“Kalo aku dapet proyeknya, tidur denganku,” bisik Axel.
“Axel!” pekik Siena sedikit keras.
Tentu saja suara itu langsung membuat tamu yang duduk di sekitar Siena dan Axel langsung menoleh ke arah mereka. Melihat kejadian ini, tentu saja Siena jadi tidak enak bercampur sedikit malu.
Siena melihat sekitar sebentar sambil meminta maaf melalui mimik wajahnya dan senyum menahan malunya.
Axel yang duduk di samping Siena, hanya bisa tersenyum menertawakan Siena. Dia tahu pasti saat ini Siena sedang malu, tapi dia pura-pura tidak peduli.
Siena sedikit mendekat ke arah Axel. “Awas kamu ya! Sekali lagi kamu bilang gitu, aku bakalan bilang ke papamu!” ancam Siena sedikit berbisik di telinga Axel.
Axel tersenyum tipis, mencemooh ancaman tidak berguna itu. Dia sangat tahu kalau papanya pasti akan membelanya, karena papanya lebih takut kehilangan dia.
Sepanjang acara, mood Siena rusak. Dia yang tadinya sempat merasa bangga pada Axel, mendadak menjadi kesal lagi.
Tapi Siena tidak bisa mengabaikan acara penting ini. Dia mencoba memperkenalkan Axel ke para kenalannya. Setidaknya, saat nanti dia pergi dari perusahaan, Axel sudah benar-benar mengenal mereka.
Tanpa terasa, malam kian larut. Acara juga sudah ditutup dengan makan malam bersama.
“Kita pulang,” bisik Siena di dekat Axel.
“Hem,” jawab Axel yang lebih mirip terdengar seperti suara deheman.
Siena menyuruh Axel berpamitan pada rekan bicara mereka. Kali ini Siena sedikit senang karena Axel menurutinya.
Siena menyandarkan tubuhnya di jok mobil. Radanya lelah sekali malam ini. Lelah fisik dan mental.
“Lain kali kalo ada klien itu yang sopan. Kamu masih muda, jadi harus lebih punya tata krama,” omel Siena saat mobil sudah mulai melaju.
“Gak penting,” jawab Axel yang juga ikut bersandar sambil memejamkan matanya.
Siena menegakkan tubuhnya dan langsung menoleh ke Axel. Namun entah mengapa, kalimat kasar yang hendak dia layangkan ke Axel, terhenti begitu saja di tenggorokannya.
Mata Siena menangkap wajah tampan yang terlihat sangat menawan itu di bawah temaramnya pencahayaan mobil. Wajah yang dulu sangat dia nikmati dan sama sekali tidak terlihat menjengkelkan.
“Kalo mau cium, bilang aja,” ucap Axel tiba-tiba.
Bak di siram air dingin, akal sehat Siena mendadak kembali. Dia langsung melengos dan kembali bersandar.
“Najis!” jawab Siena kesal.
“Jangan samakan pekerjaan di sini dan di Amerika. Bertingkahlah seperti orang lokal,” lanjut Siena memberikan peringatan.
Axel memilih tidak menjawab. Dia sedang tidak berminat untuk berdebat dengan ibu tirinya.
Sepi. Keadaan di dalam mobil terasa sangat tenang, tanpa pertempuran dua orang itu.
Saat mobil yang dinaiki Siena dan Axel berhenti di lampu merah, mata Axel melihat ke arah pasangan muda yang ada di mobil sebelah.
Pasangan itu bercanda, bahkan si pria tidak sungkan untuk memeluk dan mencium pipi kekasihnya saat mereka sedang bercanda. Pemandangan itu tiba-tiba mengingatkannya pada sosok wanita yang dulu pernah dia cintai.
Wanita yang membuatnya tidak membutuhkan orang lain lagi di hidupnya yang berantakan. Wanita sederhana yang mampu membuatnya bahagia dan dicintai.
“Liat itu,” ucap Axel pelan tanpa memindahkan pandangannya dari pasangan di mobil sebelah.
“Heeem?” tanya Siena sambil menoleh.
Siena mengikuti arah pandang Axel yang tidak melanjutkan lagi ucapannya. Dia melihat pasangan di mobil sebelah sesaat lalu kembali mengabaikannya setelah dia menyakini tidak mengenal mereka.
Axel melihat ke arah Siena. “Gak pengen ngulang lagi?” tanya Axel pelan.
Siena menoleh dan menatap tajam ke arah pria itu. “Bangun dari mimpimu, pengkhianat. Aku ibumu sekarang!” tegas Siena.
“Pengkhianat? Kenapa kamu selalu bilang aku pengkhianat. Aku salah apa? Kam—“
“Axel!” bentak Siena dengan sisa tenaganya.
“Gak usah dibahas lagi. Semuanya udah lama selesai!” Siena menarik garis batas agar Axel tidak lagi membahas tentang kenangan mereka dulu.
“Tapi jel—“
“Diem gak! Penjelasan kayak apapun juga, gak akan merubah apa pun. Aku lelah, gak usah berisik!”
Siena memejamkan matanya. Dia tidak ingin diganggu lagi oleh suara tidak penting Axel.
Axel mendengus kesal. Dia sejak dulu selalu saja disalahkan menjadi pengkhianat oleh Siena, padahal dia tidak tahu apa maksud kekasihnya saat itu.
Jiwa muda yang masih sangat egois, membuat Axel langsung menyetujui perpisahan mereka. Dia segera terbang ke Amerika untuk melupakan Siena yang membuatnya kesal, berharap saat dia kembali, Siena akan melunak lagi.
Tapi nyatanya, dia malah menemukan sosok kekasihnya itu di rumahnya. Menjadi istri pria yang sangat dia benci. Dan kini, dia sangat bertekad akan menghancurkan keduanya.
***
Chelsea menghempaskan tangannya di atas tempat tidur sambil mendengus kesal. Dia baru saja mendapat kabar dari temannya kalau nanti malam dia diajak untuk menghabiskan malam di sebuah club malam.
Biasanya Chelsea akan bersemangat dengan undangan seperti ini, tapi kali ini tidak. Tentu saja semua karena dia tidak memiliki uang.
“Chelsea, ayo bangun. Nanti kamu telat ke kantor loh,” panggil Sarah, ibu Chelsea.
“Iya,” jawab Chelsea pelan.
Chelsea berjalan pelan keluar dari kamar. Dia memasang wajah cemberut, karena paginya sudah dimulai dengan hal yang membuatnya kesal.
Sarah melihat ke arah putrinya yang duduk di depannya. Wajah cantik putrinya itu terlihat kusut dan tidak bersemangat.
“Kamu kenapa?” tanya Sarah.
“Tau ah!” jawab Chelsea ketus sambil mengambil roti bakar di piringnya.
“Kamu kenapa? Kenapa pagi-pagi udah cemberut. Marahan lagi sama pacarmu yang gak berguna itu?”
“Apaan sih, Mama. Bukan masalah itu,” bantah Chelsea tidak suka kekasihnya dilibatkan.
“Trus kenapa?”
Chelsea meletakkan lagi rotinya. Dia membersihkan mulutnya dulu dengan air putih, sebelum dia bercerita.
Chelsea pun mulai menceritakan apa yang dilakukan Siena kepadanya. Dia ingin mendapat bantuan dari mamanya, yang juga punya hubungan dengan Irwan Wijaya.
“Siena lakukan itu ke kamu? Kurang ajar banget tu orang. Sombong banget dia sekarang,” geram Sarah yang juga ikut kesal pada Siena karena sejak Siena datang ke rumah Irwan, dia tidak bisa mendapatkan uang dari Irwan kapan pun dia mau.
“Itu dia, Ma. Dia harus dikasih pelajaran. Dia udah semena-mena sama Chelsea. Gimana pun juga kan Chelsea juga anak papa.”
“Iya. Kamu benar. Kita harus buat perhitungan sama wanita siluman itu. Cepat habiskan sarapanmu. Kita ke rumah Wijaya!” perintah Sarah.
“Tapi Ma, di sana ada Axel,” ucap Chelsea lagi.
“Ya emang kenapa kalo ada dia. Dia itu kakak kamu. Dia harusnya belain kamu.”
“Tapi kemaren dia malah nyuruh Siena buat mecat Chelsea, Ma.” Chelsea kembali mengadu.
“Apa? Dia mau kamu di pecat?” ucap Sarah kaget yang hanya dijawab dengan sebuah anggukan oleh Chelsea.
Sarah melepaskan napasnya pelan dan berat. Dia mengerutkan kedua alisnya hingga hampir bertemu.
“Kita ke rumah Wijaya. Mereka harus diberi pelajaran!”