Menggoda

1164 Words
Malam menjelang hari pernikahan, suasana di mansion keluarga Van Helder tampak begitu tegang. Brian yang baru tahu bahwa pesta yang direncanakan sederhana dan tertutup itu, justru berubah menjadi pernikahan mewah dengan undangan besar-besaran. Dengan langkah lebar, Brian masuk ke ruang kerja sang kakek. “Kakek… kenapa semua ini tidak dikatakan sejak awal?!” suaranya terdengar menahan amarah. Adrianus Van Helder hanya duduk tenang di kursi kerjanya, menyesap anggur merah dengan sikap berwibawa. “Kalau kakek katakan dari awal, kamu pasti akan menolak, iya kan? Publik harus tahu, Cucuku. Kamu adalah pewaris tunggal kekayaan Van Helder, dan publik harus tahu dengan kabar bahagia pernikahanmu ini.” Adrianus meletakan gelas anggurnya, lalu melangkah mendekati sang cucu. “Dan kamu harus ingat sesuatu. Setelah menikah nanti, hidupmu akan punya aturan. Kamu harus berhenti dari sikap bujang liarmu itu, yang setiap malam berpesta dengan wanita berbeda.” “Kek, aku tahu setelah menikah hidupku otomatis berubah, tapi masalahnya bukan itu. Aku ingin merahasiakan pernikahan ini, karena aku tidak mau semua musuh yang sedang kuincar, akan tahu aku punya kelemahan. Mereka bisa menggunakan Tiffany kapan saja untuk menjatuhkanku.” Adrianus mengangkat alis, tetap kalem meski cucunya mendidih. “Kalau begitu lindungi dia. Itu tugasmu sebagai suami. Dan tanggung jawabmu itu akan sekaligus membuktikan pada semua orang, kalau kamu memang pantas jadi penerus Van Helder?” “Kek—” “Brian Adam Van Helder!” Suara Adrianus meninggi, tatapannya tajam ke arah Brian, membuat Brian tak sanggup melanjutkan ucapannya. “Aku tahu kamu menikahi Tiffany diatas kertas, hanya untuk memenuhi permintaanku agar kamu segera menikah. Tapi sayangnya kamu lupa siapa kakekmu ini.” Tatapan mata bengis itu benar-benar membuat nyali Brian ciut. Ia tak sanggup menjawab. Ia hanya berusaha mengalihkan pandangannya dari tatapan sang kakek. “Pernikahan kalian akan diselenggarakan besok. Kakek sudah menyiapkan semuanya, dan tugasmu hanya datang sebagai mempelai.” “Tapi aku bahkan belum meminta Tiffany untuk fitting gaun,” sahut Brian lirih. Adrianus menyunggingkan senyum. “Kamu pikir kakek dan Tiffany akan tinggal diam? Asal kamu tahu, Brian. Disaat kamu sibuk bermain wanita di luar sana, TiffanY justru sibuk mempersiapkan segalanya untuk pernikahan kalian. Jadi berterimakasihlah padanya karena dia sudah menurut.” “Aku akan berterima kasihlah padanya setelah acara selesai nanti,” sahut Brian yang langsung meninggalkan ruangan. Ada kemarahan yang tak bisa ia jelaskan. Ia pun langsung meminta Devon mengantarnya untuk menemui Tiffany. “Antar aku menemui gadis itu,” ucapnya. Dari nada bicaranya saja, Devon bisa tahu jika saat ini Brian tengah dipenuhi amarah. Ia pun tak mungkin membantah. “Baik Tuan,” sahut Devon. Ia menyalakan mesin mobilnya, dan segera meninggalkan mansion utama. Selama perjalanan, Brian hanya diam. Pandangannya tertuju keluar jendela dengan wajah tegang, menyimpan amarah yang sudah di ubun-ubunya. Devon sesekali menatap ke kaca mobil, namun tetap memilih bungkam tanpa bertanya apa pun. Begitu mobil memasuki area hotel, mata Brian langsung menatap lurus ke depan. Ia terkejut saat Devon justru membawanya ke hotel, bukan rumah Tiffany. “Kenapa kamu membawaku ke sini?” tanyanya dingin. “Tuan besar Adrianus meminta Nona Tiffany untuk tinggal di hotel sampai menjelang pernikahan. Beliau khawatir, kurang istirahat dan justru sakit saat hari H. Selan itu, jika Nona Tiffany tetap tinggal di rumah, mentalnya akan terganggu karena ayahnya yang selalu saja membuat kesal. Rias pengantin juga diarahkan untuk datang ke sini, jadi Nona Tiffany tidak perlu repot-repot keluar dari rumah,” jelas Devon dengan hati-hati. Brian menoleh tajam. “Ternyata kamu lebih tahu semua dengan detail, dan kamu tidak memberitahuku?” Suara dingin itu membuat Devon terdiam sejenak. “Maaf, Tuan. Saya tahu karena Willem memberitahu saya.” “Apa kamu sedang belajar berkhianat padaku, Devon. Sampai hal penting seperti ini kamu diam?” “Maaf, Tuan.” Devon segera keluar dari mobil, lalu membuka pintu untuk Brian. Tanpa sepatah kata pun, Brian melangkah menuju kamar yang dimaksud. Dengan kunci yang ia minta dari resepsionis, dengan mudah pintu kamar Tiffany pun terbuka. Tiffany yang baru saja mandi, dan hanya menggunakan bathrobe terlonjak kaget saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. “Kamu…? Kenapa masuk tanpa ketuk pintu,” ucapnya dengan pertanyaan konyol. Bypass yang ada di tangan Brian langsung ia lemparkan ke meja. “Kenapa kamu tidak bilang soal fitting gaun dan pesta yang dibuat mewah oleh kakek paaku?!” bentaknya ketus. Tiffany terdiam, menatapnya dengan wajah terkejut. “Aku pikir kamu sudah tahu… itu semua rencana kakekmu. Aku hanya menurut.” “Menurut?!” sahut Brian sambil mendekat. Tangannya dengan kasar menggenggam rahang Tiffany hingga Tiffany meringis kesakitan. “Kontrak pernikahan ini adalah rencanaku! Bagaimana kakek bisa tahu bahwa pernikahan kita hanyalah pernikahan kontrak? Apa kamu yang memberitahunya?!” Tiffany terbelalak mendengar tuduhan itu. Ia menggeleng cepat, ingin menjawab, tapi bibirnya terasa sakit karena tekanan genggaman Brian. “Jangan berbohong padaku, Tiffany!” bentak Brian lagi. Dengan berani, Tiffany menggenggam tangan Brian dan menepisnya. Ia mengusap pipinya yang terasa sakit, lalu menatap Brian tajam. “Untuk apa aku bohong?! Aku hanya menuruti setiap perintah kakekmu! Saat beliau memintaku fitting gaun, aku menurut. Mencari cincin di toko berlian, aku menurut. Bahkan saat ia memintaku ke hotel ini, aku pun menurut. Dan tentang beliau tahu jika kita menikah hanya secara kontrak, tentu aku tidak tahu karena ku tidak mengatakan apa pun!” Nada suaranya meninggi, matanya menatap Brian tanpa rasa takut. “Tapi setidaknya kamu memberitahuku!” “Bagaimana aku memberitahumu? Ketemu saja tidak! Lagi pula, dia itu kakekmu. Seharusnya kamu lebih tahu tentang semua rencananya dibanding aku. Kenapa justru kamu menyalahkanku atas sesuatu yang bahkan tidak kamu ketahui?” “Bisakah kamu pelankan suaramu, Tiffany?!” “Itu karena dari tadi kamu yang membentakku.” Keberanian Tiffany membuat wajah Brian semakin menegang, penuh amarah. “Kamu benar-benar memancing emosiku! Sudah aku katakan sebelum menandatangani kontrak, jangan pernah membuat kesalahan yang bisa membuatku marah. Tapi sekarang, kamu benar-benar membuatku kesal!” Tanpa aba-aba, Brian mendorong Tiffany hingga tubuh wanita itu terhempas ke atas ranjang. Pria itu mendekat cepat, lalu mengunci kedua tangannya di sisi kepala. “Apa yang akan kamu lakukan?!” Tiffany menatapnya dengan napas terengah. Brian tak menjawab. Ia terpaku dengan penampilan Tiffany yang membuatnya menelan saliva. Bathrobe yang sedikit tersingkap membuat d**a Tiffany hampir terlihat jelas. Bibir ranum itu pun seolah memanggil hasrat Brian untuk menikmatinya. Belum lagi rambut basah Tiffany yang membuatnya semakin menggoda. Apa yang ada di hadapannya benar-benar membuat sisi liar seorang Brian terbangun. Amarahnya kini berubah menjadi sesuatu yang membuatnya lupa dengan siapa ia berada. “Lepaskan aku!” Suara Tiffany menyadarkan Brian. Tapi ia tak melepaskan gadis itu. “Kamu harus mendapat konsekuensi dari apa yang kamu lakukan,” ucap Brian dngin. “Apa maksudmu? Aku tidak bersalah? Dan aku tidak melakukan kesalahan? Semua itu adalah rencana—” Suara Tiffany terputus ketika tiba-tiba bibirnya direbut paksa oleh Brian. Ia berusaha melepaskan ciuman itu, tapi semakin menolak, semakin dalam juga Brian memberikan ciumannya. Tiffany kalah tenaga. Bahkan saat Brian menurunkan bathrobe yang ia kenakan, Tiffany tak bisa menahannya. Apa yang terjadi jika Tiffany tak bisa melawan? Mungkinkah mereka akan....?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD