Terjebak dalam keadaan

1147 Words
Tiffany berdiri sambil terus memainkan jemarinya yang terasa dingin dan gemetar. Jantungnya berdegup kencang, seolah hendak meloncat keluar dari dadanya. Ia tengah menunggu jawaban pria yang duduk di hadapannya. Ia baru saja mengajukan permohonan, permohonan yang bahkan untuk mengucapkannya saja membuat lidahnya terasa kaku. ‘Seharusnya aku tidak mendengarkan saran Ema untuk mendatangi orang ini. Sekarang aku merasa sudah salah mengambil langkah dan membuatku masuk kedalam jurang,’ batinnya dengan getir. “Lepaskan pakaianmu,.” Akhirnya pria di hadapan Tiffany mengeluarkan suara. Tiffany terperanjat. Ia mendengar jelas suara berat pria itu, namun tetap sulit mempercayainya. Rasanya seperti ada petir menyambar di siang bolong. “Hah…? Apa maksudmu?” “Aku yakin kamu tidak tuli,” sahut Brian. Saat ini pria itu tengah bersandar santai di kursi kulit hitamnya. Kedua tangannya terlipat di d**a, dan senyum tipis tersungging di bibirnya. Senyum yang tampak manis, tapi lebih tajam daripada sebilah pisau. “Buka semua pakaianmu. Dan jangan sisakan sehelai pun,” ucap Brian kembali mengulang perintahnya. “Apa kau gila! Aku datang ke sini untuk meminta pinjaman, bukan—” “Bukan apa?” Brian langsung memotong ucapan Tiffany. Tatapan matanya dingin, menelanjangi jiwa siapa pun yang berani melawannya. “Kamu datang padaku karena tidak punya pilihan. Ayahmu hanya punya waktu sampai tengah malam. Tebusan harus dibayar, atau nyawanya melayang. Jadi…” Brian menyipitkan mata sambil menyunggingkan senyum penuh kuasa. “Aku hanya memberimu dua pilihan. Menuruti perintahku… atau membiarkan ayahmu mati.” Tiffany merasa dadanya sesak, seolah udara lenyap dari paru-parunya. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia menolak untuk menangis di hadapan pria itu. “Aku tidak akan membiarkan ayahku mati, tapi aku juga tidak akan menuruti perintah gilamu itu.” “Benarkah…? Lalu bagaimana jika ayahmu sudah mati, tapi para rentenir itu tetap mengusikmu? Urusan ayahmu dengan para rentenir itu bukan hanya perkara hutang seratus juta, Tiffany.” Tiffany terdiam. Ya, Brian benar, ini bukan sekedar hutang, tapi juga sebuah perjanjian ayahnya dengan para rentenir itu. Perjanjian yang bisa saja menghancurkan masa depannya. Tiffany menghela nafas lelahnya. Ayahnya yang berhutang tanpa sepengetahuannya, tapi sekarang dialah yang harus menanggung akibatnya. Seandainya saja ia tidak mendengarkan saran Ema, seandainya saja ia tidak datang ke tempat ini… pasti ia tidak akan terjebak di situasi mengerikan ini. Namun sayangnya, hanya Brian satu-satunya orang yang bisa membantunya. ‘Datang padanya adalah keputusan paling bodoh yang pernah kuambil. Tapi siapa lagi yang bisa kumintai pertolongan? Apa yang harus kulakukan sekarang? Tidak mungkin aku membuka semua pakaianku di depannya…’ “Lima… empat… tiga…” suara Brian terdengar tenang, begitu pelan, namun setiap hitungan bagai cambuk yang menghantam tubuh Tiffany. Ia menghitung seakan sedang menikmati sebuah permainan. “Tunggu! Apakah tidak ada cara lain? Aku bisa melakukan apa saja. Apa saja, asal bukan ini,” Tiffany memohon, suaranya bergetar. “Dua.” Brian tetap melanjutkan hitungannya. “Aku mohon… Aku yakin uang seratus juta sangat mudah kamu keluarkan, jadi tolong jangan meminta hal yang memalukan seperti ini. Aku berjanji akan mengembalikannya secepat mungkin, asal—” “Satu,” Brian memotong ucapan Tiffany dengan hitungan terakhirnya. “Pergilah, dan jangan ganggu aku lagi,” lanjutnya. “Aku mohon, aku—” “Pergi!” sentak Brian. Tiffany menggigit bibirnya sampai terasa sakit. Tubuhnya membeku tanpa ada niat pergi dari ruangan Brian, meski Brian sudah mengusirnya. Ia berdiri mematung di tempat. Pandangannya terarah pada Brian yang kini dengan santai membuka laptopnya, seolah dirinya tak ada disana. Tiba-tiba ucapan Ema pagi tadi kembali terngiang di pikiran Tiffany, ucapan yang menjadi alasan bagi Tiffany datang menemui Brian. “Kamu bukan anak durhaka, Fan. Kalau bukan kamu yang menolong ayahmu, lalu siapa lagi? Dan kalau kamu kehilangan ayahmu, maka kamu juga nggak akan punya siapa-siapa lagi. Para rentenir itu juga akan semakin bebas mengganggumu, iya kan? Denger Fan, hanya tuan Brian yang bisa menolongmu, selain dia bisa meminjami uang dengan mudah, ia juga punya pengaruh besar yang akan menakuti para rentenir itu agar tidak mengganggu kalian lagi” Nafas Tiffany tercekat, ia menghela nafas, lalu akhirnya dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar, ia berkata, “Baiklah… aku akan melakukannya.” Brian mengangkat wajahnya, menatap kembali ke arah Tiffany. Senyum puas mengembang di bibirnya. Senyum penuh kemenangan, membuat Tiffany merasa terjebak semakin dalam ke dalam perangkap yang dipasang pria itu. “Lakukan. Dan ingat, aku tidak mau ada yang tertinggal.” “Aku akan melakukannya… asal kamu memejamkan matamu.” “Sejak kapan kau bisa mengaturku?” sahut Brian, sinis. “Aku—” “Lakukan!” potong Brian, suaranya tegas dan berat. Sehingga tak ada ruang untuk menolak. Tiffany terdiam. Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan. Ya Tuhan… demi ayahku dan masa depanku, aku terpaksa melakukan hal memalukan ini, batinnya. Dengan tangan gemetar, ia mulai meraih kancing blus putih yang menempel di tubuhnya. Satu per satu kancing itu terbuka, dan kulit putih mulusnya perlahan tersingkap. Brian menyunggingkan senyum. Matanya tajam, tak beralih sedikit pun dari gerakan Tiffany. Tatapan itu membuat Tiffany merasa seakan tubuhnya ditelanjangi bukan hanya pakaian, tetapi juga harga dirinya. Ia menunduk. Malu. Takut. Jantungnya berdetak kencang, seolah akan meledak kapan saja. Setiap kancing yang terlepas membuat hatinya terasa semakin hancur. Ia terus membuka kancing blusnya sambil menatap Brian, dengan tatapan penuh kebencian. Namun ketika tinggal satu kancing lagi yang tersisa, Tiffany membeku. Ia merasa salah jika mengikuti perintah Brian dengan mudah. ‘Aku bukan wanita lemah,’ pikirnya. Kedua tangannya spontan menutup d**a, mencegah bagian tubuhnya terbuka sepenuhnya. Brian pun menyipitkan mata saat melihat Tiffany yang berhenti. “Kenapa berhenti? Apa kau lebih memilih kematian ayahmu?” Suara Brian dingin menusuk. Tiffany mengangkat wajahnya, menatap Brian dengan mata berkaca-kaca meski pria itu tampak tersenyum sinis padanya. “Kamu tidak sepantasnya memaksaku melakukan ini, hanya karena aku butuh bantuanmu? Kenapa tidak meminta sesuatu yang lebih terhormat? Aku hanya ingin menyelamatkan ayahku… bukan menjual diri.” Brian berdiri, lalu melangkah mendekat ke arah Tiffany. Ia berhenti tepat di hadapan Tiffany, dengan tangan yang berada di dalam saku celananya. “Seratus juta hanyalah angka kecil bagiku, Tiffany. Tapi kamu? Kamu tidak akan bisa mendapatkan uang itu hanya dalam beberapa jam, apalagi mengendalikan para rentenir itu. Aku memberimu kesempatan… uang itu tidak perlu kau bayar kembali. Aku hanya ingin kamu menunjukkan tubuhmu padaku.” Ia kembali melangkah, hingga berhenti tepat di belakang Tiffany. Tanpa aba-aba, tangannya meraih pinggang Tiffany, menarik tubuh ramping itu ke dalam pelukannya. Tiffany terperanjat, tubuhnya kaku. Nafasnya tercekat ketika Brian mendekatkan bibirnya ke telinga dan berbisik pelan, “Hanya menunjukkannya.” Tiffany berusaha menahan blusnya yang hampir sepenuhnya terbuka. Kedua tangannya menekan kuat di dadanya, mencoba melindungi diri seakan ia tahu jika Brian akan menarik pakaiannya. Tapi tubuhnya bergetar, terlebih saat Brian dengan berani mengusap lehernya. Brian mendekatkan bibirnya ke telinga Tiffany, lalu sedikit berbisik, “Jangan jual mahal padaku, Tiffany. Kamu tahu itu akan sia-sia. Bukan begitu?” Brian meraih kancing terakhir dan melepasnya dengan mudah. Tiffany menahan bajunya dengan kuat, tapi….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD