Bab 1

1275 Words
Suara dentingan sendok dan garpu memecah kesunyian di ruang makan, kakek masih sibuk dengan korannya sedangkan Sandi memilih menikmati sarapannya tanpa banyak bicara begitupun dengan aku, aku lebih memilih diam di depan mereka walau sebenarnya napsu makanku beberapa hari ini hilang sejak kepulangan Sandi dari Bali. Sandi Nugraha Atmawiloto, anak tunggal dari adik ayahku dan umurnya sepantaran denganku. Kakek mempunyai dua anak laki-laki, anak pertama ayahku dan anak kedua ayahnya Sandi. Sandi memilih tidak melanjutkan garis lurus keluarga Atmawiloto yang dari kakek, ayah, paman serta diriku menjadi seorang dokter. Sandi lebih memilih menjadi guru kesenian, ya guru. Ah iya sebelum memulai cerita ini aku akan memperkenalkan diri. Namaku Ariel Setia Atmawiloto, umurku tahun ini menginjak 35 tahun dan pekerjaanku saat ini sebagai dokter gigi di rumah sakit Atmajaya milik kakek serta sebuah klinik pribadi tempatku praktek selain di rumah sakit. Hubunganku dengan Sandi bisa dibilang renggang, bukan karena tentang rebutan harta warisan tapi ada konflik saat kami masih kuliah yang melibatkan wanita dan sejak itu hubungan kami merenggang. "Kapan kamu menikah?" Tanya kakek memecah pikiranku tentang Sandi. Pertanyaan yang sama setiap kami sarapan pagi. "Ariel belum mau menikah, kek," balasku sesingkat mungkin. Kakek melipar koran lalu meletakkannya di atas meja, dia menatapku lalu sandi secara bergantian. "Kapan? Kamu normalkan?" Tanya kakek to the point. Pertanyaan ke sekian kalinya oleh kakek dan orang-orang lain yang kepo tentang orientasi seksualku. Aku normal tapi memikirkan pernikahan saja membuat perutku mual. "Jangan mulai lagi dengan pembahasan yang sama, kenapa kakek selalu merongrongku dengan pernikahan? Kenapa bukan Sandi?" Kali ini aku menyinggung Sandi yang masih asyik dengan sarapannya. Saat aku menyinggungnya barulah dia berhenti mengunyah dan melihatku dengan tatapan mencemooh. "Sandi sudah menikah walau sekarang duda," balas kakek dengan tatapan tajam ke arah Sandi. Sandi meletakkan sendoknya lalu melihat ke arah kakek, ucapan kakek barusan membuat jiwa setanku tertawa besar walau tidak aku tampilkan di depan kakek ataupun Sandi. Merebut milik orang tidak akan berkah. Hubungan yang dimulai dengan menusuk saudara sendiri dari belakang hanya bertahan beberapa tahun dan aku merasa ini kemenangan yang sangat besar yang pernah aku alami. "Terima kasih atas sindirannya, kek." Sandi lalu berdiri dari kursinya dan meninggalkan meja makan dengan kesal. Senyum tipis keluar dari ujung bibirku. "Jangan senyum-senyum Ariel, sampai kapan kakek harus menunggu kamu menikah? Kesabaran kakek ada batasnya, jangan pikir kakek diam selama ini karena acuh tapi kakek diam karena tidak ingin melakukan hal yang sama seperti apa yang kakek lakukan ke ayah dan ibumu," ujar kakek sambil merapikan kacamatanya. Ibu? Wanita itu tidak pantas dipanggil ibu. "Jangan bahas wanita itu," ujarku dengan kesal sambil berdiri di ujung meja makan. "Kakek beri waktu satu bulan untuk kamu membawa calon istri ke rumah ini atau kakek akan menarik semua fasilitas yang selama ini kamu nikmati termasuk klinik itu, kakek akan buat kamu tidak akan pernah bisa praktek di mana pun," ancaman kakek membesarkan bola mataku. Aku tersenyum sinis. "Hahahaha, selalu mengancamku dengan ancaman kekanakan seperti itu. Nggak masalah, aku lebih baik tidak praktek di mana pun daripada harus menikah. Aku akan menikah setelah kakek menikah dan melupakan almarhun nenek," balasku. Kakek memilih diam. Tentu saja, Raka Atmawiloto tidak akan pernah bisa melupakan nenek yang telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. "Ariel ke rumah sakit dulu, ada pasien kontrol giginya jam sembilan," ujarku sekalian berpamitan. Kakek lalu tertawa tapi tawanya agak lain kali ini. "Kalau kakek menikah, kamu pun akan menikah?" Tanya kakek. Aku tertawa lepas. "Iya, aku janji kalau kakek menikah tapi dengan syarat kakek benar-benar mencintai wanita itu maka aku akan menikah dengan wanita pilihanku. Hanya wanita yang menurutku bisa aku atur," ujarku membalas tantangan kakek. Kakek mengangguk. Aku yakin tantangan ini tidak akan berhasil karena kakek sangat mencintai nenek, lagipula umur kakek tahun ini menginjak angka 70 tahun. Wanita manapun tidak akan mau menghabiskan hidupnya mengurus laki-laki tua bau tanah seperti kakek kecuali ada udang dibalik bakwan alias ada tujuan tertentu yaitu uang dan harta milik kakek. **** "Dok, pasien bernama Sari mau kontrol giginya. Minggu lalu dokter menyuruhnya kembali untum dilakukan perawatan saluran akar," ujar Dian, perawat gigi yang setia membantuku sejak aku praktek di rumah sakit Atmajaya. Aku melihat record pasien bernama Sari yang disebutkan Dian tadi. "Suruh masuk," balasku. Dian mengangguk cepat dan membuka pintu ruang praktek, setelah itu Dian memanggil nama Sari dan tidak lama pasien bernama Sari masuk. Dian mempersilakan Sari untuk duduk di unit gigi agar aku bisa memeriksa giginya yang harus menerima perawatan saluran akar. "Sakit nggak, dok?" Tanyanya sebelum aku mengarahkan kaca mulut ke dalam mulutnya. "Nggak kok," balasku agar dia tidak takut. Sari tersenyum padaku. "Aku percaya kok dokter Ariel pasti akan memperlakukan gigiku dengan baik," wajah tegangnya berganti dengan rasa percaya yang dia berikan padaku. "Saya kerjakan ya, mbak." Ujarku meminta izin sebelum melakukan tugas sebagai seorang dokter. Sari mengangguk pelan dan membuka mulutnya selebar mungkin. Cukup lama mengerjakan gigi Sari dan baru selesai setelah satu jam. Kondisi giginya lumayan parah dan ditambah tidak hanya satu gigi yang perlu dilakukan perawatan saluran akar tapi ada tiga gigi. Setelah Sari keluar dari ruang praktek aku kembali bertanya ke Dian. "Masih ada pasien?" Tanyaku sambil melihat jarum jam, sepuluh menit lagi waktunya makan siang. "Habis, dok," balas Dian sambil memeriksa komputernya. Aku merenggangkan tangan yang sedikit lelah dan berdiri dari kursi kerjaku. Aku melepaskan jas dokter lalu menggantungnya di belakang kursi tadi. "Saya istirahat makan siang dulu, kalau ada ..." Tok tok tok Belum sempat Dian berdiri untuk membuka pintu tiba-tiba seorang wanita tanpa basa basi masuk lalu langsung duduk di unit gigi. "Mbak," Dian mencoba bertanya tapi melihatnya memegang pipi sambil merintih membuatku memberi kode agar aku saja yang bertanya. "Mbak, ada yang bisa saya bantu?" Tanyaku seramah mungkin. "Gigi saya sakit mas dokter, tadi saya makan kacang goreng eh taunya kemakan batu dan sekarang gigi saya sakitnya minta ampun. Aduduh sakit banget," ujarnya sambil meringis. "Nama mbak siapa?" Aku kembali bertanya. Dia melambaikan tangannya. "Nanti saja basa basi busuknya mas dokter, gigi saya ini lagi sakit dan nggak bisa berbasi basi dengan mas dokter." "Oke, kita periksa dulu." Aku mengambil sarung tangan serta memakai masker, aku mengambil kaca mulut untuk melihat kondisi giginya. Saat aku mengarahkan kaca mulut tadi tiba-tiba tangannya menahan tanganku. Reflek aku menarik tanganku dengan keras, aku paling anti dipegang wanita apalagi pasienku. "Maaf," aku sedikit tidak enak melihat wajah bingungnya setelah melihat reaksiku barusan. "Apa itu?" Tanyanya. "Kaca mulut," jawabku. Dia kembali membuka mulutnya, ternyata ada lubang cukup besar di geraham sebelah kanan. "Kita bersihkan dulu lubangnya agar tau sudah sedalam apa lubangnya itu," aku meletakkan kaca mulut dan memerintahkan Dian mengambil bor gigi. Bunyi bor yang sedikit keras membuatnya menutup mulutnya. "Eh tunggu ... itu alat apa?" Tanyanya. "Ini namanya bor gigi, alat untuk membuang bagian gigi yang membusuk sebelum kita isi dengan tambalan," balasku. Wajahnya melihatku dengan tatapan tidak suka. "Bor? Gigi saya kan bukan tembok mas dokter kok di bor segala," wanita itu berdiri di unit gigi dan menatapku dengan tatapan kesal. Aku sering mendapatkan pasien yang bertanya tentang ini itu tapi baru kali ini dapat pasien seaneh wanita ini. "Jadi giginya mau disembuhkan tidak?" Tanyaku. Dia menggeleng. "Nggak jadi, mending pake jamu." Pasien aneh tanpa nama itu memutar tubuhnya dan melewati Dian. "Eh mbak, jasa medisnya?" Tanya Dian. Wanita itu memutar tubuhnya lagi. "Sudah nggak usah," ujarku kepada Dian, toh aku belum melakukan tindakan apa-apa. "Saya nggak punya uang," balasnya. "Loh kok berobat ke sini?" Dian sepertinya mulai kesal. "Iseng, ternyata dokter itu nggak secanggih jamu saya. Saya permisi dulu, bye." Dia melambaikan tangan dan berlalu meninggalkan aku dan Dian yang masih meracau kesal. **** Jangan lupa tinggalkan comment dan tap love ya. Terima kasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD