Selesai makan malam, suasana rumah terasa lebih tenang dari biasanya. Ernest, yang biasanya langsung menuju kamar tanpa banyak bicara, malam itu justru duduk di sofa ruang tengah. Asap rokok mengepul dari jari-jarinya, sementara sebuah laptop terbuka di hadapannya. Cahaya layar memantulkan siluet wajahnya yang serius, namun tak tampak tegang. Sikapnya yang tidak seperti biasa membuat Gisella heran—dan entah mengapa, juga sedikit lega. Tapi ia memilih diam, berdiri di ambang pintu, memperhatikannya dari kejauhan.
“Bi Lilies, tolong buatkan aku kopi,” ucap Ernest tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
Gisella refleks mengikuti Lilies ke dapur, tertarik melihat prosesnya. Wanita paruh baya itu dengan cekatan menyiapkan espresso, menyelipkan obrolan ringan di sela aktivitasnya.
“Aku sudah kerja dengan Tuan Ernest sejak lima tahun lalu, sejak suamiku meninggal. Dia memang tak banyak bicara, tapi tahu cara menghargai orang,” katanya sambil menekan tombol pada mesin kopi. “Kopinya selalu tanpa gula, dua sloki espresso, lalu ditambah air panas. Pahit, tapi katanya itu yang bikin dia bisa mikir.”
Gisella mencatat diam-diam dalam hati. Lain kali, ia ingin mencoba membuatkan sendiri.
Saat kopi siap, ia membawanya ke ruang tengah dan meletakkannya di atas meja, dekat laptop Ernest. Lelaki itu melirik sekilas, mengangguk pelan.
“Kopinya, Tuan.”
Ernest mendongak, menatap kopi yang mengepul. “Kamu yang membuat?”
“Bukan, Bi Lilies.”
“Terima kasih,” gumamnya.
Gisella tak menjawab, hanya tersenyum kecil, lalu duduk di kursi seberang. Untuk pertama kalinya, malam itu terasa seperti rumah.
Hening. Ernest kembali sibuk dengan pekerjaannya. Gisella yang tidak ingin mengganggu, masuk ke kamar dan ingin mandi. Saat keluar dari kamar mandi, Ernest menunggunya di dekat ranjang.
“Tuan, ada perlu apa?”
Ernest melangkah mendekat, menatap Gisella yang berdiri dalam balutan jubah mandi, rambutnya masih basah, menjuntai lembut di bahu. Ia menarik napas panjang, seolah menahan sesuatu yang tak terucap, lalu merengkuh kepala gadis itu, menyentuhkan bibirnya dalam ciuman yang dalam dan penuh rasa. Tangannya menyentuh dengan lembut, membuka simpul keheningan yang tersimpan di balik kain tipis. Seperti embun yang cepat menguap saat fajar menyapa, kebersamaan mereka pun berlangsung singkat—namun menyisakan jejak yang membekas, diam-diam meresap ke dalam d**a. Seperti saat memulai, kali ini Ernest pun mengakhiri dengan cepat.
“Aku meninggalkan laptopku. Kamu buka dan ada beberapa film yang harus kamu tonton dan pelajari.”
Gisella menggigit bibir dan merapikan kembali jubahnya. “Film apa, Tuan?”
“Kamu lihat sendiri nanti kamu tahu. Aku harus pergi.”
Sepeninggal Ernest, Gisella mengambil laptop dan membawanya ke kamar. Saat layar menyala dan membuka folder film, ia dibuat tercengang. Bagaimana tidak, ada sekitar sepuluh film yang kesemuanya adalah film dewasa. Ia tidak mengerti kenapa harus menonton film-film itu hingga satu pesan dari Ernest masuk ke ponselnya.
Ernest :
Tonton dan pelajari bagaimana mereka bersetubuh, aku ingin kamu melakukan itu.
Singkat dan jelas, Gisella menunduk di atas laptop yang menyala, cahaya layar memantul di wajahnya yang pucat. Ia sedang tidak ingin menangis, meski dadanya terasa sesak, seolah ada beban yang menggantung tanpa bisa dijatuhkan. Hatinya sakit, bukan karena Ernest memaksanya secara kasar, tapi karena ia menyadari satu hal pahit: dirinya memang telah dijual, dibeli, dan kini dimiliki. Ia harus memainkan peran sebagai wanita simpanan—atau lebih buruk, p*****r—demi memuaskan kehendak laki-laki itu.
Ia tidak mengasihani diri, karena itu percuma. Pilihan bukan miliknya. Dengan tangan gemetar, Gisella memutar salah satu film dari daftar yang diminta Ernest untuk ia tonton. Wajahnya menegang saat melihat adegan-adegan yang vulgar, tanpa rasa, namun menuntut penghayatan. Matanya terbelalak, bukan karena penasaran, melainkan karena ketakutan. Ia bergidik ngeri, menyadari betapa dunia itu begitu asing dan jauh dari apa yang pernah ia bayangkan. Ia tahu, ia tidak akan pernah bisa menjadi seperti mereka.
Tak sampai dua puluh menit, Gisella mematikan laptop itu. Napasnya pendek, dan ia hanya bisa bergumam, “Besok saja…”
Berbaring di ranjang besar yang dingin, ia menatap langit-langit yang gelap. Takdirnya sudah jelas: sebagai wanita simpanan, ia tidak punya ruang untuk menolak atau bersuara. Ernest adalah pemiliknya, dan ia… hanyalah milik. Yang dituntut darinya hanyalah satu: patuh. Dan di balik keheningan malam, hati Gisella perlahan mengeras, membungkus luka-lukanya dalam diam.
Ernest meminta sopirnya untuk membawanya kembali ke kantor. Tatapannya kosong menembus jendela mobil, malam di luar tampak lengang, seperti hatinya. Malam ini, ia memilih tidak pulang. Ia sudah mengabari Debrina, mengatakan akan menginap di kantor karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Seperti biasa, istrinya marah, namun hanya membalas singkat. Tak ada perdebatan panjang. Debrina tahu, jika sudah menyangkut pekerjaan, Ernest tak bisa diganggu. Lagipula, alasan itu selalu cukup untuk meredam protesnya—meskipun dalam hati, ia mungkin menyimpan curiga. Tapi Ernest tidak peduli. Malam ini, ia hanya ingin sendiri, jauh dari rumah yang tak lagi terasa rumah.
“Mau ke kantor mana, Tuan?” Sopir bertanya dari balik kemudi.
“Kita ke Ciel Noir, sudah dua minggu kita nggak ke sana.”
Ciel Noir adalah club malam yang dimiliki oleh Ernest. Salah satu cabang bisnis perusahaannya, selain pabrik textile. Ada beberapa club yang ia punya, salah satunya Ciel Noir. Kendaraan pengunjung yang ingin memasuki club, antri. Maklum, sebagai salah satu tempat yang terkenal, Ciel Noir diakui sebagai club terbaik. Para pengunjung rela mengeluarkan uang puluhan juta untuk menikmati malam bebas yang menggairahkan.
Menggunakan jalur VIP, Ernest turun di pintu samping, diapit oleh penjaga menaiki tangga menuju kantor. Tiba di sana, ada beberapa orang yang sudah menunggunya.
“Tuan, selamat datang. Ingin minum?”
Ernest menggeleng. “Tidak, aku hanya mampir.”
Mengenyakkan diri di kursi, Ernest membuka CCTV dan memperhalikan keadaan clubnya. Ia mengamati layar satu per satu, setiap inci area yang terpapar CCTV tidak luput dari penglihatannya. Manajer club datang untuk membawakan laporan dan ia memeriksanya sambil minum sesuatu yang dingin dan menyegarkan yang dibaut bartender untuknya.
“Tuan Ernest, kamu datang tanpa mengabariku?”
Seorang wanita tinggi dan cantik dengan rambut hitam panjang, melenggang masuk. Gaun yang dipakai wanita itu terbuka di bagian depan dan menunjukkan dadanya yang montok. Bagian bawah gaun terbuka hingga nyaris mencapai paha.
“Sophia, kamu di sini?”
Sophia mendekat, menunduk untuk mengecup pipi Ernest dan berbisik, “Aku selalu di sini, Tuan. Tidak pernah ke mana-mana, kamu tahu bagaimana menemukanku.”
Ernest menahan napas, mengalihkan pandangan dari d**a Sophia yang montok, ke laporannyan. Ia tahu wanita sedang menggodanya dan ia menahan diri.
“Bagaimana kabar suamimu?”
Sophia tersenyum. “Mantan, Tuan. Kamu lupa kami bercerai?”
“Sudah?”
“Resmi. Aku bebas sekarang, pergi ke mana pun yang aku mau dan dengan siapa pun.” Sophia mendekat, menggesekkan dadanya ke lengan Ernest, dan meniup telinga laki-laki ilu. “Aku siap kapan pun untuk kamu, Tuan. Kita sama-sama tahu kalau Debrina tak lagi mampu memuaskanmu.”
Ernest menahan napas, parfum yang dipakai Sophia menggelitik hidungnya. Puncak d**a wanita itu mengintip keluar dari celah gaun yang terbuka. Ia tahu, Sophia sengaja memprovokasinya.
“Sophia, kendalikan dirimu.”
“Kenapa? Kamu takut Debrina marah?” Sophia dengan berani mengelus paha Ernest dan menyapukan jemarinya di atas kejantanan laki-laki itu. “Berapa lama ini tidak mendapat pelepasan? Semenjak Debrina kecelakaan? Berarti sudah lama sekali. Kasihan, lama- lama impoten kalau tidak digunakan.”
Ernest mencengkeram pergelangan tangan Sophia dan menepiskannya. “Jaga diri, Sophia. Ini di tempat kerja.”
“Lalu? Kenapa memangnya? Di bawah sana, semua orang sedang bersuka ria. Banyak di antara mereka adalah pasangan selingkuh. Kenapa kita harus takut? Atau kamu mau seperti mereka? Bercinta di antara keremangan? Katakan saja, aku bisa memberimu lips service yang memuaskan.”
Menggeleng keras, Ernest bangkit dari mejanya dengan cepat, matanya penuh determinasi. Ia berdiri tegak di hadapan Sophia, merasa bahwa setiap detik yang terbuang dengan wanita itu hanya akan menghambat pekerjaannya. Kehadirannya, dengan segala pesonanya, seperti magnet yang bisa menarik perhatian lebih dari yang seharusnya. Ernest tahu, kalau ia membiarkan perasaan atau godaan itu berkembang, pekerjaan penting yang harus diselesaikannya bisa tertunda. Ia tidak ingin menciptakan masalah yang bisa memperlambat segala sesuatunya. “Aku harus fokus,” gumamnya dalam hati, seolah memberi peringatan pada dirinya sendiri untuk tidak terjerat dalam hal yang tidak perlu.
“Aku harus menyelesaikan pekerjaanku, Sophia. Hari Minggu, pamanmu memintaku datang.”
Sophia mengernyit. “Ada apa? Kenapa aku nggak diundang?”
“Soal itu aku kurang tahu.”
“Siall! Ini pasti perbuatan Debrina. Satu keluarga bersatu untuk melawanku. Jangan harap!”
Sophia berderap pergi dengan langkah cepat, sepertinya akan menelepon. Ernest mengembuskan napas lega, seolah bebannya sedikit berkurang. Ia kembali memusatkan perhatian pada pekerjaannya, layar komputer di hadapannya menjadi satu-satunya fokus. Tak ada sedikit pun minat untuk terlibat dalam permainan mata-mata dengan wanita seperti Sophia—apalagi mengingat statusnya sebagai sepupu istrinya. Ernest tahu betul betapa rumitnya dunia ini, terutama ketika itu melibatkan orang-orang dari lingkaran terdekat. Ia sudah cukup dengan masalah di rumah, tidak perlu menambah kekacauan dengan godaan yang tak perlu. Pekerjaan adalah pelarian, dan itu saja yang ia perlukan sekarang.