Episode 2 : Bertemu Titan

1694 Words
Episode 2 : Bertemu Titan Lantaran Sam tetap diam, pria itu tak kunjung menjawab, Ayu pun melanjutkan. “Selebihnya kalau Mas sudah ada waktu, tolong bicarakan perceraian kita dengan paman dan bibiku. Karena meski aku sudah enggak punya orang tua, merekalah penggantinya!”  “Aku sungguh hanya minta itu. Selesaikan perceraian kita secepatnya. Kembalikan aku ke paman dan bibiku, biar semuanya lega!” tambah Ayu yang tidak lain memang Tari. Setelah mengatakan itu, Ayu buru-buru pamit dikarenakan bus tujuannya sudah datang. Dan yang menyita pandangan Sam, tak lain tanda pengenal wanita itu; Mentari Ayu Puspita dan berarti nama lengkap Tari, selaku wanita yang selalu ingin Sam singkirkan dari kehidupannya, dikarenakan wajah sebelah kanan wanita itu buruk rupa.  Namun, kenapa Sam justru jatuh cinta pada wanita yang sama? Selama ini, Sam tidak pernah melihat Tari merias wajah termasuk ketika mereka menjalani ijab-qobul. Ijab-qobul yang identik dengan mempelai wanita yang sampai merias wajah. Dan mungkin karena tuntutan pekerjaan, Tari merias wajah hingga terlihat begitu cantik bahkan berbeda. Sama seperti yang Sam bayangkan ketika keluarga, terlebih almarhum ibunya menceritakan tentang sosok Tari; sangat cantik! Sungguh, Tari memang sangat cantik ketika wanita itu menjadi Ayu! *** Hujan tiba-tiba mengguyur kehidupan dengan deras tak lama setelah Tari memasuki Bus. Tari terperangah menatapnya dari jendela bus yang membawanya meninggalkan Sam. Sedangkan di belakang sana, pria berambut lurus dengan potongan rapi itu masih terdiam dengan buket mawar besar yang masih ditahan menggunakan tangan kanan. Sam masih menunduk dan terlihat sangat pasrah, terlepas dari ujung buket bunga pria itu yang sampai menyentuh permukaan lantai halte. Namun tak lama kemudian, pria berusia dua puluh sembilan tahun itu menatap kepergian bus yang membawa Tari. Meski Tari duduk di bangku bagian tengah, tetapi wanita yang kiranya memiliki tinggi tubuh sekitar seratus enam puluh senti meter itu yakin, apalagi tatapan Sam terus mengarah pada bus yang ditumpangi Tari.  Kenapa pria itu mendadak bertingkah aneh bahkan peduli? Setelah sampai meminta bertemu bahkan memberi buket besar dan sempat membuat hati Tari berdebar-debar, kini, pria bernama lengkap Sam Putra Adam itu justru melepasnya dengan tatapan kehilangan. Apa sebenarnya maksud Sam? Tari menjadi bertanya-tanya sekaligus penasaran. Sam, dengan segala kenangannya, pria yang sempat Tari jadikan sebagai satu-satunya cinta dalam kebersamaan mereka yang terbilang singkat, telah Tari kubur hidup-hidup dalam hatinya yang paling dalam. Memang terkesan kejam, tetapi lebih kejam lagi jika Tari terus membiarkan perasaannya kepada pria itu semakin berkembang. Karena jika itu sampai terjadi, Tari dengan segala kekurangannya semenjak ia menjadi wanita buruk rupa, hanya akan semakin terluka. Terlebih, dari mulut Sam sendiri, Tari mengetahui pria itu mencintai wanita lain. Sam yang sempat menjadi suaminya tidak pernah mengharapkan apalagi mencintai Tari! “Namun, kenapa tadi tatapan Mas Sam begitu hangat? Terus, kenapa juga Mas Sam sampai kasih aku bunga? Apa, ... apa dia sedang mengujiku? Mas Sam sengaja ingin mempermalukanku agar aku dipecat dari tempat kerjaku, karena dia takut, ... aku membocorkan hubungan kami?” gumam Tari yang sampai berlinang air mata lantaran hanya membayangkan semua yang ia pikirkan berikut masa lalunya dengan Sam saja, hatinya kembali terasa begitu sakit. Terlebih, tak ada lagi yang tersisa dalam hubungan mereka kecuali luka-luka yang entah sampai kapan akan bertahan? Tari segera menyeka air matanya. “Lupakan Mas Sam, Ri! Jangankan mencintaimu, menginginkanmu ada saja, dia enggak pernah! Dan ... bukankah semuanya sudah berakhir? Kamu sudah mengembalikan uangnya yang dua juta? Seharusnya, ... seharusnya sudah enggak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, apalagi sejauh ini, kamu enggak pernah membocorkan hubungan kalian seperti permintaannya, kan?” Dalam hatinya, Tari mencoba menyemangati dirinya sendiri. Meski tak lama setelah itu, wanita berambut sepunggung dan kebetulan kali ini digerai, dikejutkan oleh sebuah kain yang disapukan di sekitar wajahnya. Seseorang membantu Tari menyeka air matanya dan orang itu Titan! Tari menjadi sangat terkejut atas kenyataan tersebut. Terlebih Titan ... pria yang merupakan sahabat Tari, sekaligus adik kandung Sam, sampai bersimpuh di hadapan Tari hanya untuk menyeka tuntas setiap linangan air mata yang terlahir dari kedua mata Tari! Titan melakukannya di hadapan banyak orang. Pria muda itu langsung menjadi pusat perhatian tanpa terkecuali Tari, lantaran semua orang yang melihatnya langsung menjadikan keduanya sebagai pusat perhatian tak ubahnya adegan dalam melow drama romantis yang kerap menghiasi layar kaca, dan selalu bisa menggetarkan setiap hati yang melihatnya. Semua orang yang satu bus dengan mereka langsung menonton, bahkan ada yang sampai senyum-senyum sambil menyikut rekan di sebelahnya. “Sudah gede, masih saja nangis sembarangan. Enggak malu dilihatin banyak orang?” omel Titan sambil menatap Tari dengan wajah datar nyaris tak berekspresi. Sebuah kenyataan yang membuat pemuda itu memiliki kemiripan dengan Sam. Apalagi, keduanya juga terbilang memiliki garis wajah yang sama. Titan dan Sam. Keduanya sama-sama pendiam dan cenderung berkata tajam, meski ketika sedang menyampaikan perhatian. Layaknya sekarang, Titan meletakan sapu tangan yang sempat ia gunakan untuk menyeka air mata Tari, di sebelah tangan Tari. Pemuda dengan tinggi tubuh seratus tujuh puluh tujuh senti meter dan memiliki perawakan terbilang kurus itu, melakukannya begitu saja sebelum duduk tepat di hadapan tempat duduk Tari. Titan terus menghadap sekaligus memperhatikan Tari dengan teliti. Titan, sejak kapan pria itu ada dalam bus yang Tari tumpangi? Tari sungguh tak percaya akan bertemu Titan dalam keadaan seperti sekarang. Tak hanya perihal Tari yang sampai kepergok menangis, melainkan setelah Sam menjatuhkan talak kepada Tari, bahkan beberapa saat lalu,Tari baru saja mengembalikan uang Sam. Tari terpaksa menunduk sambil menyeka setiap air mata yang tak hentinya mengalir. Sesekali, Tari akan melirik Titan yang duduk sambil menatapnya bahkan mengawasi. Pria itu bersedekap, sedangkan sebelah kakinya sila di atas lutut.  Meski Titan belum memiliki pekerjaan mapan pun dengan penampilan pemuda itu yang tentunya tak sematang Sam, tetapi sejauh ini, Titan merupakan satu-satunya orang yang tidak pernah berubah kepada Tari. Titan tetap peduli dan sama sekali tidak pernah mengatai apalagi menjauhi Tari semenjak wajah Tari menjadi buruk rupa. Baik Tari maupun Titan sama-sama diam. Tak ada lagi obrolan yang mengikat mereka. Bahkan sekalipun Titan terus menatap Tari dengan menyelidik, berikut Tari yang juga tetap memilih menunduk, meski sesekali, Tari juga akan melirik Titan. *** Hujan belum benar-benar reda ketika bus yang Tari tumpangi berhenti di halte tujuan Tari. Tari segera beranjak dan mengembalikan sapu tangan milik Titan. Tentunya, Tari melakukannya dengan sopan. “Ini, ... makasih, ya?” Tanpa menerima, bahkan justru memalingkan wajah, Titan yang masih bersedekap berkata, “kata maaf enggak bisa menghapus air mata apalagi ingus kamu yang sudah menyatu dengan sapu tanganku. Usaha, kek ... dicuci dulu, baru dibalikkin!”  Balasan Titan sukses menohok Tari. Tari yang awalnya nyaris melangkah menjadi tidak jadi. “Dasar bawel!” balasnya tak kalah mencibir. “Ya sudah, nanti aku cuci. Apa aku kasih uang sabun sekalian biar kamu cuci sendiri?” tawarnya. Lantaran Titan justru menjadi cemberut dan bagi Tari kenyataan tersebut membuat Titan semakin menyebalkan, sedangkan bus sudah berhenti, Tari pun bergegas turun tanpa pamit bahkan sekadar basa-basi kepada Titan. Rintik gerimis masih mengguyur kehidupan ketika Tari keluar dari bus. Wanita itu segera berlari melewati pohon beringin yang terbilang rindang menghiasi sepanjang jalan menuju kontrakannya. Tari menggunakan tasnya untuk menutupi kepalanya. Hanya saja, ada yang membuat Tari merasa aneh. Tari merasa ada yang sengaja mengikuti langkahnya. Ketika Tari sengaja memelankan langkah dan menoleh ke belakang untuk memastikan, ternyata di sana ada Titan. Pemuda itu masih bersedekap sambil melangkah tegas di tengah wajah judesnya yang khas. “Enggak usah lari-lari! Nanti kamu kepleset! Tuh, sepatu setinggi itu, bahaya! Lagian kamu ngapain malam-malam keluyuran dan bahkan dandan secantik itu? Memangnya Mas Sam enggak marah kalau kamu begitu?” cerocos Titan tanpa mengubah keadaannya.  Titan benar-benar galak. Tari langsung terdiam kebingungan mendapati teguran itu. “Kenapa Titan berkata seperti itu? Memangnya Mas Sam masih belum membahas perceraian kami kepada keluarganya?” batin Tari. Akan tetapi sekali lagi, hanya memikirkan saja, hati Tari menjadi terasa begitu ngilu sekaligus sakit. “Sudahlah ... lupakan.” Tanpa menghiraukan Titan, Tari kembali berjalan cepat. Masih ada sekitar lima ratus meter untuk bisa sampai ke kontrakannya. Parahnya, Tari harus berjuang dalam melangkah mengingat hujan yang baru saja mengguyur, membuat jalanan tak rata di sana menjadi licin, sedangkan kini Tari menggunakan heels yang terbilang tinggi. Tari sungguh harus berhati-hati dalam melangkah, agar dirinya tidak terpeleset, atau fatalnya jatuh total layaknya teguran yang Titan layangkan. *** Hidup sendiri dan lepas dari Sam, membuat Tari memiliki banyak waktu santai sekaligus tenang. Tari bisa beristirahat tanpa terus berharap. Bahkan meski kejelasan status mereka juga belum bisa dipastikan.  Sesampainya di kontrakan, Tari segera menyisihkan tas berikut menggantung seragam kerjanya yang cukup basah. Di kontrakan yang tidak begitu besar itu, Tari menempatinya sendiri. Membuat keadaan selalu rapi terlebih Tari memang tidak memiliki banyak barang. Jangankan perabotan, sekadar koleksi pakaian saja, Tari tidak punya banyak. Sebagian pakaian Tari masih di kampung halaman. Pakaian-pakaian Tari masih ada di rumah bibinya selaku tempat Tari tinggal sebelum menikah dengan Sam, sedangkan ketika diboyong Sam ke Jakarta, keadaan saat itu terbilang sangat mendadak.  Pertama-tama, Tari merebus air untuk mandi. Sedangkan sambil menunggu air panas, Tari sengaja membersihkan wajahnya sebelum mengenakan masker. Santy, salah satu teman baik Tari di tempat kerja yang sampai mengajari Tari merias wajah, menganjurkan Tari melakukan perawatan wajah. Santy mengatakan, wajah selalu menjadi aset penting seseorang khususnya wanita dalam mendapatkan perhatian. Santy berharap, Tari berhenti meratapi nasib tanpa melakukan perubahan. Dan kini, karena rutinitas Tari melakukan perawatan, bekas luka di wajahnya menjadi menipis. Pun meski bekas di alisnya yang hilang, sulit untuk diobati. Akan tetapi untuk urusan alis, Tari bisa mengatasinya menggunakan pensil alis. “Hasil memang enggak memungkiri usaha!” gumam Tari. Kini, melihat wajahnya yang tak separah sebelumnya, Tari menjadi bisa tersenyum lega. Di cermin yang tak lebih besar dari wajah Tari, wanita itu mematut bayangan wajahnya dengan senyum lepas. “Pakai masker, ... mandi, terus pakai salep!” ucapnya bersemangat.  Namun, ada satu hal yang membuat Tari menjadi kepikiran. Perihal gaji bulan ini yang hanya tersisa tiga ratus ribu, karena yang dua juta sudah ia berikan kepada Sam. Mau tidak mau, Tari harus mencari pekerjaan tambahan. Tak hanya biaya untuknya makan, melainkan obat wajah berikut membayar kontrakan. Tidak lucu, kan, kalau Tari diusir dari kontrakan hanya karena tidak bisa membayar?  “Aku beneran harus mencari pekerjaan tambahan!” ujar Tari yang kembali meyakinkan dirinya sendiri. Lantas, apa yang terjadi kepada Sam, setelah pria itu mengetahui semuanya? Mengenai semua rencana indah--hidup bahagia dengan Ayu, yang justru masih wanita sama yaitu Tari? Juga, apa yang terjadi pada Titan setelah mmengetahui, Tari justru tinggal di kontrakan tanpa Sam? ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD