Bab 3. Syarat Dari Ratna

1473 Words
“Besok Bima akan membawa calon istri Bima ke rumah,” ucap Bima mantap sambil menatap kedua orang tuanya. Sepanjang hari ini ia tak sabar untuk memberitahukan berita itu pada orang tuanya. Pagi tadi, akhirnya Binar setuju untuk menjadi istrinya. “Kamu sudah punya calon istri? Siapa? Kok Mama nggak tahu?” Ratna, mama Bima itu berseru marah —merasa tak dihargai. “Binar Danastri, sekretaris Bima di kantor.” “Apa?!” Ratna berseru lagi, kali ini semakin marah. “Kamu ya, Mama kenalin ke Alin yang calon designer sukses malah memilih karyawan kamu sendiri?” Bima tak menggubris. Ia hanya menatap papanya yang masih diam. “Papa ada waktu besok?” Satria Abimanyu, papa Bima itu mengangguk. “Bawa saja ke sini, sekalian makan malam,” sahutnya santai. “Mas, yang bener aja dong! Masa kamu mau menerima perempuan yang nggak jelas asal-usulnya buat jadi menantu? Mau ditaruh mana muka kita, Mas?” Ratna langsung protes, tak terima. “Kamu meragukan penilaian Bima? Anak kamu sendiri?” tanya Satria dingin. Ratna mengernyit bingung. “Apa maksudnya?” “Siapapun perempuan yang dikenalkan oleh anakku sebagai calon istrinya, berarti perempuan itu yang telah dia pilih. Aku percaya dengan penilaian dan pilihan anakku. Jadi aku tidak peduli siapapun perempuan itu, bagaimana asal-usulnya, Bima pasti tahu yang terbaik untuk dirinya,” jelas Satria diplomatis. Ratna menggeram. “Mama nggak setuju, Bima! Kamu lebih cocok dengan Alin!” “Terserah Mama. Yang pasti, saat besok Bima mengenalkan Binar secara resmi sebagai calon istri Bima, sebaiknya Mama menjaga sikap. Perlakukan dia dengan baik,” tandas Bima tegas. Ratna menelan ludah. Satria dan Bima memiliki kemiripan yang khas, yaitu ketegasan dan rasa percaya diri yang tinggi. Ia selalu kalah di hadapan dua pria di hidupnya itu. Tapi kali ini, Ratna takkan menyerah. Keluarga konglomerat seperti mereka tak boleh memiliki menantu orang sembarangan. Karena itu, ia harus mencari sekutu untuk menggagalkan rencana putra sulungnya. Maka usai obrolan itu, Ratna langsung menelpon putri bungsunya yang sedang berpesta dengan teman-temannya di luar. “Mala? Kamu di mana, Nak?” sapanya saat teleponnya tersambung. “Masih di rumah temenku, Ma, kenapa?” Suara ingar bingar musik menyamarkan suara Mala. “Kamu bisa pulang sekarang? Mama butuh bicara sama kamu.” “Nggak bisa, Ma. Ini acaranya baru mulai loh. Masa aku udah disuruh pulang aja? Aku kan bukan anak kecil, Ma.” Ratna berdecak kesal. Putri bungsunya itu memang suka pesta, ratu pesta. Jadi tak mungkin Mala mau disuruh pulang jam segini. “Ya sudah kalau gitu kamu menjauh sebentar dari sana, Mama mau bicara.” “Mala denger kok, Mama bicara aja.” “Kakakmu mau menikah,” ucap Ratna kemudian. “Apa?!” Mala berseru nyaring, membuat Ratna menjauhkan ponselnya sejenak. “Sudah Mama bilang, kamu menjauh dulu dari sana.” “Oke, sebentar.” Suara musik di ujung telepon terdengar semakin lemah. Pertanda bahwa Mala benar-benar menuruti keinginan mamanya. “Gimana, Ma?” “Kakakmu mau menikah.” Ratna mengulangi kalimatnya. “Bagus dong. Sama kak Alin kan?” “Bukan. Sama karyawan kakakmu di kantor.” “Hah?! Kok bisa?!” Lagi-lagi Ratna menjauhkan ponselnya. Telinganya berdenging mendengar teriakan putrinya. “Makanya kamu harus pulang, kita susun rencana gimana caranya supaya kakakmu nggak jadi nikah sama karyawannya itu. Mama nggak sudi punya menantu perempuan nggak jelas, Mala.” “Memangnya papa setuju?” “Papamu setuju siapapun yang dibawa Bima besok.” “Besok?!” Mala kembali memekik nyaring. “Astaga, Mala! Berhenti teriak-teriak dan cepat pulang! Bantu Mama mikir gimana caranya menggagalkan pernikahan kakakmu ini.” “Oke, oke. Mala pulang bentar lagi, Ma. Jam sebelas Mala pulang.” “Jam sebelas itu terlalu larut, Mala. Pulang sekarang!” bentak Ratna kesal. Putri bungsunya itu susah sekali diatur. Mala terkekeh mendengar bentakan mamanya. Kemudian ia berkata manis. “Oke, Mamaku sayang. Sebentar lagi Mala pulang.” *** “Kamu cantik,” puji Bima datar. Binar menghela nafas pelan lalu masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh Bima. Pria itu berjalan memutari mobil, kemudian masuk dan duduk di kursi kemudi. “Kalau mau muji tuh agak usaha dikit dong. Senyum kek atau gimana, muka kamu datar banget,” protes Binar kemudian. “Tapi kamu beneran cantik, Binar. Gaunnya cocok buat kamu.” “Oh, kamu cuma mau muji gaun yang kamu belikan ini? Dasar nggak ikhlas!” Bima diam, sudah mulai fokus menyetir. Lima belas menit berlalu, mobil berwarna merah itu telah jauh meninggalkan apartemen Binar. Dan selama lima belas menit itu pula, hanya hening yang mengungkung mereka. Binar beringsut tak nyaman. “Aku nyalain lagu, ya? Diem banget jadi canggung.” “Iya, nyalain aja.” Binar segera menekan tombol di alat pemutar musik mobil. Segera saja, suara merdu penyanyi pria Indonesia terdengar —Tulus. Binar membulatkan matanya. “Sejak kapan kamu dengerin Tulus?” tanyanya heran. Bima menggeleng. “Saya nggak pernah dengerin musik di mobil.” “Jadi… ini… lagu-lagu yang dulu aku pilihin?” Bima melirik Binar sekilas, kembali mengangguk. “Kenapa nggak kamu hapus?” “Kenapa harus dihapus?” Bima bertanya balik. Binar berdehem pelan. “Setelah kita putus, kamu nggak hapus apapun tentang aku?” “Enggak.” “Kenapa?” “Karena saya yakin suatu saat kita bisa bareng lagi. Ternyata terbukti kan?” Bima tersenyum tipis, melirik Binar sekilas. Seketika pipi Binar memanas. Ia buru-buru memalingkan wajah. Sepanjang sisa perjalanan itu, hanya suara Tulus yang terdengar mengisi langit-langit mobil. Baik Bima maupun Binar tak ada yang membuka obrolan. Hingga akhirnya mobil Bima merapat di halaman depan rumahnya. Satria, Ratna, dan Mala sudah berdiri di teras, menyambut tamu istimewa mereka hari ini. Disambut sedemikian spesial, Binar jadi tersipu malu. Jantungnya berdegup kencang. Ah iya, ia akan segera menjadi istri Bima –salah satu putra mahkota konglomerat ibukota. Bima menggenggam tangan Binar yang bebas, membuat wanita itu semakin salah tingkah. “Selamat datang di rumah kami, Binar,” sambut Satria datar. Persis seperti Bima saat memuji Binar tadi. “Terima kasih, Om.” Binar menyambut uluran tangan Satria. Kemudian beralih pada Ratna dan Mala di sebelahnya. “Cukup basa-basinya, sekarang kita langsung ke ruang makan saja,” ajak Satria. Binar mengangguk. Bima kembali menggandeng tangannya, mengajaknya ke ruang makan. Seperti yang sudah dipesankan oleh Bima, malam ini Ratna dan Mala tidak banyak berulah. Maka pria itu bisa sedikit bernafas lega selama makan malam berlangsung. “Orang tuamu tinggal di mana, Binar?” tanya Satria di sela makan. “Ibu saya tinggal di Sukabumi, kalau ayah saya… sudah lama meninggal.” Ada nada canggung dalam suara Binar saat menjelaskan tentang orang tuanya. “Kalau begitu perlu kita agendakan juga untuk bertemu ibumu kan?” “Eh? Iya, boleh.” “Kapan kalian akan berencana melangsungkan pesta pernikahan?” “Minggu depan, Pa.” Bima yang menjawab, enteng sekali. “Tunggu dulu, Bima.” Tiba-tiba Ratna bicara. Raut muka Bima langsung berubah tak suka. “Mama mau protes karena terlalu cepat? Nggak bisa. Bima akan tetap menikahi Binar minggu depan. Soal gaun, gedung, semuanya bisa diatur.” “Oke, oke. Mama nggak akan protes soal itu. Tapi kalau kamu mau menikahi Binar minggu depan, sebaiknya rahasiakan dulu pernikahan kalian.” Dahi Bima terlipat seketika. “Kenapa?” “Kalau kalian menikah minggu depan padahal sebelumnya tidak ada kabar kamu dekat dengan perempuan mana pun, bukannya itu akan sangat merugikan Binar? Kasihan dia, dia orang biasa yang tidak dekat dengan media. Sementara keluarga kita, kita sedang plesir ke luar negeri saja sudah bisa menjadi berita loh.” “Nggak akan ada berita aneh tentang Binar, Mama tenang aja. Kalaupun ada, Bima pastikan berita itu langsung di-take down.” Bima menyahut tegas. Di samping sikapnya yang rewel saat bersama Binar, Bima memang memiliki ketegasan yang mengagumkan. Ratna menggeleng. “Mama lebih setuju dirahasiakan. Sekarang siapapun bisa membuat berita. Kamu menghapus satu berita, puluhan berita lain bermunculan. Memangnya kamu nggak kasihan sama Binar kalau dia difitnah sana-sini? Apalagi dia karyawanmu, nama baik perusahaanmu dipertaruhkan, Bima.” Bima terdiam, apa yang diucapkan Ratna memang ada benarnya. Dan ia tak suka mengakui itu. “Papa setuju dengan mamamu, Bima. Setidaknya rahasiakan dulu identitas Binar. Kalau sampai media tahu kamu menikah dengan karyawanmu sendiri tanpa ada berita pacaran atau dekat sebelumnya, media akan memanas. Dan itu sangat tidak baik untuk perusahaanmu yang masih seumur jagung.” Bima mengeratkan pegangannya pada sendok dan garpu. Ia ingin membantah, tapi jika ayahnya sudah memutuskan, itu akan sangat sulit sekali. Binar menangkap gestur Bima itu. Ia menyentuh lengan Bima pelan. “Aku nggak apa-apa kok kalau mau dirahasiakan dulu. Bener kata papa dan mama kamu, pernikahan kamu nggak cuma melibatkan kita aja, tapi juga perusahaan yang sedang kamu rintis.” Bima menoleh, menatap Binar dengan raut wajah yang sulit sekali diartikan. Namun detik berikutnya, pria itu menghela nafas pelan. “Baiklah. Yang penting kamu jadi istriku dulu,” putusnya kemudian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD