Satu permintaan

1079 Words
Arga menggenggam tangan wanita yang paling ia hormati, wanita yang dulu berjuang mempertaruhkan nyawa saat melahirkannya. "Bunda, jangan sampai kecapaian lagi, ya." Arga menatap lembut wanita paruh baya yang terbaring lemah. "Bundamu itu kalau ngerjain sesuatu suka lupa waktu. Yang bikin Ayah khawatir itu Bunda punya penyakit jantung. Ayah takut kenapa-kenapa." Atmaja duduk di sebelah istrinya. Ia bersyukur Sang Istri telah sadar setelah sempat pingsan. Kondisinya juga sudah lebih baik meski masih terlihat lemah. "Ayahmu yang terlalu khawatir, Arga. Bunda cuma kelelahan biasa." Arimbi tersenyum. Ia tak ingin keluarganya khawatir. Keyara bersyukur kondisi ibu mertuanya sudah membaik. Arimbi mengarahkan netranya pada menantu kesayangannya. "Kamu dan Key jadi ikutan repot-repot ke sini." "Sama sekali nggak repot, Bun." Keyara menarik satu senyum manis. "Arga, Key, Ayah harus berangkat ke Australia untuk mengurus bisnis Ayah di sana. Ayah nggak bisa ninggalin Bunda tanpa pengawasan. Sedangkan Bunda nggak mau ikut ke Australia. Kondisi kesehatannya juga sedang tidak baik. Jadi Ayah ingin kalian menjaga Bunda. Nanti biar kalian tinggal di rumah kami atau Bunda yang tinggal di rumah kalian." Atmaja menatap Arga dan Keyara bergantian. "Berapa lama Ayah di Australia nanti?" tanya Arga. Tentu ia tak keberatan jika bundanya ikut tinggal bersamanya. Namun, itu artinya ia dan Keyara harus berpura-pura bahwa pernikahan mereka baik-baik saja. Perceraian yang sempat dibahas Keyara, agaknya harus dibicarakan lain waktu, menunggu keadaan Arimbi benar-benar membaik. "Mungkin satu sampai dua bulan, Arga. Kalian tidak keberatan, 'kan?" Keyara menyunggingkan satu senyum. "Tentu tidak, Ayah. Saya senang jika Bunda ikut tinggal bersama kami." Atmaja merasa lega. Tak lama kemudian, datang seorang yang sangat Arga benci. Alvin Dirgantara, adik satu ayah yang berpenampilan nyentrik dengan tato di tangan kirinya dan tindik menghiasi telinga kirinya. Ia menghambur menjabat tangan Atmaja lalu memeluk Arimbi. Arga benci melihat keakraban Alvin dan orang tuanya. Lestari, ibu Alvin yang juga istri kedua Atmaja telah meninggal lima tahun yang lalu. Yang Arga tahu, bundanya dan Lestari tak pernah benar-benar akur meski di depan orang-orang, keduanya menunjukkan interaksi yang baik. Yang membuat Arga heran, Arimbi begitu mudah menerima anak dari istri kedua ayahnya. Di mata Arga, Alvin hanya mencari muka. Pemuda berandal itu memilih tinggal di kontrakan dan menggeluti usaha bengkel. Ia memiliki dua bengkel dan cukup laris. Memang ulet, tapi Arga tak suka dengan penampilannya yang urakan. "Bunda gimana keadaan Bunda? Maaf, Alvin tadi baru tutup bengkel jadi telat ke sini." "Tidak apa-apa, Alvin. Kamu nggak perlu khawatir. Ayahmu ini suka khawatiran. Bunda cuma pingsan karena kelelahan, semua anak-anaknya ditelepon." Arimbi tersenyum dan melirik Atmaja yang masih memasang tampang cemas. "Ayah melakukan hal yang benar, Bunda. Memang seharusnya anak-anaknya dikabari." Alvin lega melihat Arimbi sudah membaik. Waktu Atmaja menghubunginya, Alvin khawatir bukan kepalang. Meski Arimbi bukan ibu kandungnya, tapi Alvin menghormati dan menyayangi Arimbi layaknya ibu kandung. Itulah yang membuat Arimbi mudah menerima kehadiran Alvin. Pemuda itu memang terlihat urakan di luar, tapi ia memiliki hati yang baik dan tulus. Alvin menoleh ke arah Keyara dan Arga. Ia tersenyum tipis. "Sudah lama Kak Arga dan Kak Key?" tanya Alvin santun. Ia tahu, Arga tak menyukainya. Namun, ia tetap menjaga hubungan baik dengan kakaknya. "Nggak juga, Vin. Kami juga belum lama datang." Keyara menanggapi pertanyaan adik iparnya, sedangkan Arga sama sekali tak mau melirik Sang Adik. Alvin melanjutkan percakapannya dengan Arimbi dan Atmaja. Pemuda nyentrik itu selalu bisa memecah kebekuan dengan candaannya yang selalu bisa membuat Arimbi dan Atmaja tertawa. Begitu juga dengan yang dirasakan Keyara, ia ikut terhibur dengan lelucon-lelucon yang dilontarkan Alvin. Arga menggandeng Keyara keluar ruangan. Ia ingin bicara empat mata dengan Keyara mengenai rencana bundanya yang akan tinggal di rumah mereka. Keyara tertegun memandang tangan Arga yang menggandengnya. Ada sesuatu yang menjalar dan membuatnya bergetar. Arga memilih tempat agak jauh. Mereka duduk di bangku panjang yang ada di koridor lain. "Key, Bunda akan tinggal bersama kita. Itu artinya kita harus berpura-pura baik-baik saja selama sebulan sampai dua bulan. Setelah Ayah kembali dari Australia, kita bicarakan lagi pembicaraan kita yang tertunda." Keyara diam sejenak. Ia dan Arga sudah terbiasa berpura-pura baik-baik saja di depan mertuanya. Ia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk benar-benar memperbaiki hubungannya dengan Arga. "Mas, apa boleh aku minta sesuatu?" Arga menatap Keyara dengan pandangan bertanya. Ia pikir sekarang Keyara sering kali meminta sesuatu. "Minta apa?" "Aku ingin kita tidak hanya berpura-pura baik-baik saja di depan Bunda, tapi ketika tidak ada Bunda pun, kita berpura-pura baik-baik saja. Artinya kita benar-benar memainkan peran kita sebagai suami istri yang sebenarnya." Arga mengernyitkan dahi. Ia belum mengetahui sepenuhnya maksud dari pembicaraan Keyara. "Setelah masuk kamar, kita akan kembali menjadi orang asing. Kita tidur saling memunggungi dan jarang sekali bicara. Seingatku kita hampir tak pernah bicara dalam situasi normal dengan nada bicara yang normal. Aku selalu melihat kebencian di mata Mas Arga. Nada bicara Mas Arga kadang ketus, kadang datar, dan kadang meninggi." Keyara mengembuskan napas pelan. Arga masih menunggu hingga Keyara selesai bicara. "Aku ingin selama Bunda tinggal bersama kita, kita bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa di masa lalu. Kita pura-pura lupa akan masa lalu. Anggap saja Mas Arga tidak mengenalku di masa lalu. Dan kita benar-benar bersikap layaknya suami istri pada umumnya. Aku memasak untuk Mas Arga, Mas Arga pamitan setiap kali berangkat kerja, dan aku akan menjabat tangan Mas Arga. Kita akan menyempatkan waktu berbincang sebelum tidur. Jika Mas Arga tak mau bicara, mungkin bisa diawali dengan mendengarku bicara. Aku rasa ada banyak hal yang tidak diketahui Mas Arga tentang kehidupanku. Aku ingin Mas Arga mau mendengarku saat aku membicarakan suasana sekolah tempatku mengajar, pekerjaanku, atau apa saja. Aku juga akan mendengarkan semua perkataan Mas Arga. Aku ingin Mas Arga terbuka untuk berbincang tentang pekerjaan Mas Arga atau bahkan hal-hal yang terkesan sepele dan ringan." Arga menyipitkan mata. Ia pikir ini permintaan yang sangat absurd mengingat hubungannya dan Keyara memang tidak pernah baik. Bagaimana bisa ia bersikap sebagai benar-benar suami dan mereka akan berpura-pura lupa pada masa lalu? "Kita asing satu sama lain. Sebelum kita benar-benar berpisah, aku hanya ingin kita bisa sedikit mengenal pribadi masing-masing tanpa harus terpaku pada masa lalu. Aku juga ingin menciptakan kenangan yang baik dan indah sebelum kita berpisah di waktu yang tepat." Keyara mengakhiri kata-katanya. Ia menatap Arga datar. Ia tak yakin Arga akan menyetujui kesepakatan ini. Tidak ada salahnya mencoba. Ini adalah keinginan terpendam Keyara, di mana mereka bisa menjalin hubungan baik tanpa terganjal getirnya masa lalu. Setidaknya nanti, mereka berpisah secara baik dan tak menyimpan dendam atau kebencian. Meski Arga merasa ini permintaan konyol, tapi ia menyanggupi. Ya ia anggap ini permintaan terakhir Keyara sebelum mereka berpisah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD