"Kalau kamu butuh sesuatu, katakan saja. Sudah seharusnya aku memberimu tambahan," ujar Ernest sambil melangkah mendekat, jemarinya menyentuh dagu Gisella dengan sentuhan ringan. "Kamu sudah cukup baik dalam menemani. Kalau kamu bisa lebih... kreatif, aku bisa mempertimbangkan lebih banyak untukmu."
"Iya, Tuan," jawab Gisella pelan, menunduk.
"Cobalah untuk memperluas wawasanmu. Lihat bagaimana caranya orang lain menjaga kedekatan dan ... memberi kejutan kecil. Sesekali, kamu bisa mengirimkan sesuatu yang bisa mengingatkanku padamu," lanjutnya dengan suara rendah dan nada yang sarat makna.
Gisella tersentak, matanya melebar. "Maaf? Ma-maksudnya apa, Tuan?"
Ernest mengangkat alis, lalu tertawa kecil, meski nadanya tetap serius. "Aku rasa sudah cukup jelas. Tak perlu berpura-pura tak mengerti."
Gisella menggeleng cepat, gugup. "Saya sungguh tidak paham, Tuan."
Ernest menghela napas, lalu meluruskan tubuhnya. Ia mengancingkan kemeja, berdiri menghadap cermin sambil merapikan penampilannya. Dari pantulan kaca, ia melihat sorot mata polos Gisella yang masih menatapnya lekat-lekat, seolah tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar.
"Gisella," katanya akhirnya, "Jangan bilang ... kamu belum pernah benar-benar merasakan apa pun dariku?"
Kalimat itu meluncur pelan, namun menancap seperti bisikan yang penuh tanya—lebih menyentuh pada keraguan daripada desakan.
Gisella menghela napas panjang, mencoba memahami setiap kata yang terlontar dari bibir Ernest. Semakin banyak yang dikatakannya, semakin kabur pemahamannya. Istilah-istilah yang digunakan terasa asing, seperti bahasa dari dunia yang tak pernah ingin ia masuki. Ia tahu semua itu berkaitan dengan sesuatu yang disebut keintiman, namun baginya, hal itu lebih sering menghadirkan ketidaknyamanan daripada kedekatan.
"Tidak masalah kalau kamu belum merasakan apa yang orang lain sebut sebagai kenikmatan," ujar Ernest tenang. "Nanti, kalau kamu sudah terbiasa, sudah tahu apa yang kamu inginkan dan juga apa yang aku harapkan darimu, semua akan datang dengan sendirinya. Sekarang, kamu hanya perlu menemaniku dengan baik. Itu sudah cukup."
Ernest membalikkan tubuhnya ke arah cermin. "Ambilkan jasku," perintahnya singkat.
Gisella bangkit dari tempat tidur, membungkus tubuhnya dengan seprei untuk menutupi rasa malu yang belum mereda. Ia meraih jas dari gantungan, tapi sebelum sempat menyerahkannya, Ernest menarik sprei dari tubuhnya begitu saja—membiarkannya terjatuh ke lantai.
"Untuk apa malu, Gisella? Di sini hanya kita berdua. Kamu tak perlu menutupi diri dariku," katanya, datar namun menusuk.
Gisella memejamkan mata, menahan napas. Tangannya bergetar saat membantu mengenakan jas di tubuh pria itu. Meski ia telah beberapa kali berbagi ranjang dengannya, momen seperti ini terasa berbeda. Terlalu terang, terlalu nyata. Dan yang paling terasa—terlalu menyakitkan. Sebuah rasa malu yang tidak bisa ia sembunyikan, dan perasaan hina yang perlahan menggerogoti kepercayaannya pada diri sendiri.
”Su—sudah, Tuan.”
Ia mundur, mencari bajunya yang teronggok di lantai dan memakainya. Tidak ingin memberikan kesempatan pada Ernest untuk mempermalukannya.
”Aku pergi sekarang, ingat yang aku bilang, sesuatu yang mengingatkanku padamu.”
Gisella berdiri di tengah pintu dengan hati hampa saat kendaraan Ernest meninggalkan halaman. Selalu seperti ini, perasaan yang sama seiring dengan datang dan perginya laki-laki itu. Dua tahun, ia harus bertahan. Tidak peduli apa pun yang terjadi. Setelah itu, ia akan bebas dan pergi ke manapun yang ia inginkan.
Berdiri di tengah halaman dengan kepala mendongak, Gisella menatap bulan yang bersinar redup karena langit mendung. Merasa sendiri, hampa, dan kesepian. Ia bahkan mempertanyakan, arti hidup di dunia.
”Tuhan, apakah aku berdosa kalau ingin mati saja?”
Tidak ada jawaban, bahkan angin yang berembus pun tidak punya jawaban untuknya.
***
Bukan pertemuan biasa, acara siang ini lebih menyerupai sebuah pertunjukan sirkus keluarga, lengkap dengan lakon-lakon yang seolah berlomba menunjukkan kebodohan masing-masing. Begitulah yang terlintas di benak Ernest ketika satu per satu anggota keluarga besar Wiryawan berdatangan, lengkap dengan tingkah dan reputasi yang menyertainya.
Yang tertua—dan konon paling disegani—adalah Bambang Wiryawan. Lelaki tua berusia tujuh puluh tahun itu masih memegang tampuk kuasa, kendati sudah lima tahun hidup sendiri sejak istrinya meninggal. Tubuhnya kurus dan dipenuhi uban, namun masih berdiri tegak dan bicara lantang seolah usia hanyalah angka. Bambang selalu membawa aura dingin dalam tiap pertemuan, seperti bayangan masa lalu yang enggan beranjak.
Lalu hadir pula adik kandungnya, Herman. Sosok bertubuh tambun yang sering tertawa lebih keras dari siapa pun di ruangan, dengan suara yang nyaring dan penuh percaya diri. Di balik kemeja mahalnya, ia menyimpan sepuluh kasino gelap yang tersebar di berbagai sudut kota. Di sampingnya berdiri Angela—wanita pirang, muda, dan berkulit putih pucat, yang diklaim sebagai istri. Semua tahu, Angela bukan siapa-siapa selain simpanan barunya yang senang dipamerkan seperti piala. Ernest nyaris mendecak ketika Angela, tanpa malu, melemparkan kedipan genit ke arahnya. Ia buru-buru melengos, menjaga jarak. Berurusan dengan wanita itu hanya akan menambah daftar panjang masalahnya.
Dan terakhir, Rahadian—si bungsu yang dikenal karena wajah tampannya dan kebiasaan menghamburkan uang keluarga. Ayah dari Sophia ini memang menikah, tapi tak pernah benar-benar menjalani peran sebagai suami. Seluruh keluarga paham akan orientasi Rahadian, meskipun semua tetap membungkusnya rapi dengan kata ‘status’.
Ya, benar. Ini bukan pertemuan keluarga. Ini parade kebodohan yang dibungkus dengan dasi mahal dan senyum palsu.
Debrina mengarahkan kursi rodanya ke arah Bambang dan mengecup pipi laki-laki itu. “Papa, senang melihatmu.”
”Anakku, kamu kelihatan sehat.” Bambang memeluk Debrina dengan hangat.
”5emua karena Ernest yang merawatku.”
Debrina mengerling ke arah suaminya yang sedang minum dengan tenang di kursi paling ujung.
"Ah, menantu idaman memang, Ernest.”
Bambang mengangkat gelas ke arah Ernest dan mereka bersulang dari jauh. Terdengar dengkusan tak lama Bobby berucap keras.
”Siapa pun tahu, papaku tercinta memang luar biasa, Kakek. Semoga saja tidak akan membuat kalian kecewa.”
Tak ada satu pun yang menggubris ejekan halus Ernest, seolah sindiran itu hanyalah angin lalu di tengah keramaian yang gaduh. Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri, dalam dunia kecil yang tak bisa disentuh oleh akal sehat.
Angela, si wanita pirang yang masih berbau parfum menyengat itu, kini sudah duduk manja di pangkuan Herman. Tertawa kecil sambil mengelus kumis lebat pria tua itu, seakan-akan dunia hanya milik mereka berdua. Wajah Angela penuh kepuasan, seolah menjadi pusat perhatian adalah tujuan hidupnya, meski semua tahu perhatian itu semu dan dibeli dengan uang.
Di sisi lain ruangan, Sophia mulai beradu argumen kecil dengan ayahnya, Rahadian. Sang pria tampan hanya mendesah sambil menatap jendela, malas menanggapi anak perempuannya yang penuh semangat mempertanyakan sesuatu—mungkin soal kebebasan atau uang saku bulanan yang mendadak dipotong. Di pojok ruangan, Debrina tampak asyik bercakap dengan Bambang, entah membahas warisan, investasi, atau hanya sekadar basa-basi bertopeng sopan santun keluarga.
Lalu pintu terbuka. Masuklah dua wanita dengan penampilan yang cukup mencolok. Mereka berjalan beriringan, tipis namun penuh percaya diri, seperti sepasang burung merak dalam parade mode gagal. Yang satu mengenakan gaun terlalu longgar, jatuh di tubuh kurusnya seperti tirai tergantung—itulah Julia, mantan istri Herman, ibu dari tiga anak yang jarang disebut. Yang satu lagi berkilauan karena memakai perhiasan dari kepala sampai kaki, bahkan sandal pun tampak berlapis emas. Dialah Juli, saudari kembar Julia, sekaligus istri Rahadian dan ibu dari Sophia.
Tidak penting bagi Juli siapa suaminya sebenarnya. Entah pria itu mencintainya atau tidak, entah lebih memilih pria lain atau tidak, selama rekeningnya terus terisi, ia tetap tinggal. Bagi Juli, kesetiaan bukan urusan hati—melainkan tentang stabilitas finansial.
”Apa acaranya belum dimulai?” Julia tersenyum, menatap suaminya yang memangku wanita berambut pirang dengan senyum geli. ”Kami sudah datang, mana makanannya?"
"Ma, kenapa datang-datang mau makan?” tegur Sophia.
”Memangnya kenapa, Sayang? Mama terlalu kurus, harus banyak makan."
Bambang mengetuk sendok pada permukaan piring lalu berucap lantang, ”Pelayan! Keluarkan hidangan.”
Mereka makan di ruang tengah dengan meja panjang. Sepanjang acara makan, Ernest lebih banyak diam. Ia memperhatikan dengan malas, orang-orang di sekeliling meja. Tidak begitu menyukai mereka, tapi terdampar di sini.
”Aku dengar Ciel Noir beroperasi dengan lancar. Apakah kamu jadi membuka cabang, Ernest?” Bambang bertanya, suaranya yang keras berusaha mengatasi percakapan yang berdengung.
Ernest mengangguk. “Iya, Pa. Sedang dalam persiapan.”
”Bagus, kasih tahu kalau ada butuh bantuan.”
”Huft, papaku selalu butuh bantuan , Kek.” Bobby menyela keras. ”Kakek tahu apa yang paling dibutuhkan sama dia? Uaaang!”
”Siapa yang nggak butuh uang zaman sekarang.”
Sophia berucap ringan, menyendok spageti di atas piring dan memutar dengan garpu. ”Nggak ada salahnya dengan uang.”
Bobby tersenyum ke arah Sophia. ”Tanteku tersayang, selalu membela papaku. Jangan katakan kalian punya hubungan?”
”Jauhkan pikiran kotormu, Bobby!”
”Kalau begitu, kenapa selalu membela, Papa? Selain cinta apa lagi?”
"Ada, selain cinta adalah kebencian, terutama dengan orang sepertimu.” Tanpa disangka, Ernest berucap keras. Memotong perdebatan Bobby dan Sophia. Tidak memedulikan pandangan mengancam yang diarahkan sang istri padanya, memang sudah seharusnya memberi pelajaran pada Bobby agar tidak lagi kurang ajar.