Bab 15

2337 Words

Kania berhenti mengaduk sayur di dalam panci. Uap panas mengepul, menampar wajahnya, menyamarkan rona merah yang tiba-tiba muncul. Kalimat terakhir yang meluncur dari mulut Hans membuat tubuhnya mematung sesaat. Matanya terasa panas—bukan karena uap dari sayur, tapi karena luka yang kembali dibangkitkan. Hatinya perih. Hal seperti ini seolah sudah menjadi kebiasaan setiap kali ia berkunjung ke rumah megah milik kakeknya. Tak ada yang peduli pada perasaannya di sana. Tidak satu pun. Kania selalu menjadi bahan perbandingan dengan adik-adiknya yang terus dipuji dan dijunjung tinggi di mata keluarga Hans. Yasmin menoleh sekilas, menatap putrinya dengan senyum hambar. Ia tahu betul, kalimat sederhana dari suaminya itu mampu mengubah raut wajah Kania hanya dalam sekejap. “Maura memang penur

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD