1

1184 Words
Di sebuah universitas terbesar di ibukota Jakarta, sedang duduk seorang gadis berwajah manis dengan bentuk wajah oval, berkulit putih, dengan bibir berwarna merah yang dipadukan dengan sedikit olesan lipstik natural di bibirnya, kerudung berwarna soft cream menambah kecantikan di wajahnya. Dia duduk menyandarkan tubuhnya ke teralis tangga sambil membaca buku yang ada di tangannya, seorang perempuan tiba-tiba mendekati dia dengan langkah cepat dan langsung duduk di sampingnya. “Rania, lu mau nggak kerja jadi tour leader? Kan lu lumayan pintar.” Tanya Rosa teman sekampus Rania. “Kalau terikat waktu gua gak bisa, kan kita kuliah,” jawab gadis yang ternyata ketika tersenyum terlihat makin cantik parasnya. “Nggak kok, lu bisa pilih hari kapan lu bisa bertugas.” “Gajinya gimana?” “Di hitung per hari, seaktif yang lu bisa.” “Wah boleh gitu, aku daftar ya.” “Oke, nanti pulang kuliah kita ke sana.” *** Seperti janjinya Rosa, dia datang menjemput Rania dan langsung pergi ke tempat yang sedang membutuhkan pekerja. “Selamat bekerja ya, semoga betah bekerja sama di sini,” ucap Pak Wibowo sebagai bos perusahaan sambil berjabat tangan dengan Rania. “Iya Pak, terima kasih banyak bapak sudah mau menerima saya yang masih pemula,” jawab Rania. “Sama-sama.” Akhirnya Rania mendapatkan pekerjaan yang bisa di sambi dengan kuliah, dia sangat ingin bekerja, tapi orang tuanya tidak pernah memberi izin untuk dia, karna selama ini belum ada pekerjaan yang bisa bekerja paruh waktu dari hari kuliahnya. Rania keluar dari ruangan untuk menemui Rosa. “Bagaimana, diterima atau nggak?” tanya Rosa yang menunggu Rania di luar. “Di terima dong, bahkan aku sudah bisa bekerja mulai besok pagi.” “Wah, selamat ya, aku ikut senang, aku juga bertugas besok pagi.” “Eh, lu tunggu di sini ya, aku mau beli minum, haus, tegang tadi di dalam, banyak pertanyaan.” “Haha ... oke, gua tunggu lu di sini.” Rania berjalan ke toko penyedia minuman, kebetulan tidak terlalu jauh dari tempat itu. “Mas ada soda?” tanya Rania pada pegawai. “Ada mbak, di barisan samping.” Rania langsung mengambil 2 botol soda dan satu botol air mineral, setelah itu langsung menuju meja kasir, tapi yang bertugas sebagai kasir tidak ada. “Mas, kasirnya mana mas? Buru-buru nih.” Teriak Rania. Tidak ada jawaban, Rania kembali berteriak. “Mas! Kasirnya mana Mas? Cepatlah, lagi buru-buru ini.” Seorang laki-laki berpakaian rapi memasuki toko, dan dia langsung menuju ke meja kasir. “Eh Mas, ke mana saja sih? Mas gak tau kalau ada pelanggan, makanya kerja yang benar, jangan sebentar-bentar keluar, di aduin sama bos nanti baru minta maaf.” Celoteh Rania panjang lebar yang membuat laki-laki itu kaget. “Ini uangnya, 2 soda dan satu mineral.” Lanjut Rania sambil meninggalkan uang dan pergi keluar. “Eh Mbak! Mbak,” panggil lelaki tadi sambil menarik lengan Rania yang membuat Rania hampir saja terjungkal ke belakang, untung dia langsung pegangan di pintu yang hendak dia lewati. “Apa sih Mas, gak usah pegang-pegang lah, panggil saja, atau Mas mau saya kasih ini,” ucap Rania sambil menunjukkan gumpalan tangannya. “Udah salah, nyolot lagi! Aku bukan kasir!” jawab lelaki itu. “Jadi kalau kamu bukan kasir terus siapa yang berani buka laci kasir?! Aaa ... jangan -jangan kamu maling ya! Maling! ... Maling!” teriak Rania yang membuat semua orang melihat ke arah mereka. Laki-laki itu langsung mendekap mulut Rania dengan tangannya, tapi sial, warga mulai berlari ke arah mereka berdua. “Ibu-ibu Bapak-bapak saya bukan maling, saya Vino Anggara, anak Pak Anggara, pemilik toko, dulu saya kuliah di luar negeri makanya jarang ke sini.” Ucap Vino. “Hallahhh ... gak percaya gua, pasti lu ngaku-ngaku jadi anak orang kaya biar gak di gebukin sama warga kan?” bantah Rania sambil menunjuk-nunjuk ke muka Vino. “Bapak-bapak sebentar saya punya bukti kalau saya anak pak Anggara pemilik toko ini, ini foto saya sama Papa saya,” Vino menunjukkan foto wisuda dia yang sedang bersama Papanya. “Iya ini Pak Anggara ini, bukan maling dia.” Ucap salah satu dari mereka. Mendengar jawaban itu Rania mundur pelan-pelan ke belakang hendak lari. Tapi secepat kilat Vino menarik tangan Rania. “Gimana Mas, kasih aja dia hukuman karna suka menuduh sembarangan,” ucap salah satu warga. “Eh sembarangan bilang saya suka menuduh, habisnya dia kayak-.” “Kayak apa?” Vino bertanya sambil menaikkan alisnya dan menampakkan mata yang seperti siap menerkam Rania. “Nggak ... nggak, saya Cuma salah sangka,” Jawab Rania memelas. “Hukum aja Mas, biar tidak kebiasaan,” suara warga yang masih melihat aksi mereka berdua sontak membuat Rania melotot tajam ke arah mereka. “Oh berani pelototin orang tua ya, ikut aku!” Vino menarik lengan Rania ke tokonya dan berakhir di gudang penyimpanan. “Maaf Mas, aku minta maaf, aku janji gak akan ngulangin lagi,” Rania mengacungkan 2 jari sambil memperlihat gigi rapinya. “Gigi lu banyak jigong, gak usah memelas depan aku, sekarang susun rapi semua kardus ini dan jangan pulang sampai selesai!” “Apa?” Rania terperanjat mendengar perkataan Vino. Gudang sebesar 30 meter × 30 meter itu yang menyimpan barang dengan acak-acak disuruh beresin sama Rania sendirian, membuat Rania meneguk salivanya. “Mas, teman saya sedang menunggu saya di depan kantor pariwisata,” Rania masih memelas. “Ya kamu telpon lah, itu saja harus di ajarin.” “Tapi saya mau pulang Mas,” rengek Rania sambil menggigit tali tasnya. “Telpon orang tuamu, bilang kamu lagi banyak pekerjaan.” “Kok jahat banget sih Mas jadi orang!” “Mau beresin ini atau mau ke kantor polisi karna pencemaran nama baik?” “Iya iya, aku beresin ini, ya sudah sana keluar!” ucap Rania. “Suka-suka saya dong mau duduk dan berdiri di mana aja, kan ini toko saya, kenapa kamu yang jadi mengusir saya?” “Ah keluar!” Rania mendorong tubuh Vino keluar dari pintu dan mengunci pintu. Rania memilih duduk sebentar di kursi plastik yang ada di sana, di ambilnya ponsel dan mulai menelpon Rosa. “Hei, lu ke mana beli minum? Ke negara sebelah?” tanya Rosa dengan cerewet. “Eh, Lu pulang duluan ya, aku lagi ada pekerjaan di sini.” “Kerjaan apa? Kok mendadak sih.” “Sudah, Lu pulang aja duluan, ntar gua menyusul.” “Ya udah kalau mau lu kek gitu, gua pulang duluan ya.” “Iya, hati-hati ya,” Ucap Rania sambil mematikan ponselnya. Dia mulai bergerak merapikan kardus itu satu persatu. “Ah, kenapa juga gua bodoh kali, mana ada maling siang-siang di tempat orang ramai, kan jadi apes gua!” gerutu Rania sambil mengambil barang-barang yang berserakan di lantai dengan kasar hingga menimbulkan suara gaduh. “Awas kalau ada yang rusak hukumannya tambah berat,” Suara Vino yang masih berada di balik pintu. “Ih ngapain coba dia di situ, dia pikir gua mau kabur apa sampai-sampai di jaga kek gitu,” ucap Rania dengan kesal hingga menyenggol barang dengan tak sengaja, cepat-cepat dia tangkap agar Vino tak mendengar suara barang jatuh. Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD