Chapter 13

1316 Words
Atha kedatangan klien pertamanya untuk hari ini. Dave hanya terus memperhatikan Atha sambil duduk di kursi yang tidak jauh dari meja kerja Atha. Gadis itu terlihat begitu serius mendengarkan keluhan kliennya itu. Dave tak menyangka, bahwa dirinya akan merasa ketagihan memandangi wajah Athanasia. Padahal, sebelumnya ia sempat menganggap Atha adalah gadis gila yang sama sekali tidak terlihat seperti seorang psikiater. "Jadi, Tuan merasa ketakutan setiap kali melihat istri anda menangis? Begitu?" Atha bertanya pada kliennya, dijawab anggukan dari orang tersebut. Atha sedang mencatat berbagai keluhan orang itu, ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Bahasa Atha yang mudah dipahami oleh setiap orang yang datang berkonsultasi padanya. Membuat Dave merasa kagum. Ternyata, dibalik sikap cengeng dan hatinya yang rapuh, Atha tetaplah seorang pakar psikologi. Setelah kurang lebih tiga puluh menit kliennya berkonsultasi, akhirnya selesai juga konsultasi jam pertama. Saat ini waktunya klien berikutnya. Dave padahal sejak tadi hanya duduk memperhatikan Atha, tapi kenapa dia sama sekali tidak merasa bosan? Malah dia ingin terus memandangi Atha, kecemasannya benar-benar hilang. Ia tidak merasa was-was seperti sebelumnya. "Tuan Dave, apa kamu sudah mulai bosan?" Atha tersenyum bertanya pada Dave yang sejak tadi terlihat diam saja. Sembari menunggu klien berikutnya. "Ah, aku tidak merasa bosan. Aku sambil memperhatikan Nona, aku juga belajar sedikit demi sedikit tentang ilmu kejiwaan, boleh kan? Nona Athanasia," Atha tertawa kecil sambil menyelipkan anak rambut ke sebalik telinganya, hingga Dave lagi-lagi terpesona dengan kecantikan alami yang dimiliki Atha. "Syukurlah, kalau memang Tuan Dave tidak merasa bosan, aku harap setelah ini kecemasan yang kamu rasakan sebelumnya, perlahan menghilang," tutur Atha, dan tidak lama kemudian pasien berikutnya datang. Dave pun mengangguk, "tentu, sudah ku katakan, semua karena dirimu. Nona," Atha mendadak merona. Tapi tidak boleh terus merona seperti itu, kliennya kali ini terlihat begitu berbeda. Sorot matanya mengintimidasi setiap mata yang menatapnya. "Nona, ada yang bisa saya bantu?" Atha menyapa klien berikutnya, dia seorang wanita kira-kira umurnya mungkin sama dengan Atha. "Bisakah kamu memberikanku resep obat penenang?" Wanita tersebut menatapnya dengan pandangan kosong dan begitu dingin. "Aku butuh dalam dosis yang tinggi, berikan sekarang." Belum sempat Atha menjawabnya, wanita itu terus mendesak Atha agar memberikan obat penenang dosis tinggi. "Berikan padaku, kata suamiku aku harus datang ke psikiater atau psikolog. Kata dia, aku ini tidak waras, aku tidak berguna dan aku stress. Apa salahku, aku hanya merasa hidupku sendirian setelah menikah. Aku tidak punya teman lagi, suamiku melarang ku bergaul dengan teman-temanku, suamiku melarang ku bersenang-senang dengan uang tabunganku. Aku tidak pernah meminta uang darinya, aku bekerja dan memiliki tabungan atas nama pribadiku sendiri. Tapi, dia selalu saja marah, selalu saja mencurigai ku yang tidak-tidak. Aku lelah, sangat lelah, aku ingin mati saja. Aku meminta cerai, tapi dia tidak mau menceraikan ku. Lalu aku harus bagaimana?" Atha sudah biasa menemukan masalah seperti di alami oleh wanita yang saat ini ada di hadapannya itu. Emosional yang tidak terkendali karena sebuah kekecewaan dalam hubungan rumah tangga. Hal itu yang paling sering ia temukan, dalam keluhan beberapa klien sebelumnya saat ia masih dalam masa percobaan profesi dulu. Dengan penuh kehati-hatian, juga senyum yang lembut. Atha menggenggam tangan wanita itu, mengelusnya perlahan. "Apa masih ada yang ingin di keluhkan? Keluarkan saja semua yang mengganjal dihatimu, setelah itu akan aku berikan beberapa kiat untuk membuatmu lebih tenang tanpa obat-obatan, jangan pernah mengkonsumsi obat penenang, jika kamu masih dapat berbicara, masih dapat menangkap ucapan orang lain kepadamu, apa kamu mengerti?" Wanita itu menangis, lalu kemudian ia menganggukkan kepala, "lalu, sekarang aku harus bagaimana? Aku tidak ingin seperti ini terus, aku tidak sanggup melanjutkan pernikahanku dengannya." Atha mungkin belum menikah, bahkan ia sendiri baru saja mengalami patah hati karena sebuah pengkhianatan mantan kekasihnya. Tapi, masalah seperti ini sudah sering ia temui. "Nona, bahagiakan dirimu sendiri dan bersikaplah lebih tenang. Bagaimana caranya agar dirimu mendapatkan ketenangan? Aku memiliki saran untukmu. Kalau kamu memang memiliki uang tabungan sendiri, maka gunakanlah uang tersebut untuk sekedar memanjakan dirimu, bicarakanlah dengan kepala dingin, apa yang menjadi keluhan mu kepada suamimu. Percayalah, jika Nona mau bersikap lebih tenang saat berbincang dengan suami Nona, dia akan mendengarkan mu. Jadi, jangan berbicara dengan penuh penekanan dan emosional. Setiap rumah tangga pasti mengalami ujian tersendiri. Tidak ada yang selalu berjalan mulus. Terlebih kalian masih baru dalam membangun sebuah keluarga. Kalau seperti ini saja kamu merasa gagal dan tidak sanggup, tidak akan ada yang menjamin saat kamu bercerai dari suamimu yang sekarang, kelak pernikahan yang berikutnya kamu akan merasa bahagia, apa sampai disini kamu memahami maksudku? Nona," Wanita itu terdiam untuk sejenak, ia tertunduk. Atha menunggu sampai wanita itu menjawabnya, ia paham bahwa bukan hal yang mudah memberi masukan kepada orang yang sedang merasa tertekan dan depresi. Dave masih memperhatikan seksama semua sikap dan perkataan Atha, ia semakin mengagumi semua gerak gerik gadis itu. Sikapnya yang ternyata begitu lembut saat menghadapi kliennya. Membuat Dave membuang semua pikiran yang sempat terbesit tentang Atha yang ceroboh dan gila. Mendadak ia ingin tertawa, saat teringat Atha yang begitu tertekan dalam kondisi mabuk, berteriak di atas jalan raya. Sungguh bodoh pria yang telah menyia-nyiakan gadis seperti Atha, bahkan terlalu bodoh menurut Dave. "Nona, kenapa Nona bisa tau kalau saya berbicara pada suami saya dengan penuh emosional dan menekannya? Padahal, saya tidak menceritakan hal itu pada Nona," tanya wanita tersebut. Atha tersenyum sambil mengelus lagi punggung tangan wanita itu. "Nona, aku dapat melihatnya dari sorot matamu, yang dipenuhi amarah saat berbicara. Tapi itu dapat aku pahami, dari kondisimu, sungguh itu bukan salahmu. Tapi, cobalah untuk berdamai dengan emosimu, lalu mulailah berbicara dengan lebih lembut pada suamimu, aku yakin dia akan mengerti. Kamu tidak butuh obat penenang, karena sesungguhnya ketenangan itu ada pada dirimu sendiri," Wanita itu mengangkat sudut bibirnya, seolah sudah mendapatkan solusi untuk masalahnya. Ternyata, ia hanya butuh seorang pendengar yang bijak seperti Atha. Tentu saja wanita itu berterima kasih, karena usahanya mendatangi psikiater tidak sia-sia. Ia bertemu Atha yang begitu lembut dan dapat memberinya solusi, memberinya sebuah ketenangan. "Terima kasih, Nona Athanasia. Aku beruntung karena dapat bertemu denganmu, semua ucapan mu akan selalu aku ingat, semua masukan yang kamu berikan sangat berguna untukku, saat ini aku merasa lebih tenang." Wanita itu menggenggam tangan Atha, wajahnya sudah berubah drastis, berbeda tidak seperti saat pertama ia masuk tadi. "Aku senang karena kamu mau menerima pendapatku, jangan sungkan untuk berbagi cerita, jika menyimpannya membuatmu tertekan, okey?" "Terima kasih, Nona. Aku sangat berhutang padamu, kalau begitu saya permisi dulu, sampai jumpa, Nona Athanasia," "Sampai jumpa, hati-hati di jalan," Atha melambaikan tangan dengan senyuman yang mengembang. Ia menghela napas lega, akhirnya wanita itu tidak lagi tertekan, beruntung wanita itu dapat menerima pendapatnya, batin Atha. Dave bertepuk tangan pelan, sambil mengangkat dua ibu jarinya. Atha tertawa melihat ke arah Dave. "Ada apa? Kenapa tepuk tangan, hm?" "Nona, benar-benar mengagumkan. Padahal tadi dia terlihat begitu depresi. Sudah ku katakan, bahwa kamu memiliki aura penenang, bagi siapa saja yang ada di dekatmu," tutur Dave sambil menatap Atha begitu lekat. Atha memalingkan wajahnya secepat mungkin saat senyuman Dave membuat jantungnya kembali berdebar-debar. "Aku seorang psikolog. Tentu kalau tidak dapat membuat klien merasa tenang, maka aku sudah gagal," sahut Atha sambil mengatur napasnya yang terasa sesak, "ada apa denganku," gumamnya. Dave mendekati Atha, begitu dekat lalu menatap kedua mata Athanasia. "Ada apa, Tuan Dave?" Atha semakin gugup saat Dave menatapnya dengan pandangan yang berbeda dari sebelumnya. "Nona, apakah aneh jika dua orang yang baru saling mengenal, baru bertemu dan berbicang beberapa kali saja. Lalu diantara mereka terdapat rasa suka, bisakah kamu menjawabnya?" Atha terdiam, mendadak ia bisu. Ia tidak tahu harus menjawab apa, kenapa ia seolah berubah bodoh, tidak tahu maksud pertanyaan Dave barusan. "Nona, sepertinya aku menyukaimu," Belum mereda saat jantungnya berpacu, kedua mata yang saling menatap satu sama lain. Atha seolah dikunci, ia tak dapat mencerna ucapan Dave tersebut. "Apa maksudmu?" Dave menggenggam kedua tangan Atha. "Nona, aku menyukaimu," Kali ini dapat di pastikan bahwa telinganya tidak bermasalah, pria itu benar mengatakan perasaan suka terhadapnya. Tapi, kenapa Atha malah merasa ketakutan. Apa yang terjadi pada perasaan Atha saat ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD