“Bukankah dia terbiasa begitu.”
“Memang, tapi nggak pernah selama ini. Biasa satu atau dua hari masih pulang. Tapi, ini lebih dari tiga hari. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?”
Menghela napas panjang, Ernest menatap istrinya sambil berdecak, “Kamu menyuruhku pulang hanya untuk mengatakan soal Bobby yang minggat entah ke mana?”
Debrina tercengang, menatap suaminya. Kilatan sakit hati, terpancar di matanya. “Hanya katamu? Ingat, Bobby itu anakmu juga.”
“Iya, iya. Kamu juga harus ingat Debrina, Bobby sudah dewasa. Bukan lagi anak belasan tahun. Terakhir saat dia tidak pulang dan aku menyuruh orang mencari, dia ada di club penari telanjang! Dia akan pulang kalau memang mau pulang. Kalau sekarang dia tidak ada berarti dia yang fidak ingin ditemukan!”
Meremas jemarinya, Debrina menahan rasa malu. Yang dikatakan suaminya memang benar, anaknya terbiasa hidup suka-suka dan tidak mau terikat aturan. Padahal, ia sering menasehati agar anaknya lebih menjaga diri. Mereka berasal dari keluarga kaya, dan menjadi panutan banyak orang. Tidak sedikit yang memujinya karena berhasil mendidik anak dengan baik, padahal kenyataannya Bobby bukan anak penurut seperti yang selama ini masyarakat tahu.
“Aku tahu bagaimana, Bobby. Tapi, sebagai papa tidakkah kamu merasa kuatir? Ini lebih lama dari waktu biasanya dia pergi.”
Ernest menatap istrinya, mematikan rokok, dan mengibaskan abu yang rontok di atas celananya. “Kamu mau aku bagaimana? Mencarinya?”
Debrina mengangguk cepat. “Iya, cari dia. Tidak peduli ada di mana, yang penting dia baik-baik saja dan masih hidup.”
Ernest melakukan beberapa panggilan dengan nada suara yang semakin tegang. Sambil menunggu jawaban, ia mengganti bajunya dengan cepat lalu masuk ke ruang kerja, tenggelam dalam tumpukan berkas yang belum sempat disentuh sejak pagi. Tangannya sibuk, tapi pikirannya melayang, matanya sesekali melirik ke layar ponsel yang belum juga berdering. Di luar ruangan, Debrina datang membawa sepiring makanan, namun seperti sebelumnya, Ernest menolak tanpa menoleh. Wajahnya mulai terlihat lelah, rahangnya mengeras setiap kali waktu berlalu tanpa kabar. Dua jam kemudian, dering ponsel itu akhirnya datang. Suara di seberang memberi tahu—Bobby telah ditemukan.
“Dia ada di apartemen seorang selebgram dan model terkenal.”
“SyukurIah, apa dia baik-baik saja.”
“Dari informasi yang didapat, dia masih hidup. Mungkin sedang dimabuk cinta, dan tidak ingat tentang kamu.”
Debrina tersenyum lembut, mengucapkan terima kasih pada suaminya dengan nada manis yang disengaja. Padahal dalam hati, ia tahu betul—kalau ia mau, ia bisa saja mencari tahu sendiri di mana Bobby berada. Tapi bukan itu tujuannya. Baginya, lebih menyenangkan jika Ernest yang turun tangan, seolah masih peduli pada keluarga mereka. Bertahun-tahun hidup bersama, Debrina merasa dinding di antara mereka makin tebal. Ernest menjadi pria yang dingin, nyaris tak bisa disentuh. Ia muak dengan jarak itu. Debrina tidak akan tinggal diam. Ia akan menggunakan segala cara untuk membuat Ernest menoleh padanya lagi, meski hanya sekejap.
Hari ini Ernest di rumah, meskipun sibuk dengan pekerjaan, tapi Debrina tidak keberatan. Bisa melihat wajah suaminya, sudah kebahagiaan sendiri untuknya.
Keesokan harinya, Ernest pamit ke kantor dan mengatakan tidak akan pulang karena harus keluar kota. Senyum menghilang dari wajah Debrina saat mengamati mobil suaminya meninggalkan halaman. Perasaan sedih menguasainya, menyesali diri menjadi wanita cacat yang tidak lagi menarik dan pada akhimya, Ernest tidak lagi mcncintainya. Mengepalkan tangan di atas pangkuan, Debrina merasa tidak berdaya.
***
Hari ini Ernest hanya setengah hari berada di kantor. Saat makan siang ia meminta sopir mengantarkan ke rumah yang ditempati Gisella. Saat turun dari kendaraan, Lilies menyongsong kedatangannya.
“Tuan pulang lebih cepat ternyata.”
Ernest mengangguk. “Pekerjaan selesai lebih cepat. Di mana Gisella?”
“Di kamarnya, Tuan, dan itu, Nona sakit.”
Ernest menghentikan langkah, menatap wanita tua yang menjadi pelayannya. “Sakit apa?”
“Sepertinya tipes, Tuan.”
“Dari kapan?”
“Sudah beberapa hari ini.”
“Kenapa tidak mengabariku?”
Lilies menghela napas lalu menunduk. “Maaf, Tuan, Nona Gisella melarang saya menelepon.”
Melangkah cepat menuju kamar, Ernest membuka pintu tanpa mengetuk dam mendapati Gisella berbaring di ranjang dengan wajah pucat. Ia meraba kening gadis itu dan mengernyit saat mendapati suhunya lebih panas dari suhu normal.
Ia merogoh ponsel dan melakukan panggilan, lalu menoleh pada Lilies. “Bi, kamu tunggu di depan. Dokter kenalanku sebentar lagi datang.”
Lilies mengangguk dan bergegas pergi, meninggalkan Ernest berdiri tertegun di samping ranjang. Ia menatap Gisella yang tergolek lemah dengan wajah pucat. Terlihat begitu kecil dan rapuh. Gadis itu tetap tertidur dan tidak menyadari kedatangannya.
Duduk di samping ranjang, Ernest kembali meraba wajah Gisella. Dari pipi, dahi, telinga, lalu leher. Sentuhannya membuat gadis itu teljaga dan membuka mata.
“Tu-tuan.”
“Tetap berbaring, sebentar lagi dokter datang.”
“Saya nggak apa-apa, nggak perlu dokter.”
Ernest mengedip, menyingkirkan kaki. “Untukmu mungkin tidak panting, tapi tidak untukku. Biarkan dokter memeriksamu dan memberimu obat, aku tidak mau terjadi apa-apa denganmu yang akhirnya menyulitkanku.”
Perkataan Ernest yang blak-blakan itu menghujam telinga Gisella, membuatnya tersenyum miris. Bahkan saat tubuhnya lemah dan tak berdaya, laki-laki itu masih saja menganggapnya sebagai beban. Tidak ingin memperpanjang luka batin yang sudah menumpuk, Gisella memilih diam. Ia memejamkan mata, pura-pura tak mendengar, pura-pura tidak peduli.
Beberapa menit kemudian, dokter datang. Seorang laki-laki paruh baya dengan wajah ramah dan sikap tenang, usianya mungkin tak jauh dari Ernest. Setelah memeriksa kondisi Gisella, dokter menyampaikan bahwa ia menunjukkan gejala tipes dan harus beristirahat total. Ia menyarankan rawat inap di rumah sakit demi pemulihan yang lebih baik. Namun Gisella langsung menolak dengan halus. Rumah ini mungkin dingin, tapi setidaknya ia tahu dinding-dindingnya.
Baginya, rumah sakit justru terasa asing dan terlalu ramai untuk luka yang tak terlihat di tubuhnya.
“Saya ingin di rumah saja, dok. Nggak mau dirawat di rumah sakit.”
“Di rumah sakit peralatan medis lebih lengkap, kamu akan sembuh Iebih cepat.”
Gisella menggeleng, bersikukuh dengan keinginannya. “Di sini ada Bi Lilies yang merawat saya. Tolong, dok. Saya nggak mau di rumah sakit.”
Akhimya dokter berhenti membujuk setelah Ernest pun mendukung keputusan Gisella untuk tetap dirawat di rumah. Dokter memberikan resep obat-obatan dan vitamin, berpesan agar secepatnya menghubunginya kalau keadaan Gisella memburuk.
“Kenapa tidak meneleponku saat kamu sakit,” tanya Ernest saat mereka tinggal berdua di kamar.
Gisella tersenyum lemah. “Saya nggak mau merepotkan, Tuan.”
“Setidaknya lain kali kamu ke Dokter. Jangan bertindak bodoh yang bisa membahayakan kita berdua. Kalau terjadi sesuatu denganmu, aku akan terkena imbasnya. Kecuali ....” Ernest menjeda ucapannya, menatap Gisella tajam. “Kamu ingin mati.”
Gisella tidak menjawab. Ia membiarkan Ernest tetap dengan asumsinya sendiri, tak punya tenaga ataupun niat untuk membantah. Seluruh tubuhnya terasa remuk, nyeri menjalar dari kepala hingga kaki, membuat pikirannya tumpul oleh rasa lelah. Ia hanya ingin diam, menelan makanan dan obat yang diberikan, lalu kembali terlelap dalam tidur yang setidaknya memberinya sedikit jeda dari kenyataan. Ia tak tahu, saat tubuhnya tenggelam dalam mimpi, Ernest berdiri cukup lama di samping tempat tidurnya. Pandangannya sulit dimaknai—seolah bertarung antara rasa bersalah dan kebingungan, atau mungkin sesuatu yang bahkan Ernest sendiri tak pahami.
Pagi datang dengan cahaya hangat yang mengintip dari sela gorden. Saat Gisella membuka mata, ruangan sudah sepi. Ernest telah pergi. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, ia menarik napas lega. Setidaknya hari ini, ia bebas dari intimidasi diam-diam pria itu. Ia tahu mungkin tak akan ada kesempatan kedua. Tapi hari ini, ia memilih menikmatinya.
Lilies sempat mengatakan bahwa saat kesehatannya membaik, mereka akan pergi ke bank. Ernest ingin membuatkan rekening atas namanya—memberikan uang jajan, katanya. Gisella hanya tersenyum hambar saat mendengarnya. Apa artinya uang jika jiwa dan raganya terpenjara dalam rumah ini?
Memikirkan nasibnya, tubuhnya kembali bergetar. Ia mengharapkan waktu berjalan lebih cepat, agar dua tahun ini segera berakhir. Tapi harapan itu tak lebih dari mimpi kosong yang menggantung di langit tak bernama.