Aku masih duduk di dalam mobil, tepat di depan komplek apartemen kumuh milik Maria. Berusaha mengatur nafasku yang masih tersenggal-senggal karena emosi.
Khawatir akan keselamatan wanita itu, aku memang berniat untuk menjenguknya pagi ini.
Dari balik jendela mobil, aku mengamati suasana di trotoar depan gedung penuh timbunan plastik hitam berisi sampah yang di tinggali Maria. Hanya ada beberapa orang yang berkeliaran di luar apartemennya, tidak aneh mengingat hari masih terlalu pagi.
Aku keluar dari mobilku dan berjalan melewati seorang pemuda yang duduk di tangga apartemen.
Mata pria bersinglet putih itu mengikuti pergerakanku, mungkin heran melihat penampilanku yang masih acak acakan, berbaju basah keringat habis lari pagi.
Aku abaikan pandangan matanya dan terus melangkah naik menuju apartemen Maria. Kuketuk pintu apartemennya beberapa kali hingga kudengar suara langkah kaki mendekat.
Maria membukakan pintu dan langsung terkejut oleh kehadiranku. Wajahnya sembab dan memerah. Kutebak mungkin karena habis menangis semalaman.
“No..Nona Salazar? Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya.
“Kau tidak masuk dari kemarin. Aku khawatir pada keadaanmu.”
Sejenak Maria terdiam sebelum melirik keluar lorong apartemennya, seakan mengecek apakah ada orang yang mengintai. Setelah dirasanya tidak ada siapa siapa diluar, wanita itu menarik lenganku masuk ke dalam apartemen dan menutupnya.
“Tidak aman untukmu di sini, Nona. Tidak seharusnya kau datang kemari. Semua orang tahu apa yang terjadi antara Salazar dan Vito kemarin,” bisiknya.
“Kau tahu? Bahwa mungkin suamimu—“
Maria mengangguk, “Meninggal. Pastinya. Dia tidak pulang sejak kemarin. Cih! b*****t tidak berguna. Bagus untuknya akhirnya sudah pergi dari kehidupanku.”
Aku hanya terdiam. Rupanya wajah Maria yang sembab bukan di sebabkan menangisi kematian suaminya.
Wanita itu berjalan ke ruang tengah dan mempersilahkan aku duduk di sebelahnya. Kuikuti ajakannya.
“Tapi kini tanpa Mika, aku takut akan keselamatan kedua gadisku.” Lanjut Maria.
Kutebak Mika adalah nama suaminya.
“Apa maksudmu?” tanyaku bingung.
Maria mengigit kukunya terlihat gugup.
“Anak-anak, dan gadis muda sering sekali menghilang di daerah Selatan, Nona. Polisi tidak bisa berbuat apa apa. Mereka takut karena sepertinya Vito bersaudara sendirilah yang menjadi dalangnya.”
Maria menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan, “Ketika Mika masih bekerja pada Vito, keluarga ku masih aman, tapi sekarang tanpa dirinya… Aku tidak berani membayangkan apa yang akan mereka lakukan pada kami. Apalagi ada yang menyebarkan isu bahwa dirinya adalah pengkhianat dalam organisasi.”
Aku termenung mendengar keluh kesah Maria. Sudah pasti adalah gara-gara ulahku lah yang menyebabkan kacaunya keadaan wanita itu sekarang.
“Maafkan aku Maria, sudah membuat keadaan mu jadi susah. Kadang aku tidak berpikir panjang.”
“Nona,” ucap Maria meraih lenganku. “Nona hanya mencoba menolong. Semua ini bukan salah siapa-siapa kecuali Mika. Jika saja dirinya tidak berurusan dengan Vito, kami tidak akan berada di situasi seperti ini.”
Aku terenyuh mendengar ketegaran wanita itu.
“Maria,” lanjutku mencoba menawarkan solusi untuknya. Aku sudah menyebabkan wanita malang ini kehilangan suami, setidaknya aku bisa menawarkan keamanan untuknya.
“Jika kau ingin, aku bisa membawa kalian untuk tinggal di utara. Kami memiliki beberapa rumah susun yang bisa kalian tempati. Kau akan aman di sana. Paling tidak diutara semua orang takut pada Tomas.”
Wanita itu mengangkat kepalanya dan memandangku dengan mata cekungnya sebelum menjawab dengan nada kaget, “Benarkah? Kau akan melakukan hal itu untuk kami?”
Aku mengangguk.
“Kau sudah bekerja denganku bertahun tahun. Tentu saja aku akan membantumu. Sekarang bangunkan kedua anak mu dan berbenahlah. Aku akan kembali siang ini dengan Bastian untuk membantu mengangkat barang barangmu.”
Setelah Maria mengangguk setuju, aku pun berpamitan dan menyelinap keluar dari apartemen.
Baru saja aku membuka pintu mobilku hendak, tiba tiba kurasakan seseorang mencengkeram lenganku dan menodongkan benda yang tajam ke punggungku.
“Ikuti aku bila kau tidak ingin terluka, Nona Salazar!” perintah pria itu.
Dari pantulan di kaca jendela mobilku, bisa kulihat bayangan pria berkaos singlet putih yang tadi mengamatiku ketika masuk gedung.
Aku terpaksa menurut. Tidak banyak yang bisa kulakukan ketika seseorang ada di belakangmu dan menodongkan sebuah senjata pada punggungmu.
Pria itu menggiringku berjalan melewati lorong-lorong di sisi gedung apartemen sebelum mendorongku masuk ke dalam sebuah mobil van dimana sudah ada 3 orang di dalamnya, dan semuanya menggenggam pistol kecil di tangannya, terarah padaku.
Kuangkat tanganku tanda aku tidak akan melakukan perlawanan.
Pria bersinglet tadi ikut masuk dan menutup wajahku dengan sebuah sarung bantal yang di bawanya. Tak lama kemudian kudengar pintu mobil van yang dibanting tertutup dan mobil bergerak maju.
Sekitar 15 menit aku berusaha merasakan dan mengingat belokan-belokan yang kami lalui, membentuk sebuah peta di benakku. Sesuatu yang diajarkan ayahku ketika kecil.
Entah mengapa pria itu sering sekali mengajak ku bermain permainan yang di sebutnya Map Game.
Dia akan menutup mataku dengan saputangan dan mengajakku berkeliling dalam mobil. Kemudian menanyakan keberadaanku di akhir perjalanan. Jika aku berhasil menebaknya, maka ia akan membelikan apapun yang kumau di tempat yang kami tuju. Yang kebanyakan selalu berhasil kulakukan, membawa senyuman lebar di wajah ayah.
Walaupun kebanyakan jawaban dari permainannya biasanya berkisar antara toko ice cream, toko mainan, atau toko kue; tapi aku ingat satu kali, permainan kami berakhir berbeda dari biasanya.
Pada ulang tahunku yang ke 10. Ulang tahun terakhir ku bersamanya, ayah membawaku ke toko yang menjual perlengkapan camping. Berhasil menebak tujuan kami, ayah menuruti kemauanku dan membelikan sebuah pisau lipat, lengkap dengan ukiran inisial nama ku disisi nya, L.S. Pisau lipat yang kubawa kemana-mana sampai sekarang. Pengupas apelku, yang sayangnya kini kutinggal di rumah karena buru-buru.
Permainan kecil kami melatih otakku untuk membentuk sebuah peta hanya dengan merasakan belokan yang kami lewati, dan suara-suara dari jalanan. Yang rupanya cukup bermanfaat di saat seperti ini. Karena kini aku bisa menebak dengan mudah lokasi keberadaanku ketika mobil melambat.
Kota Gremlin tidak terlalu luas. Walaupun aku jarang berada di daerah selatan, tapi aku tahu ada sebuah restauran makanan Italy yang cukup terkenal di sini. Tepat di tempat mobil van ini berhenti.
Seseorang menarikku keluar dan memaksaku berjalan mengikutinya. Sedikit terseok seok karena tidak bisa melihat, aku berusaha menyamai langkah kakinya yang cepat. Sebuah tangan kurasakan menekan bahuku turun seakan memintaku untuk duduk. Perlahan ku tekuk lututku sambil meraba raba ke belakang mencari kursi.
Setelah pantatku menempel, kurasakan seseorang menyentak serung bantal yang menutupi wajahku. Membuatku berkedip beberapa saat berusaha menyesuaikan mataku ke dalam ruangan yang silau.
Hal pertama yang kulihat adalah meja stainless steel dan komporSeperti yang sering kau lihat di dapur sebuah restaurant.
Sesuai dengan tebakanku, pikirku.
Kutatap wajah-wajah di sekelilingku sebelum akhirnya kutemukan dua wajah yang kukenal.
“Al Vito dan Phil Vito,”sapaku.
“Maaf atas jemputan paksa ini, Nona Salazar. Kuharap orang-orangku tidak terlalu kasar,” jawab sang kakak, Al.
Rambut klimisnya tersisir rapi dan seperti biasa sebuah tusuk gigi tertanam di mulutnya.
“Apakah kalian masih belum puas dengan kehadiranku kemarin sehingga harus menculikku seperti ini?” tanyaku.
Al tertawa, “Adikmu buru buru menyeretmu keluar. Aku bahkan belum sempat meminta nomor teleponmu.”
Aku mendengus dan menoleh ke arah Phil sebelum bertanya, “Aku tidak punya waktu untuk bermain-main di sini, apa maumu?”
“Hei! Aku sedang mengajakmu bicara! Berani beraninya kau mengacuhkanku, Nona?” teriak Al sepertinya tersinggung oleh kelakuanku yang mungkin dianggapnya tidak menghargai dirinya.
Tapi seperti yang kutebak, Phil lah yang lebih memegang kendali. Karena pria itu kemudian menepuk pundak kakak nya memintanya untuk menenangkan diri sebelum melangkah mendekatiku.
“Nona Salazar, aku sudah mempelajari riwayat keluargamu. Ayahmu adalah Dominic Salazar dan ibumu Elena Vega. Kedua orang tuamu dibunuh ketika kau masih berumur 10 tahun oleh pamanmu sendiri yang mengirimmu dan adik mu kemari. Tolong benarkan aku jika ada kesalahan,” ucapnya tersenyum.
Dadaku mulai memanas mendengar Phil Vega membeberkan riwayat hidupku di hadapan semua orang seperti ini.
“Adikmu, bahkan bukan berdarah Salazar bukan? Kau lah yang seorang Salazar. Bisa langsung kulihat di matamu kilatan kekejaman seorang mafia yang tidak dimiliki adikmu,” lanjutnya.
“Kau salah jika meremehkan Tomas. Dia tidak akan segan-segan meremukkan kepalamu bila perlu,” selaku cepat. Sedikit tersinggung pria ini menjelek jelekkan Tomas.
“Benarkah? Kalian dulunya bukan kah hanya berasal dari kumpulan beberapa orang yang memproduksi minuman anggur bajakan dan menjualnya? Atas ide siapa kah kalian beralih ke perjudian? Pemerasan? Siapa kah yang menghajar salah satu anak buahku kemarin hingga babak belur?”
Ku tatap mata gelap Phill tanpa berkedip. Tahu bahwa aku lah yang selalu bertindak gegabah. Semua yang disebutkannya adalah karena ide ku. Jika tergantung pada Tomas, mungkin kami sekarang sedang membersihkan meja di restaurant milik pria ini sebagai pelayan. Hidup dengan tenang dan damai seperti keinginannya.
“Tidak kah kau ingin membalaskan dendam ayah ibumu?” tanyanya.
“Tentu saja. Tapi Tomas selalu... “ Aku terdiam tidak melanjutkan ucapanku.
“Selalu berusaha melarangmu?” ucap Phil melanjutkan.
Aku membuang muka berusaha tidak menjawab walau aku yakin pria itu tahu jawabanku.
“Tomas tidak mempunyai nyali seperti kita, Nona Salazar. Dengan bantuan kami, jalan mu menuju Kota Metro akan berjalan lebih mulus dan cepat. Sebuah cita-cita juga bagiku untuk melebarkan sayap keluarga Vito melewati kota Gremlin.”
“Jadi apa yang kau inginkan dariku?” tanyaku.
“Aku ingin kau menerima beban mu sebagai pemimpin Salazar dan membawa organisasimu berdampingan dengan Vito menuju Kota Metro.”
Aku mengerutkan keningku tidak paham akan keinginannya.
“Kau ingin aku menyingkirkan Tomas sebagai pimpinan Salazar?” ulangku berusaha memastikan maksudnya.
“Tepat sekali. Anggotamu terkenal akan kesetiaannya. Mereka akan mengikuti seorang Salazar siapapun itu. Ditambah, dengan persatuan antara Salazar dan Vito akan membuat keluarga kita menjadi tidak terkalahkan.”
“Maksudmu dengan persatuan?” Perasaanku mulai tidak enak ketika menanyakannya. Hanya ada satu cara persatuan antar keluarga bisa terjadi, yaitu—
“Pernikahan tentu saja. Kau masih lajang. Kakak ku juga masih lajang,” jawabnya menunjuk ke arah Al yang berdiri menyandar pada dinding.
“Hm...tentu saja...” dengusku. “Bolehkah kau beri aku waktu untuk memikirkannya? Yang kau minta dariku adalah hal yang besar, aku tidak bisa memutuskannya dalam sekejap.”
“Ah..tentu saja Nona. Boleh kamu memanggilmu Lucia?”
Aku mengangguk menjawab pertanyaan Phil.
“Seminggu kukira waktu yang cukup?”
“Ok. Sebagai tanda bahwa kau sungguh-sungguh atas dukunganmu padaku, bolehkah aku meminta janjimu atas keselamatanku dan keluarga Mika? Aku berniat memindahkan istri Mika ke Utara siang ini. Asal kau tahu, dirinya tidak merasa aman di wilayahmu.”
“Maria? Hmm aneh.. Kami selalu menjaga semua anggota kami dan keluarganya,” ucap Phil sambil menoleh kearah kakak nya yang ikut tertawa. “Tapi jika Maria ingin pindah, tentu saja aku tidak akan mempersulit. Lagipula bukankah semua Gremlin akan berada di bawah telapak kaki kita sebentar lagi?”
Phil menjulurkan tangannya ke arahku seakan hendak membantuku berdiri. Ku julurkan tanganku ke arahnya yang langsung ditarik olehnya, dan diciumnya.
“Kutunggu kabar baik dari mu, calon kakak iparku,” bisiknya di telingaku. “Dan sekali lagi maafkan aku atas kelancanganku.”
Aku masih berusaha memahami ucapannya ketika sebuah sarung bantal kembali menutupi pandanganku dan seseorang kembali menyeret-nyeretku masuk ke dalam van.
Tak lama, aku berdiri lagi di pinggir jalan di sebelah mobilku menatap van yang baru saja menculikku menghilang di belokan.
Kupikirkan lagi ucapan Phil Vito. Mengambil alih pimpinan Salazar berarti mengkhianati Tomas, walaupun aku juga tidak yakin Tomas menginginkan posisi pimpinan Salazar.
Kurasa selama ini pria itu hanya mengikuti kemauanku. Hanya bukan dari belakang, tapi dari depan. Jadi jika ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai rencana, dirinya akan terkena imbasnya lebih dulu dan melindungiku. Seolah sudah tertanam di darahnya yang seorang Guiseppe untuk melindungi seorang Salazar. Seperti ayahnya yang mati melindungi ayahku.
Mungkin jika aku memintanya, dirinya akan dengan senang hati menyerahkan kursi pimpinan padaku. Bukankah dia ingin ketenangan dan kedamaian? Sesuatu yang simpel? Hidup yang normal, dengan Ada-Mae.
Sialan! Ada-Mae!
Kenapa dadaku selalu tersayat mengingat mereka!