2. Tidak Lagi Bekerja

1013 Words
Helaan nafas terdengar begitu lirih, ke luar disela kedua bibir Raina. Wanita muda itu mendesah menatap deretan angka yang terpampang di layar ponsel miliknya. Aplikasi mobile banking yang sedang Raina buka, menampilkan sekian banyak uang yang baru saja masuk ke dalam rekening bank miliknya. Antara senang juga sedih Raina rasakan. Senang karena seumur hidupnya, ia tak pernah mempunyai uang ratusan juta. Sedih, karena uang yang jumlahnya mencapai dua ratus juta rupiah itu adalah uang pesangon yang diberikan oleh perusahaan tempat ia bekerja . Bulan ini adalah bulan terakhir Raina bekerja. Bukan keinginannya untuk berhenti bekerja, melainkan karena kebijakan perusahaan yang sedang mengurangi jumlah karyawan. Kondisi proyek yang semakin menurun drastis sehingga menyebabkan keuangan perusahaan terganggu. Oleh sebab itulah, perusahaan asing dimana selama tiga belas tahun ini menjadi tempat bernaung Raina dalam mencari nafkah, dengan terpaksa harus mengurangi jumlah karyawan jika tidak ingin perusahaan collaps saat itu juga. Raina adalah salah satu karyawan yang beruntung mendapat pesangon, karena ia terkena dampak Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh perusahaan. Jujur, ini adalah hal terberat yang harus Raina jalani. Terlebih baru empat bulan lalu Raina melahirkan anak ketiganya. Di satu sisi, Raina masih membutuhkan pekerjaan agar setiap bulan ia bisa mendapatkan penghasilan untuk menopang biaya hidup keluarganya. Akan tetapi disisi lain, sejak kelahiran anak ketiganya, Raina merasa kerepotannya bertambah luar biasa. Dia hanyalah seorang ibu dari ketiga orang anak, yang selain sebagai wanita karir juga sebagai ibu rumah tangga. Raina mengurus semuanya tanpa bantuan seorang Asisten Rumah Tangga. Mengurus rumah, memasak serta merawat ketiga anak lelakinya seorang diri. Setiap pagi saat Raina harus berangkat bekerja, maka dengan terpaksa Raina harus menempatkan anak kedua dan ketiganya di sebuah Daycare. Sementara anak pertamanya yang sudah berusia sepuluh tahun, akan dibawa oleh mobil jemputan untuk di antar ke sekolah. Jam sekolah anak pertama Raina yang fullday sehingga baru jam empat sore, Ardia, nama anak pertama Raina, baru sampai di rumah. Sedangkan Ardani dan Ardana, akan dijemput oleh Raina saat ia sepulang bekerja. Huft ... hembusan nafas berat meluncur begitu saja, membuat Indah yang duduk di samping meja kerjanya menoleh menatap Raina. Indah adalah teman satu divisi dengan Raina, dimana wanita berusia tiga puluh lima tahun itu juga sama seperti Raina, mendapatkan pesangon sebagai kompensasi pemutusan hubungan kerja yang perusahaan lakukan. "Na ... kita harus ikhlas dan sabar. Semoga kita lekas mendapat pekerjaan baru, ya," ucap Indah memberikan motivasi pada Raina juga untuk memotivasi dirinya sendiri. "Iya ... tapi entahlah rasanya aku sedih sekali harus berpisah dari kalian semua." "Aku pun sama. Pasti aku akan sangat merindukan momen-momen di mana kebersamaan kita selama ini." Keduanya dengan mata berkaca-kaca saling melemparkan pandangan, dan detik selanjutnya Indah serta Raina sudah berpelukan. *** Jam makan siang, beberapa karyawan yang jumlahnya tak lebih dari seratus orang, tengah menikmati makan siang di kantin kantor. Siang ini topik pembahasan mereka tak jauh-jauh dari seputar PHK yang akan perusahaan buat. Tentu banyak yang merasa sedih karena harus kehilangaan pekerjaan. Dan bagi karyawan yang masih terselamatkan sehingga masih bisa bekerja, juga merasa sangat kehilangan rekan kerja mereka. Sekitar dua puluh lima persen dari seluruh total karyawan yang merasakan imbas dari dampak terpuruknya perekonomian negara. Mereka harus rela kehilangan mata pencaharian utama yang dapat menghidupi keluarga. "Mbak Ina, apa rencanamu setelah ini?" tanya Dini, rekan lain divisi yang juga sama-sama harus menerima keputusan perusahaan yang memilih mem-PHK nya. Raina menggeleng lemah. Sungguh dia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Pikirannya buntu dan dia belum memiliki planning yang matang untuk rencana hidupnya ke depan. Tak terbiasa menjadi seorang pengangguran, tentunya membuat Raina sangat bimbang akan berbuat apa. Jika ia mencari pekerjaan baru, Raina tak yakin dia bisa melakukannya. Selain karena faktor usia yang tak lagi muda, sehingga kinerja otaknya juga tak secemerlang para anak muda fresh graduated. Ditambah lagi jika mencari pekerjaan baru, maka Raina harus mulai membangun pondasi baru dalam karirnya. Dan itulah yang membuat Raina tidak yakin dia mampu. Jujur, Raina sudah sangat lelah tenaga juga pikirannya untuk mengurus keluarga. "Mungkin sementara, aku akan menikmati peranku sebagai ibu rumah tangga saja," jawab Raina singkat dengan pikiran menerawang. "Kau tak mau mencari pekerjaan baru, Na?" tanya Indah. Raina mengedikkan bahu. "Entahlah. Aku belum terpikir sampai disitu. Lagipula, mencari pekerjaan baru dalam kondisi seperti ini sangatlah sulit. Dan aku tak yakin bisa melakukannya." Setelah mengatakan itu, Raina kembali menekuri makanannya dengan pikiran berkecamuk. "Andai aku mendapat pesangon sebanyak punyamu, Na. Mungkin aku lebih memilih berwirausaha saja. Sayangnya pesangonku hanya sedikit. Mana bisa buat buka usaha," celetuk Indah pada akhirnya. Raina hanya tersenyum. Memang tak dapat disembunyikan oleh Raina jika masa kerjanya yang bisa dikatakan paling lama dari rekan-rekannya, bisa dipastikan jika pesangon yang Raina terima pastilah lebih banyak. Indah yang baru bekerja lima tahun sementara Dini pun juga masa kerjanya selisih beberapa bulan saja dengan Indah. Sedangkan Raina, sejak wanita itu lulus kuliah hingga sekarang berusia tiga puluh lima tahun dan memiliki tiga orang anak, masih saja betah bekerja di perusahaan tersebut. Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Raina dalam berkarya. Dan selama tiga belas tahun itu pula, perusahaan menjadi rumah kedua bagi Raina. "Benar juga apa yang kau katakan. Kenapa aku tidak terpikir untuk berwirausaha saja. Tapi usaha apa yang sekiranya cocok buatku. Selain itu, aku bisa juga sambil mengurus anak-anak." Raina jadi kepikiran tentang usaha apa yang cocok untuk pemula seperti dirinya. " Kalau Mbak Ina mau buka usaha, sebaiknya dipikirkan kembali masak-masak. Kira-kira usaha apa yang sesuai dengan passion Mbak Ina. Jangan sampai karena Mbak Ina grasa grusu sehingga salah pilih bidang usaha. Kan, sayang duitnya Mbak, jika harus hilang tanpa hasil. Karena bagaimanapun juga uang pesangon yang kita dapat harus bisa kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya," tutur Dini kemudian. Raina tersenyum menatap Dini yang telah menceramahinya panjang lebar. Raina salut akan pemikiran Dini yang selalu penuh perhitungan dan planning yang matang. Tak heran meski Dini masih muda, baru dua puluh tiga tahun. Dan beberapa bulan yang lalu baru saja menikah. Karena keuletannya selain menjadi karyawan, di rumah pun Dini juga memiliki sebuah toko kecil-kecilan sebagai usaha sampingan. Bisa menjadi kesibukannya setelah sepulang bekerja. Dan sepertinya Raina patut mencontoh rekannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD