Crisis - 01

1053 Words
Sejak kecil, aku sudah dibingungkan oleh identitasku sendiri. Aku terlahir dengan kelamin yang bentuknya aneh, tidak seperti laki-laki ataupun perempuan. Hal itu menyebabkan aku berada di garis abu-abu, antara laki-laki dan perempuan. Aku sering kebingungan atas siapa diriku yang sebenarnya, ketika banyak anak-anak sudah tahu dan mengidentifikasi siapa dirinya, sementara aku masih sangat kebingungan. Aku tidak tahu, yang mana diriku, saat diajukan pertanyaan mengenai perempuan dan laki-laki.   Terkadang, aku merasa diriku adalah perempuan, tapi suatu waktu, aku merasa diriku adalah laki-laki. Tapi ada momen di mana aku menganggap diriku bukan bagian dari perempuan ataupun laki-laki, melainkan kekosongan. Aku tahu, tidak semua orang bisa memahami apa yang kualami. Aku tahu, semua orang akan ikut kebingungan pada identitasku, mereka selalu berusaha mencari tahu mana yang benar untukku, mereka selalu meneliti sikapku, jika aku bersikap feminin sedikit aja, maka mereka langsung menganggapku sebagai perempuan, begitu juga sebaliknya.   Ditambah, kedua orangtuaku selalu bertikai, meributkan gender yang cocok untukku, ibuku mengajariku berbagai hal yang sangat feminin, menganggapku sebagai anak perempuan, dan memanggiku dengan nama ‘Rosabel’, sementara ayahku mengajariku berbagai hal yang sangat maskulin, menganggapku sebagai anak laki-laki, dan memanggilku dengan nama ‘Albertine’, sampai lambut laun, aku menyusun nama lengkapku sebagai ‘Rosabel Albertine’. Aku tidak peduli, mereka mau menganggapku sebagai laki-laki atau perempuan, selama mereka masih menganggapku sebagai anaknya, itu sudah lebih dari cukup.   “Rosabel? Apa kau di kamar?” Dengan nada yang lembut, ibuku bersuara dengan mengetuk pintu kamarku, aku yang sedang berbaring santai di kamar, segera menoleh ke arah pintu dan menjawab panggilan ibuku dengan suara yang feminin.   “Iya, ibu, aku ada di sini. Kenapa?” ucapku dengan lemah lembut, berusaha bersikap seperti seorang anak perempuan agar ibu bisa senang.   “Sekarang, ibu sedang membuat donat madu di dapur, apa kau bisa kemari membantu ibu?”   Setelah itu, aku datang ke sana dan membantu ibu membuat donat madu. Ibu mengajariku cara bagaimana menjadi seorang perempuan yang sesungguhnya, aku hanya mematuhinya tanpa bertanya dan mencoba menikmati itu dengan santai. Di lain waktu, terkadang ayah juga datang ke kamarku, mengetuk-etuk pintu, dan menyuruhku pergi ke halaman rumah, untuk berlatih mengangkat dumbell agar tubuhku bisa berotot dan perkasa seperti seorang laki-laki yang sesungguhnya, dan tentu saja aku mematuhinya tanpa bertanya dan mencoba menikmati itu dengan rileks.   Aku selalu berpikir positif, lagipula dengan sikap ayah dan ibu yang demikian, secara tidak langsung, aku bisa dekat dengan mereka, dan bisa memahami perasaan mereka, bahwa mereka sangat peduli dan menyayangiku lebih dari siapapun di dunia ini.   Ibu dan ayahku hanya ingin berpikir bahwa aku adalah ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’ dengan sengaja merangsangku ke berbagai hal-hal yang feminin dan  maskulin, agar aku bisa menemukan identitas yang cocok untuk diriku sendiri. Aku tahu itu tidak akan mudah, dan bakal menghabiskan banyak waktu. Belum lagi, terkadang aku merasa mual dengan segala latihan feminin dan maskulin yang kedua orangtuaku berikan tiap hari, sehingga aku mulai merasa lelah dan akhirnya jatuh sakit. Aku sering begitu jika tubuh dan pikiranku sudah berada di ambang batas.   Aku tidak sekolah seperti anak-anak yang lain, kedua orangtuaku lebih memilih ‘homeschooling’ untuk pendidikanku, karena mereka tidak ingin anaknya ditindas oleh teman-temannya  di sekolah, dan sebab itulah aku jadi tidak punya teman sama sekali. Semua tetangga-tetanggaku tidak punya anak yang seusiaku sehingga aku tidak bisa berteman dengan orang-orang yang sebaya denganku, tapi aku tidak begitu memikirkannya, sebab aku tidak masalah meskipun tidak punya teman.   Suatu hari, aku menonton sebuah acara menarik di televisi, yaitu festival busana yang diperagakan oleh banyak model di atas panggung. Mataku bersinar-sinar saat melihat berbagai pakaian bagus yang dipakai oleh model-model tersebut. Sangat keren dan indah. Aku ingin menjadi bagian dari mereka, tidak, aku tidak tertarik menjadi seorang model, aku lebih tertarik menjadi orang yang menciptakan pakaian-pakaian yang para model kenakan.   Kemudian, aku menjelaskan pada kedua orangtuaku bahwa aku ingin menjadi perancang busana, awalnya ayahku agak sedikit menentangnya, tapi setelah melihat wajahku yang begitu memohon, diapun mengizinkannya. Sementara ibuku sangat mendukungku, sehari setelah aku bilang begitu, dia segera mendaftarkanku ke les busana, disitu aku diajarkan dasar-dasar merancang dan membuat pakaian sederhana. Aku sangat bahagia bisa berada di sana, aku juga mendapatkan teman, dan anehnya, mereka semua menerimaku meskipun aku adalah seorang interseks, sebab di dunia mode, orang-orang sepertiku cukup diterima dan aku tidak percaya bisa mendapatkan teman-teman yang begitu ramah.   Berkat itu pula, aku mendapatkan berbagai penghargaan saat baju-baju buatanku memenangkan banyak perlombaan, pelan-pelan namaku melejit di kota kelahiranku. Ketika usiaku menginjak 19 tahun, aku melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi, mendapatkan universitas terbaik, aku mendalami bakatku di jurusan seputar mode.   “Hey, Rosabel! Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Rachel, salah satu teman kulihaku yang sedang main di rumahku, dia berjalan mendekat saat melihatku sedang menjahit pakaian ibuku yang sobek di kamar. “Bajumu?”   “Punya ibuku, ada bagian yang sobek di sebelah bahu, aku sedang memperbaikinya.”   “Ah, ngomong-ngomong, apa kau mau ikut besok?” Rachel mengatakan itu dengan riang, sembari berdiri di belakangku dengan memijit-mijit bahuku dengan geli.   “Ikut ke mana?” tanyaku terheran-heran.   “Ke pameran busana di kota sebelah! Aku sudah dapat tiketnya! Kalau kau mau, aku punya tiket khusus untukmu! Hihihihi!”   Disitu, aku langsung menunda sejenak kegiatanku dan menoleh ke wajah Rachel dengan mata yang berbinar-binar. “Benarkah!? Terima kasih, Rachel! Kau baik sekali!”   “Tentu saja, aku tahu kau sangat tertarik dengan pameran busana! Hihihihihi!”   “Hahahaha! Kau ini!” Aku mencubit pipi Rachel dengan gemas.   “Oh ya, ngomong-ngomong, apa benar, ya? Kau ini interseks?” Seketika topik pembicaraan Rachel masuk ke area sensitifku, wajahku langsung pucat saat mendengar pertanyaan itu. “Sebenarnya interseks itu apa? Apa semacam transgender? Atau bagaimana?”   “Interseks itu kondisi di mana seseorang terlahir dengan kelamin yang tidak sesuai dengan gender perempuan dan laki-laki. Beberapa ada yang terlahir dengan kelamin ganda, beberapa lagi, terlahir dengan bentuk yang aneh, bukan seperti penis maupun vagina,” jelasku dengan suara yang pelan, aku harus berhati-hati menjelaskannya pada Rachel karena gadis itu tidak cepat paham pada suatu penjelasan.   “Tunggu, lalu, kau masuk ke arah yang mana? Apakah kelamin ganda, atau kelamin yang bentuknya aneh?”   Saat aku mau menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba saja ayahku memanggil.   “Albertine? Apa kau di dalam?”   “Iya! Aku di dalam, kenapa?” tanyaku, membalas seruannya.   “Bisakah kau keluar sebentar, ada yang mau ayah bicarakan denganmu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD