenakan terlambatnya penanganan. "El, gue tadi liat lo di bandara." Suara Ryan membuyarkan lamunannya. Sontak Elvina menoleh. "Eh? Gimana?" "Lo ngapain ke bandara?" Ryan bertanya penuh selidik. Menghindari tatapan tajam Ryan, Elvina pura-pura sibuk dengan notebooknya. Gemas tidak segera mendapat jawaban, Ryan meninggikan suaranya. "Gue tanya lo, El." "Eh, i-iya." Elvina jadi salah tingkah. *** Sehari sebelumnya. Elvina terengah-engah setelah berlari menyibak kerumunan manusia. Matanya nyalang mencari Ivan. "Hei, ngapain sampe lari-lari?" Ivan menepuk pundak Elvina lembut. "Hah, kirain telat." Elvina menghela nafas lega. "Sini, duduk dulu." Mereka duduk di deretan kursi yang hampir penuh. Begitu menghempaskan diri, Elvina baru sadar bahwa Ivan tak sendiri. Tentu, dengan siapa lagi kalau bukan Jihan. Jihan tampak semakin cantik, di gendongannya baby Daniel tidur cukup pulas. "Kok sempat ke bandara, Dok? Lagi nggak bertugas, ya?" suara Jihan seperti belati yang menusuk jantungnya. "Eh, tugas kok. Selesai tugas di klinik langsung ke sini. Habis ini jaga ruangan." Apa ini? Kenapa terasa seperti sedang tertangkap basah selingkuh?! "Ooooh," Jihan hanya ber-oh panjang lalu menatap baby Daniel di gendongannya. Wajahnya tersenyum, cantik sekali. "Kirain lagi nggak jaga ruangan. Maaf, ya, minta kamu ke sini segala." Ivan tampak sedikit merasa bersalah. "Nggak apa-apa, kok. Toh habis ini bakal lama nggak kamu repotin. Hahaha" "Oh, jadi aku cuma ngerepotin?" Ivan menaikkan sebelah alisnya. "Hahaha," Elvina salah tingkah. "El, kira-kira kamu bakal kangen aku nggak?" What?! Elvina menegakkan punggungnya. Ia tak mempercayai pendengarannya. Bisa-bisanya Ivan bertanya seperti itu sementara ada Jihan di sebelahnya. "Kalo Ivan mah pasti kangen, hihi" Jihan nyeletuk sambil terkekeh pelan yang segera dibalas tinju lembut di bahunya oleh Ivan. Elvina terbelalak. Ia heran dengan reaksi Jihan. Bukankah Jihan istri Ivan? Bagaimana dia bisa tidak cemburu dengan ucapan suaminya? "Hmmm, gak tau, sih. Kan belum dijalanin." Akhirnya ia memilih jawaban abu-abu. "Yah, kasian, deh." Jihan mencibir ke arah Ivan. Elvina semakin bingung dengan tingkah mereka. "Ya udah, nggak apa-apa. Nanti aku buat kamu kangen, hahaha." Tak ada jawaban. Ia hanya memperhatikan Ivan yang semakin tampan ketika tertawa lepas. Tiba-tiba ia teringat harus segera kembali ke Rumah Sakit. "Hmm, Van. Aku nggak bisa lama-lama. Nggak apa-apa, ya?" "Udah mau balik, Dok?" Jihan bertanya. "Iya, nih. Udah harus ke ruangan," pandangannya beralih ke Ivan. "Kamu hati-hati, ya. Semoga lancar studinya." Elvina memamerkan senyum termanisnya yang dibalas Ivan dengan anggukan. "He'em, makasih udah nyempetin dateng." Ivan tersenyum lembut. Elvina berdiri, diikuti Ivan dan Jihan. "Aku pamit, ya." Sebelum beranjak, Elvina menyempatkan diri mencium pipi gembil baby Daniel. Tentu sebelumnya sudah izin mamanya. "Eh, tunggu, El." Suara Ivan membuatnya berbalik. Tanpa aba-aba Ivan merengkuh tubuh Elvina. Memeluknya erat. Hanya beberapa detik. Tapi cukup membuat aliran darah Elvina berkumpul di wajahnya yang membuatnya tampak merah merona. "Jaga diri baik-baik." Kata Ivan sambil tersenyum begitu melepas pelukannya. Tak ada yang menyadari, dari kejauhan sepasang mata menatap tajam adegan berpelukan Ivan dan Elvina yang super mendadak itu. Sepasang mata itu milik Ryan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD