Tomas menganggukkan kepalanya kepada kedua Vito bersaudara sambil berjalan menarikku ke arah pintu keluar. Ricky dan Potter mengikuti dari belakang kami dengan mata tidak terlepas dari orang-orang Vito.
Aku hendak berjalan menuju mobilku yang masih terparkir di depan gedung, tapi cengkeraman tangan Tomas tidak kunjung melepaskanku.
“Ice, kau ikut mobil Bastian. Aku perlu bicara dua mata dengan kakak ku,” jawabnya dengan suara datar.
Ricky melirikku sebelum mengangguk menurut.
Tomas membukakan pintu sebelah pengemudi dan mendorongku masuk. Bisa kurasakan tenaganya yang kuat menghempaskanku ke atas kursiku sebelum pria itu membanting pintuku menutupnya rapat, lalu masuk ke belakang kemudi dan menjalankan mobil menjauhi gedung pabrik kosong itu.
Aku menyadari dirinya tidak berkendara pulang ketika kami melewati belokan menuju daerah utara, alih alih kami terus berkendara keluar dari Gremlin.
“Kemana kau akan membawaku?”
Tomas hanya diam tidak menjawab pertanyaanku. Bisa kulihat wajahnya yang masih tegang sejak awal pertemuan belum terurai.
Kesal tidak mendapatkan jawaban, kualihkan pandanganku keluar jendela. Deretan rumah mulai berubah menjadi perbukitan yang kuning dari rumput yang mengering di musim panas. Pemandangan yang sangat indah di mataku karena mengingatkanku akan perjalanan yang sering ku lakukan bersama keluargaku. Ketika aku masih memiliki keluarga.
Tomas memarkirkan mobilnya di pinggir jalan yang sepi sebelum akhirnya menoleh kearahku.
Bersiap menunggu teriakannya, aku menahan nafas. Tapi pria itu malah mencondongkan tubuh nya kearahku dan menyandarkan kepalanya ke bahuku. Lengannya melingkar ke pinggangku, memelukku lembut.
Kaget, tanganku terangkat mengelus rambut dan tengkuknya yang ada di pundakku. Bisa kurasakan badannya yang kaku mulai melemas dalam pelukanku.
Sesaat kami hanya terdiam dan berpelukan. Sesuatu yang sudah jarang kami lakukan. Jujur aku tidak begitu ingat kapan terakhir kali aku memeluknya. SMP? Entahlah.
Lenganku merangkul punggungnya yang kekar dan mengelusnya pelan. Aroma tubuhnya yang maskulin membuatku betah berlama-lama berada di dekatnya. Aku jadi teringat malam-malam dingin yang kami lalui dengan memeluk satu sama lain di panti asuhan itu. Sadar bahwa tanpa adanya Tomas, aku mungkin tidak akan bisa bertahan selama ini.
Ketika aku kecil, entah sudah berapa kali kemarahan dan kesedihan yang bertumpuk, menyebabkanku ingin membunuh diriku sendiri. Mengakhiri semuanya. Yang tentu saja setiap kali kubatalkan. Mengingat masih adanya Tomas kecil yang masih memerlukan kehadiranku dan bergantung padaku.
Mungkin ini lah yang menyebabkan tindakan cerobohku yang seakan menantang maut akhir akhir ini. Pria ini sudah tidak lagi membutuhkanku, membuatku seakan hidup tanpa tujuan.
Sebuah kenyataan yang menyakitkan.
Menjadikan satu-satunya hal yang masih menahan garis hidupku saat ini, hanyalah ambisiku untuk membalaskan dendam kedua orang tuaku.
“Sebenarnya aku tidak yakin taktikku akan berjalan sesuai perhitungan,” bisiknya sambil masih menyandarkan kepalanya padaku.
“Aku sudah memberitahu Ice dan Potter untuk menyelinapkan beberapa orang di luar gedung jika hal tidak berjalan sesuai rencana.”
Tom mengangkat kepalanya dan menatapku.
“Sialan Red! Mengapa kau selalu tidak pernah mendengarkan ku? Aku tidak berani membayangkan apa yang terjadi jika kau terluka, atau ditangkap oleh Vito bersaudara. Kau tahu, aku masih membutuhkan kakak ku.”
“Mengapa?”
“Mengapa apanya?” tanyanya balik dengan muka bingung.
“Mengapa kau masih membutuhkanku? Kau bukan lah anak kurus kerempeng yang sering di bully lagi, Tom. Kau tidak memerlukan aku untuk melindungimu.”
“Jangan gila, Red. Aku akan selalu membutuhkanmu. Hanya kau dan aku melawan dunia, ingat? Kita adalah Salazar terakhir. Kita masih harus mengembalikan nama besar keluarga kita, bukan? Aku tidak akan bisa melakukannya tanpamu.”
Aku tergelak mendengarnya mengulangi ucapan yang sering kita bisikkan ketika kecil. “Hm..kau dan aku melawan dunia, huh? Kurasa kau lebih berjiwa Salazar daripada aku, Tom. Hal yang kau ucapkan melawan Vito bersaudara tadi mengingatkanku pada Ayah. Antara Ibu dan diriku, hanya pria itu yang cukup berkepala dingin di dalam keluarga. Mungkin aku lebih cocok menjadi seorang Vega daripada Salazar.”
“Ibu adalah wanita dengan nyali paling besar kedua yang pernah ku kenal. Kau tetap lah pemegang nomor satu tentu saja,” ucapnya membuat kami berdua tertawa.
“Mempunyai keberanian seorang Vega tidak lah buruk, ditambah integritas seorang Salazar, membuatmu tidak terkalahkan.”
“Integritas?” tanyaku.
Aku mengenang kembali wanita berkulit putih di kantor ayahku. “Kurasa… ayah pernah berselingkuh dengan wanita lain.”
“Benarkah?”
“Kau ingat wanita yang bekerja pada ayah? Wanita berkulit putih dengan wajah mirip Ada-Mae?”
Tomas mengerutkan keningnya berusaha mengingat. Tapi dirinya berumur sekitar 5 tahun kala itu. Aku yakin mungkin Tomas sudah tidak ingat.
“Tidak penting kau ingat atau tidak, hanya kurasa ayah ada hubungan dengan wanita itu.” ulangku.
“Apa yang membuatmu mengatakan hal itu?”
“Entahlah..feeling. Tiba tiba saja aku teringat pada wanita itu.” ucapku sambil menundukkan kepalaku.
Tomas mengangguk, “Karena wajahnya yang mirip Ada-Mae.”
“Apakah kau mencintai Ada-Mae, Tom?” tanyaku pelan, tidak yakin siap untuk mendengarkan jawabannya.
“Hm… aku tidak yakin aku paham bagaimana rasanya jatuh cinta. Aku menikmati waktuku bersamanya. Jika itu artinya aku mencintainya maka ya..aku mencintainya, Red.”
Walau sudah menyiapkan diri, tapi tetap saja ucapan Tomas membuatku susah bernafas seakan seseorang sedang berdiri diatasku dan mematahkan semua tulang di rusukku.
“Bagaimana denganmu? Kau menemui George semalam?”
Aku mengangguk membuat Tomas melempar kan pandangannya ke depan. Wajahnya tampak tidak suka dengan jawabanku tapi pria itu tidak mengatakan apa apa. Tangannya mengelus dahi nya sebelum berkata, “Aku berniat untuk menemui Albert dalam waktu dekat.” ucapnya.
“Albert? Walikota Gremlin? Untuk apa?”
“Mungkin dia bisa sedikit menjelaskan riwayat George hingga menduduki posisi Kepala Kepolisian di Gremlin.” Jawabnya.
“Kau masih mengira George menyembunyikan sesuatu?”
“Semua orang menyembunyikan sesuatu, Red.”
Ucapannya membuatku menoleh, “Termasuk dirimu?”
“Tentu saja. Tidak kah kau menyembunyikan sesuatu dariku?”
Aku terdiam berpikir sebelum menggelengkan kepalaku. “Tidak, kau tahu semua hal tentangku. Hmm mungkin aku sama simpelnya dengan gadis yang kau kencani itu.”
Tomas tergelak mendengar jawabanku. “Mungkin bahkan kau sendiri tidak menyadari bahwa kau memiliki rahasia Red. Kau adalah wanita paling rumit yang pernah kutemui.”
Ucapan Tomas membuatku berpikir. Begitu berbedanyakah aku di hadapan pria ini jika dibandingkan gadis yang menjadi kekasihnya itu.
Tangan Tomas yang terulur menyentuh bibirku membuyarkan lamunanku.
“Bibir mu berdarah lagi,” ucapnya sambil mengelus ujung bibirku dengan jempolnya sementara telapak tangannya yang lebar mengelus pipiku.
Kututup mataku dan kutahan nafasku setengah berharap pria itu tidak memindahkan sentuhannya pada wajahku. Aneh bagaimana sebuah sentuhan kecil dari tangannya bisa membuat waktu serasa berhenti di benakku.
“Kau tampak lelah,” ucapnya sambil melepaskan belaiannya.
Aku membuka mata menatapnya. Ada sedikit perasaan kecewa terlintas di benakku karena berakhirnya belaian dari nya.
“Bolehkah aku ikut menemui Albert?” ucapku setelah berhasil menghalau rasa sedihku.
“Sudah lama aku tidak menduduki wajahnya.” Sambungku sambil tertawa.
“Apa??” tanya Tomas kebingungan.
“Aku pernah rebutan coklat dengan Albert, yang berakhir dengan pantatku menempel ke wajahnya,” jawabku memutar balik memori yang paling kuingat dari Albert. Teman sepanti asuhan kami yang kini menjadi walikota Gremlin.
“Hm… Baiklah, kurasa kita bisa melakukan reuni kecil-kecilan dengan Albert. Sudah lama sekali aku juga tidak bertemu dengannya sejak ia menduduki posisi walikota.”