Bab 5. Hari Pernikahan

1190 Words
“Cantik sekali anak ibu,” puji seorang wanita paruh baya sambil menatap Binar haru. Binar tersenyum, namun meringis dalam hati. “Semoga ibu nggak terlalu kecewa saat nanti aku bercerai dari pak Bima.” Binar memang tampak memesona dalam balutan gaun pernikahan yang indah. Model off shoulder menampilkan garis bahunya yang menawan. Rambut hitam panjangnya hari ini sengaja disanggul, selain memberikan kesan elegan dan anggun juga membiarkan leher jenjangnya terekspos. Lihatlah, bahkan Bima tak mampu mengedipkan matanya ketika mereka berdansa. “Jangan dilihatin begitu,” tegur Binar malu. “Kamu cantik,” pujinya datar. “Cantik banget.” Binar mendongak. Ia pikir, ia akan mendapati wajah Bima yang merona. Tapi tentu saja tidak, yang ia dapatkan adalah wajah tampan Bima yang tetap berekspresi datar. Maka ia mencebik. “Mukamu datar banget gitu.” “Memangnya harus berekspresi gimana?” Bima merengkuh lebih dekat tubuh Binar, menarik pinggangnya. Gerakannya halus dan pelan hingga Binar tak sadar tubuh mereka sudah merapat. “Minimal senyum gitu,” ucap Binar sembari tetap fokus berdansa. Pasalnya ia baru belajar berdansa seminggu terakhir. Ia baru tahu kalau di resepsi pernikahan orang kaya akan ada sesi berdansa begini. Sudut bibir Bima terangkat. Namun bukannya senyuman, malah lebih mirip sebuah seringai. “Pfft!” Binar nyaris meledakkan tawa melihat ekspresi Bima. “Kamu ketawa?” Bima merengut. “Makanya belajar senyum, biar nggak nyeremin gitu kalau senyum.” Bima mendengus, namun tetap mempertahankan gerakan dansanya senada dengan gerakan Binar yang patah-patah. Puluhan pasang mata para undangan menatap dua sejoli itu. Mereka tak ubahnya pasangan pangeran dan putri. Bima dengan tubuh tinggi tegapnya yang menawan, bergerak elegan mengimbangi gerakan Binar yang patah-patah namun tersamarkan begitu anggun dalam balutan gaun putih gading yang indah. Tak ada yang tahu bahwa pernikahan yang digelar secara private ini hanyalah sebuah pernikahan kontrak. Setelah Binar tahu dirinya tidak hamil atau jika kelak ia sudah melahirkan benih bosnya, mungkin keduanya akan kembali menjadi orang asing. Atau tidak? Entahlah, tergantung diri mereka. Ratna mendengus, memalingkan wajah dari pemandangan putranya yang sedang berdansa dengan sang menantu. “Apa bagusnya sih dia?” gerutunya kesal. “Udah dong, Ma. Sekarang semua orang lagi seneng, Mama jangan cemberut terus dong,” tegur Mala sambil menikmati kudapan. “Oh ya, Mama emang sengaja nggak ngundang kak Alin atau gimana?” Mendengar nama Alin disebut, wajah Ratna langsung berubah cerah. “Iya, memang sengaja. Lagi pula dia lagi di Paris, ada pagelaran fashion di sana sampai minggu depan.” Mala mengangguk-angguk mengerti. “Coba aja kalau Alin yang jadi menantu Mama, Mama nggak akan nyuruh kakakmu merahasiakan pernikahannya.” Ratna masih menggerutu. Berbagai hidangan lezat di hadapannya tak tersentuh. “Untung aja papa setuju sama rencana Mama itu, kalau enggak kan bisa gagal total,” timpal Mala dengan mata membulat. Ratna menyeringai. “Mama sudah mempertimbangkan itu dengan matang, Mala. Bagi papamu, kelancaran bisnis itu nomor satu. Sisanya ada di nomor dua sampai sekian. Jadi kalau ada sesuatu yang berpotensi mengganggu kelancaran bisnis, papamu pasti dengan senang hati mengeliminasinya.” Ia terkekeh senang. Mala terkejut, namun ikut menyeringai. Ekor matanya melirik Binar sinis, lantas ia membuang muka. “Enak aja mau jadi istri kak Bima,” gerutunya tak suka. Sementara itu di meja lain, Hana dan Januar duduk bersisian. “Han, lo bawa kaca nggak?” tanya Janu pada Hana. “Bawa, kenapa?” “Bawa oil control film juga nggak?” “Bawa deh kayaknya. Bentar aku cek dulu.” Hana mengaduk tasnya selama beberapa saat. Kemudian mengeluarkan dua benda yang dimaksud Janu. “Nih, buat apa sih?” “Lo nggak lihat muka gue udah kayak kilang minyak gini?” Januar menunjuk wajahnya sendiri. Meski hari ini Januar memilih memakai setelan jas lengkap, tapi tetap saja gayanya terlihat gemulai. Ia mulai membersihkan minyak-minyak di wajahnya. Berkaca dengan gaya centil. Hana tertawa. “Gaya kamu lebih centil dari cewek-cewek deh.” “Bodo amat,” sahut Januar tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Hana pun menghentikan tawanya, menatap Binar dan Bima yang masih berdansa. “Lihat deh, Binar cantik banget ya?” lirihnya, menyenggol lengan Janu pelan. Januar mengikuti arah pandang Hana, matanya terpaku pada sosok Binar yang tampak bak seorang putri. Rahang Janu mengetat, sorot matanya terluka. “Iya,” jawabnya pendek. “Siapa sangka dia malah nikah sama mantannya.” Hana tertawa lagi. Januar mendengus. “Gue malah kasihan sama Bima, kayaknya malam pertama nanti dia bakal diterkam sama si binal itu.” Wajah sendunya sudah berubah tengil kembali. “Gara-gara dia bilang suka yang asli itu, ya?” “He’eh, lihat aja. Kuat-kuat deh lo, Bim,” kata Janu seolah bicara pada Bima. “Kalau kamu gimana? Kapan nyusul nikah? Bukannya dari dulu kamu sering dijodohin sama mama kamu?” Hana beralih ke topik baru setelah selesai tertawa. Januar menutup cermin di tangannya dengan gerakan dramatis. Matanya memutar, jengah. “Itulah alasan gue sewa apart sendiri dan kerja di TravelYuk!. Lo kira gue tahan dijodoh-jodohin terus? Enggak, Han. Gue muak. Makanya gue kabur.” Tawa Hana kembali berderai. Ia selalu suka mengobrol dengan Januar, lucu dan menyenangkan. “Emang kamu suka tipe yang gimana, Jan?” tanya Hana lagi. “Yang kayak Bima.” Januar menyahut santai, tatapannya kembali terpaku pada sosok dua sejoli itu. Beberapa pasangan mulai ikut berdansa di sekitar mereka. “Hah?!” Hana terbelalak. “Yang kayak Bima gimana maksud kamu?” “Ya yang kayak Bima. Tinggi, badannya bagus, ganteng, banyak duit. Lo punya temen yang kayak gitu nggak?” “Kamu suka cowok, Januar?!” Hana memekik tak percaya. Januar mengedikkan bahu, tak peduli. Tanpa Hana tahu bahwa tatapan Janu bukan terpaku pada sosok Bima yang memang malam ini amat memesona. Namun pada wanita di sebelahnya yang tersenyum cerah. Ia bisa melakukan apapun agar tetap dekat dengan Binar. Menjadi banci agar Binar tidak jengah dengan dirinya yang selalu menempel pada Binar, sudah. Bekerja jadi karyawan di perusahaan yang sama dengan Binar, sudah. Padahal ayahnya seorang CEO perusahaan kontraktor. Ia bisa dengan mudah menjadi manajer di perusahaan ayahnya, tapi ia memilih untuk bekerja di TravelYuk! —sebuah perusahaan yang baru dirintis. Hanya agar bisa tetap dekat dengan Binar. Dan kali ini pura-pura menjadi gay? Ia juga bisa. Asal ia bisa tetap dekat dengan Binar. *** Januar melepas jas dan kemejanya. Pukul sepuluh malam ia baru tiba di apartemennya. Tubuhnya lelah dan gerah, ia ingin mandi. Selesai mandi, Januar yang masih bertelanjang d**a tampak berdiri di depan cermin. Ia mengamati wajahnya, lantas turun ke tubuhnya yang padat berkat latihan gym bertahun-tahun. Pria itu tersenyum getir, menyugar rambutnya dengan gaya maskulin. Tidak ada lagi si Jeni, kedoknya saat bersama dengan Binar. “Bertahun-tahun gue berusaha memenuhi ekspektasi tipe ideal lo, Bin, tapi apa? Gue tetep kalah sama cowok yang baru datang di hidup lo,” lirihnya pilu. “Apa kurangnya gue, Bin? Gue cakep, nggak kalah sama mantan-mantan lo. Badan gue juga bagus, lo suka kan cowok yang punya badan bagus gini? Tapi kenapa lo nggak pernah ngelihat gue?” Januar menatap pantulan dirinya di cermin, ia yakin tak ada yang kurang dari dirinya untuk menjadi kekasih Binar. Tapi kenapa itu tak pernah terjadi? Januar menggeram kesal, nyaris meninju cermin di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD