Sheya sedang sibuk membereskan dapur sedang putrinya itu sedang bermain ditemani ayahnya yang akan menginap lagi malam ini.
Begitu selesai dengan bersih-bersihnya, Sheya mendengar panggilan sang putri.
Anak perempuan itu masuk ke dapur dalam gendongan sang Ayah, wajahnya sudah terlihat mengantuk dalam gendongan Juna.
“Loh, kenapa, Kak? Kak Sera sudah mengantuk, ya? Malam ini bubuk ditemani Ayah, kan? Katanya Kak Sera kangen sama Ayah.” Sheya mencuci tangannya lalu mendekat pada anak perempuan itu.
“Iya, tapi … Ibu … Sera mau bubuk sama Ibu sama Ayah, kata Ayah … Sera harus bertanya pada Ibu.” Ucap Sera dengan wajah yang berbinar penuh antusias menunggu jawaban sang ibu.
Sedang Sheya di tempatnya terlihat terkejut luar biasa dengan jantung yang kembali berdetak liar. Dia lalu melirik penuh tanya ke arah Juna yang hanya memasang tampang masa bodohnya.
“Sera ingin bisa bubuk dipeluk oleh Ayah dan Ibu seperti Tomy, teman Sera yang di sekolah itu, Ibu. Tomy bilang setiap malam dia tidurnya suka dipeluk-peluk oleh Ayah dan Ibunya. Malam ini, Sera juga mau, boleh ya, Ibu?”
Belum juga Sheya menanggapi, Sera sudah kembali memohon, kini tatapan Sheya berubah sengit ke arah Juna dengan tatapan meminta bantuan supaya Sera berhenti meminta itu.
Namun, Juna justru menatapnya dengan kedua alis bertaut, seolah menanyakan masalahnya di mana untuk menuruti permintaan sederhana putri mereka.
“Ibu … mau, ya? Sera ingin bubuk dipeluk oleh Ibu dan Ayah, ya? Besok-besok Sera bubuk sendiri lagi karena Sera sudah besar.”
Kini tatapan Sera bukan lagi berbinar, tapi juga harap-harap cemas seolah permintaannya akan ditolak oleh sang ibu.
Wanita itu melirik sekali lagi ke arah suaminya, yang tidak menampilkan ekspresi keberatan seperti dirinya.
Sheya sampai menarik napas panjang untuk mengiyakan permintaan yang sesungguhnya sederhana dari sang putri, namun begitu berat untuk ia sanggupi.
“Iya, sayang. Ya sudah, yuk, sudah waktunya Kak Sera bubuk, mau bubuk di kamar Ayah atau Ibu?” Tanya Sheya menggendong anak perempuan itu untuk menuju ke kamar sang suami.
Dalam hati dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, yakin jika dia bisa melakukannya, buktinya sampai hari ini, beberapa kali dia berada di dekat Juna, dia bisa mengendalikan dirinya.
“Kamar Ayah saja, Ibu. Kamar Ayah ranjangnya lebih luas. Iya, kan, Ayah?” Sera seolah meminta dukungan kepada sang Ayah yang berjalan di belakang mereka.
“Boleh, sayang. Sikat gigi dulu ya?”
“Siyap Ayah.”
Sambil menunggu ayah dan anak itu selesai sikat gigi, Sheya berusaha menenangkan dirinya berkali-kali, hatinya sudah terasa sesak, tangannya mulai dingin, sejak tadi dia hanya memandang kasur itu dengan tatapan yang gelisah.
Keyakinan yang tadi dipupuknya tau-tau memudar, rasanya Sheya tidak bisa melakukannya, terlalu mengerikan, tapi dia mencoba untuk terus menguatkan dirinya.
Dia harus tetap melakukannya, kan? Demi seseorang yang kini dia prioritaskan bahagianya.
Tanpa sadar sudah ada air mata yang menggenang dari sudut mata Sheya, namun gegas dia menghapusnya. Dia menekan dadanya keras dengan helaan napas yang panjang.
‘Tidak apa-apa, Sheya. Tidak apa-apa, kamu bisa melakukan ini. Ada Sera yang akan membuat kamu tenang.’ Sheya berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Seumur hidupnya, dia tidak pernah sedekat ini dengan laki-laki, apalagi sampai berbagi ranjang walau di antara mereka juga ada pembatas hidup, namun tetap saja, Sheya sangat kesulitan untuk melakukannya, dia hanya akan menahannya sebaik mungkin.
Perasaan gemuruh yang selama ini telah tenang dan terkendali dengan baik di dalam d**a, pelan-pelan kembali muncul dan membuat Sheya berulang kali menarik napasnya dalam.
“Ibuuuu, Sera sudah selesai sikat giginya.”
Sheya langsung mengulum senyumnya, kemudian membawa Sera naik ke ranjang.
“Ya sudah, bubuk, yuk, Kak.”
Juna melihat ekspresi keberatan di wajah Sheya walau wanita itu tetap tersenyum kepada Sera.
Bukannya Juna merasa senang bisa tidur bersama Sheya, itu tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Semua yang dia lakukan murni karena ingin menyenangkan Anas, apa pun permintaan anak itu, selagi Juna bisa mengabulkannya dia tidak akan keberatan.
Bahkan dia sudah mengambil langkah gila dengan menggadaikan kebahagiaan pernikahannya bersama Giska, hingga terpaksa menyakiti hati Giska, semua itu dia lakukan demi kebahagiaan Anas.
Maka, dia tidak merasa berat sama sekali jika harus tidur bertiga seperti permintaan Anas, toh di antara mereka nanti hanya benar-benar tidur, dengan Anas yang menjadi pembatas hidup di antara mereka.
Akhirnya, Juna ikut naik dan bergabung dengan keduanya, di mana kini Anas berada di tengah-tengah dan sedang memeluk Sheya sambil berceloteh ini dan itu.
Begitu Juna naik ke ranjang, Anas langsung membalikkan badannya dan memeluk Juna sambil haha-hihi.
“Ayah, Anas suka sekali bisa bubuk dengan Ayah lagi, kali ini juga bubuknya dengan Ibu. Suka sekali, Ayah.” Ucap Anas mengungkapkan perasaan senangnya, dia memeluk erat Ayahnya.
“Iya, princess. Ayah juga senang bisa bubuk dengan cantiknya Ayah ini. Ya sudah, yuk, bubuk, cantik.” Ucap Juna sambil mengusap-usap punggung putrinya.
Namun, tatapannya tajam pada Sheya yang terlihat bak patung dengan wajah yang terlihat sedikit pucat.
Saat Anas akhirnya kembali berbalik menghadap ke arahnya, secepat itu pula Juna bisa melihat Sheya langsung tersenyum pada Anas.
“Ibu sayang Sera tidak?” Tanya Sera yang memang lebih sering bertanya hal-hal random menjelang tidur alih-alih meminta dibacakan buku cerita.
“Sayang, dong, Kak. Ibu sayang sekali sama Kak Sera.”
Yang Juna lihat, senyum Sheya semakin mengembang, seiring dengan dekapan tangannya yang terasa hangat mendekap tubuh mungil putrinya.
“Sera juga sayang sekali sama Ibu. Sayangnya banyak banyak banyak banyak sekali.” Ucap Sera dengan nada lucunya, hal itu membuat Sheya terkekeh kecil, dan kelakuan putrinya itu berhasil menenangkan hatinya yang terus bergemuruh begitu riuh di dalam sana.
Sera lalu berusaha melepaskan pelukannya dari Sheya, lalu anak itu kini berbaring telentang di tengah-tengah kedua orang tuanya.
“Ayah harus peluk Anas sampai pagi ya, Ayah? Janji?” Pinta Anas dengan nada manjanya.
Juna mengangguk sambil melingkarkan tangannya di tubuh sang putri, hingga tangan itu bersentuhan secara tidak sengaja dengan lengan Sheya yang langsung berjengit kaget, hal itu membuat Juna menautkan kedua alisnya dengan tatapan penuh tanya.
“Ibu, Ibu juga peluk Sera sampai pagi ya, Ibu? Janji?” Pinta Sera dengan tatapan yang berbinar-binar dan sudah mengacungkan jari kelingkingnya.
Jika di waktu-waktu yang telah lalu, saat dia tidur berdua saja dengan Sera, tentu Sheya bisa langsung menyanggupinya dengan tidak ada keberatan sama sekali, tapi kali ini keadaannya berbeda.
“Apa yang sebenarnya kamu pikirkan sampai membuat putriku menunggu hal sederhana itu?” Bisik Juna dengan nada yang begitu lirih.
“I..ya, Kak. Ibu janji.” Bisik Sheya dalam satu tarikan napasnya yang kini perlahan sesak.
“Terima kasih, Ibuuu. Ibu peluk Sera juga, ya?” Pinta Sera, yang mana, kini anak perempuan itu langsung meraih tangan Sheya untuk memeluk tubuhnya, sehingga tangan Sheya langsung menindih lengan Juna yang juga sudah memeluk Sera lebih dulu.
“Sekarang, Sera bisa bubuk nyenyak dalam pelukan Ayah dan Ibu. Selamat bubuk, Ayah, Ibu.” Ucap Sera sembari memejamkan matanya.
Berbeda dengan dua orang dewasa yang tangannya saling bertaut di atas tubuh sang putri. Sheya terus memejamkan matanya, menghitung seperti orang bodoh dalam rangka untuk menenangkan dirinya sendiri.
Deru napasnya terdengar keras, dan keringat dingin sudah mulai membasahi kening hingga wajahnya, keningnya yang mengernyit-ngernyit dengan mimik wajah yang terlihat tersiksa membuat Juna justru menatap fokus ke arah Sheya dan ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu.
Kini wajah Sheya bahkan sudah berubah pucat pasi, wanita itu berusaha mengatur napasnya supaya tidak mengganggu Anas yang baru terlelap, namun tetap saja, Juna mendengar helaan napas Sheya masih begitu keras, dan wanita itu bahkan merintih begitu lirih.
Sekitar dua puluh menit sejak tidak didengar lagi suara Anas, satu-satunya yang menjadi fokus Juna bukan lagi putrinya, melainkan wajah Sheya di mana matanya terus tertutup.
Jelas Juna tau jika Sheya hanya memejamkan matanya dan tidak benar-benar tidur, wanita itu seperti sedang menghadapi ketakutan yang semakin menyiksa namun terus dia tahan.
Dia juga bisa merasakan tangan Sheya yang berada di atas tangannya terasa begitu dingin, keringat dingin wanita itu juga terlihat semakin banyak dengan tarikan napas yang dalam.
Hingga saat dia melihat Sheya membuka mata, tatapan keduanya bertemu, dan di sana Juna mendapati seraut wajah yang semakin pucat dengan kening yang mengernyit dalam, diikuti ekspresi ketakutan.
Hingga detik selanjutnya dia melihat Sheya yang tiba-tiba bangkit dari ranjang sambil membekap mulutnya, terhuyung-huyung menuju kamar mandi dan dia bisa mendengar wanita itu muntah.
Sheya keluar dari kamar mandi tidak lama kemudian, Juna bisa melihat wajah Sheya yang semakin pucat, ada rasa kasihan yang menyusup melihat wanita itu.
“Kamu kenapa?”
“Aku kembali ke kamar, ya, Mas? Maaf aku tidak bisa tidur di sini.” Bisik Sheya menatap dengan rasa bersalah pada Sera karena mengingkari janji pada anak itu.
“Kenapa? Kamu menganggp kita benar-benar menjadi intim karena tidur seranjang? Jangan terlalu jauh.” Ucap Juna dengan tatapan yang begitu lekat.
Sheya langsung menggeleng dan dia merasakan gejolak mual yang kembali hadir sampai membuatnya membekap mulut.
“Bukan, aku … merasa tidak enak badan, Mas. Takutnya malah mengganggu Sera. Jika Sera bangun dan … mencariku … bisakah aku meminta tolong, Mas?” Tanya Sheya dengan helaan napas yang masih terasa menyesakkan.
Juna sudah akan mengajukan protesnya, namun melihat wajah Sheya yang pucat pasi, dan mimik wanita itu yang tersiksa entah karena apa, membuat Juna memilih bungkam dan menunggu Sheya mengatakan permintaannya.
“Jika Sera bangun dan mencariku, tolong telepon aku dan katakan aku ke dapur mengambil minum. Aku akan langsung datang ke sini.” Ucap Sheya dengan helaan napas yang lega.
Sekali lagi, Juna bisa melihat Sheya yang menatap dengan raut sendu ke arah Anas, Juna bisa merasakan jika Sheya merasa bersalah tidak bisa menepati janjinya pada Anas.
“Ya.”
“Terima kasih, Mas.” Ucap Sheya dan melangkah keluar dari kamar itu, meninggalkan Juna dengan segudang keterpakuannya atas apa yang sebenarnya dialami oleh Sheya.
Wanita itu terlihat sangat terguncang padahal sebelumnya baik-baik saja, sangat baik malah. Apa yang sebenarnya terjadi pada Sheya? Rasanya tidak mungkin tiba-tiba tidak enak badan.
Sedang Sheya, begitu berhasil keluar dari kamar itu, tubuhnya langsung bersandar ke dinding, dia meneteskan air matanya dan memukul-mukul dadanya yang terus mengantarkan rasa sesak.
Dia menarik napasnya dalam dan mengembuskannya panjang, begitu terus selama beberapa kali, saat dirasa dirinya sudah lumayan tenang, dia beranjak untuk naik ke lantai dua di mana kamarnya berada.
Tubuh kurus itu naik ke ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebal yang membungkus tubuhnya.
Sheya pikir, perasaan dan keadaannya sudah lebih baik, namun begitu sampai di kamar, ingatan-ingatan menyakitkan itu justru kembali mencuat dan berlomba-lomba muncul ke permukaan dan membuat dadanya sesak.
Dia pernah mengalami pelecehan seksual oleh ayah tirinya, pelecehan seksual itu awalnya dimulai dengan sang ayah yang sering mengusap lengannya, dan terus semakin gila dengan meraba bokonggnya, meremasnya bahkan sampai menggesek k*********a ke bokongg Sheya, dan puncaknya adalah dia mengalami pemerkosaan oleh ayah tirinya itu.
Sejak hari itu, Sheya tau hidupnya telah berubah total, dia sudah rusak, sangat rusak dan tidak layak dicintai. Dia kotor dan hina karena digagahi oleh pria paruh baya di usianya yang masih belia.
Dia selalu gemetar jika berdekatan dengan seorang pria, bayangan ayah tirinya tau-tau langsung tergambar di wajah pria yang ada di dekatnya, sehingga tubuhnya refleks gemetar, dia berkeringat dengan rasa mual saat kilasan bagaimana tubuhnya dijamah langsung mencuat ke permukaan.
Seperti tadi, saat lengannya dan lengan Juna saling tumpang tindih, tiba-tiba bayangan Ayahnya muncul, dan bukan wajah Juna lagi yang ada di depannya, melainkan ayah tirinya, sehingga Sheya merasakan perutnya bergejolak.
Satu-satunya laki-laki yang tidak membuatnya ketakutan adalah ayah kandungnya, yang membuatnya pelan-pelan bangkit hingga dia bisa menjalani hidupnya seperti sedia kala, walau tetap ada yang berbeda.
Setelah dia berhasil kembali menata puing demi puing harapan kehidupannya, Sheya mulai mencari hal-hal yang membuat hatinya tenang dan bahagia, salah satunya dengan menjadi guru, dan bertemu dengan anak-anak yang selalu ceria dengan wajah tulus mereka.
Selain itu, dia juga bahagia setiap melihat senyum sang ayah, dan dia juga telah berhasil memaafkan dirinya sendiri dan telah berdamai atas apa yang terjadi.
Namun, Sheya juga memiliki batasan, sekalipun dia telah menerima keadaan dirinya, dia tidak akan pernah lagi jatuh cinta pada laki-laki, orang yang mencintainya hanya akan mendapatkan dirinya yang sudah rusak.
Sheya memilih menyimpan rapat kenangan paling menyakitkan dalam hidupnya yang meninggalkan trauma mendalam, membungkusnya di kotak pandora dan mengunci kotak itu, lalu menyimpan kotak pandora itu di sudut hatinya yang paling dalam.
Laksana laut yang memiliki palung sebagai tempat terdalam yang dasarnya tidak terlihat, hati Sheya pun memiliki palungnya, di sana lah Sheya meletakkan kotak pandora paling mengerikan yang menjadi rahasia kelam dalam hidupnya lengkap dengan trauma-traumanya.
Dia sudah berhasil menjalani hidupnya dengan baik selama ini, tidak pernah lagi terusik dengan apa yang terjadi di masa lalu.
Namun, malam ini, saat akhirnya dia berada di titik di mana begitu dekat dengan seorang laki-laki, bahkan tangannya sampai bersentuhan sangat lama dan rasanya terlalu intim untuk Sheya, palung hatinya seolah mengalami gempa bumi.
Gempa bumi yang membuat kotak pandora berisi segala luka dan trauma yang selama ini sudah tersimpan rapat di sana ikut bergejolak, hingga akhirnya kembali naik ke permukaan dan membuatnya merasa begitu ketakutan.
Trauma dan luka itu masih ada, karena sesungguhnya Sheya tidak benar-benar mengobatinya, hanya menyimpannya karena selama ini dia yakin bisa mengendalikannya, selama dia tidak berdekatan dengan laki-laki semua aman terkendali.
Namun, ketenangan dan hidupnya yang sudah dia atur sedemikian apik kini terusik, dia lupa jika keputusannya untuk menikah justru akan memporak-porandakan luka lamanya, dan dia tau, kali ini dia tidak bisa mengendalikan luka dan trauma itu sebagaimana keadaan di masa lalu.