2

1599 Words
Semalaman aku menghabiskan waktu di klinik (aku baru tahu tempat itu dari pria bernama Henry). Berkontemplasi. Perawat (wanita-wanita yang mengenakan jubah putih) mendatangiku sekadar menawarkan sup, semangkuk buah, dan segelas air. Bahkan dalam kondisi bingung dan bingung dan bingung aku tidak menolak makanan. Makan sembari berpikir alasan suami Mila tidak datang menengok. Minum sembari berpikir penyebab aku berada di tubuh Mila. Benar-benar tidak ada bedanya dengan budak kapitalis yang memikirkan uang. Anna dan Henry menjemput dan mengantarku pulang esok paginya. Mereka bersikeras membayar tagihan. “Mila, biarkan kami saja yang mengurus biaya,” kata Henry. Sepanjang perjalanan mereka terus mengoceh betapa senang sekaligus sedih terkait kondisiku. “Tiga bulan!” Anna berseru, senang. “Sebentar lagi aku akan menjadi seorang bibi!” Henry dan Anna berceloteh mengenai nama bayi, pakaian, dan rencana membantu perekonomianku. Aku bahkan tidak bisa berpikir. Seharusnya aku menghafal rute dan menandai bangunan tertentu atau apa pun! Namun, tidak. Kepalaku berdengung, mual bukan main, dan rasa-rasanya aku mendengar lagu Spring Song terus berputar di kepalaku. Bisa-bisa aku akan menari sembari nyengir dan bernyanyi, “Spring! Spring! Spring! Let’s get together and sing! Sing! Sing!” Sungguh konyol. Jalanan beraspal. Deretan bangunan dan pertokoan. Tidak ada mobil melaju di jalanan, hanya ada kereta kuda, angkong, dan kuda berderap pelan. Orang-orang berlalu-lalang dalam pakaian yang mengingatkanku kepada Mr. Holmes. Semoga tidak ada Jack si tukang jagal. Aku tidak ingin menambahkan pembunuh berantai ke dalam daftar kecemasan milikku. “Aku akan menjemputmu,” kata Henry. “Jangan terlalu dipikirkan.” Setelah meletakkan sekeranjang buah, sayur, dan roti di meja mereka pun pergi meninggalkanku seorang diri. Lantai kayu, satu meja persegi, empat kursi, beberapa mebel, perapian, dan aku mulai berpikir pindah ke Oz! Barangkali aku perlu mengetukkan kaki sembari berkata, “Tidak ada rumah senyaman Oz!” Atau semacamnya, kemudian aku akan kembali ke indekos. Sempoyongan, aku meraih kursi, duduk. Mungkinkah aku, seperti tokoh-tokoh novel, masuk ke salah satu cerita? Oke, bisa jadi. Aku hanya perlu memilah dari puluhan bahkan ratusan cerita yang pernah kubaca. Mila. Nama pasaran. Pasti ada petunjuk lain, semisal ciri-ciri fisik. Lekas aku naik ke lantai atas, mencari cermin, dan mengamati; rambut hitam yang digelung secara serampangan, sepasang mata berwarna cokelat madu, dan bibir tipis. Wanita bernama Mila ini, tidak memiliki karakteristik tokoh utama. Maksudku kecantikan yang membuatmu ternganga. Dia biasa saja. Jenis wajah yang mudah terlupakan. Oke, aku harus memilah cerita dengan karakter yang mendekati Mila. Sontak informasi cerita dengan karakter bernama Mila pun berdesakan dalam otak, siap ditelaah olehku. Aku menutup mulut menggunakan telapak tangan, menangis. Tidak ada satu cerita pun terlintas di kepala. Nama Anna dan Henry pun pasaran. Bagaimana mungkin aku bisa menemukan secara tepat cerita yang kini aku tempati? Apa mungkin aku pindah ke suatu dimensi yang tidak ada kaitan dengan bacaan apa pun? Lalu, kenapa tidak ada siapa pun di rumah Mila? Suami? Anna dan Henry tidak menjelaskan hubungan Mila dengan seseorang atau keluarga. Oh pantas saja mereka melihatku seperti itu. Apa mereka mengira Mila korban? Apa mereka justru berpikir Mila adalah gadis nakal? Aduh! Apa yang harus aku lakukan? Miss Mila? Bukan Mrs. Mila? Atau Madam Mila? Hahaha. Oh astaga! *** Dengan sangat menyesal, aku terpaksa menggeledah barang-barang milik Mila entah siapa ini. Membuka nakas, mengecek ranjang, lalu lemari. Aku menemukan kotak kayu di dalam lemari. Aku meletakkan kotak di dekat ranjang. Setelah memastikan posisi aman untuk duduk (aku tidak ingin menyakiti kandungan Mila) barulah aku membuka tutup kotak. Untung saja tidak terkunci. Di dalam kotak aku menemukan beberapa formulir, uang, perhiasan, agenda, dan tiket. Sekali lagi, untung saja aku bisa membaca huruf-huruf yang bentuknya mirip prajurit cacing. Setiap alfabet, kosakata, bahkan kalimat bisa diproses olehku, sama seperti kemampuan berbahasa asing milik dunia Mila ini. Tidak terbayangkan kesulitan ketika transfer ke dunia asing dan kehilangan kemampuan berbahasa dan menulis. Pasti amat merepotkan. Ada kartu identitas bertuliskan nama Mila Verlaine. Cukup mengejutkan mengetahui dia berusia delapan belas tahun. Tunggu! Delapan belas tahun? Bagaimana bisa gadis belia hidup seorang diri (dengan asumsi aku belum mendapatkan kunjungan dari orang rumah Verlaine)? Bukan hanya mengenai usia, melainkan status kehamilan Mila. Hati ini tidak mungkin tega mengomentari Mila. Entah hal buruk apa yang telah menimpa Mila, aku merasa kasihan kepadanya, kemudian mengasihani diriku sendiri yang terjebak dalam raganya. Kedua mataku terasa panas. Lagi-lagi aku menangis, walau tidak sampai sesengukan, dan menguatkan diri mencari informasi di antara benda milik Mila. Lalu, aku menemukan kartu identias lain. Camila Blanche. Kali ini aku berharap tulisan di kartu keliru dan mataku mungkin butuh penyegaran karena terlalu lama membaca. Namun, tidak. Tulisan dan, kemungkinan besar, informasi yang tertera di sana memang valid. “Oh jangan dia. Kumohon. Jangan Camila Blanche.” Tanganku gemetar, kertas dan kartu berjatuhan di lantai, dan aku pun terduduk lemas di dekat ranjang. Camila Blanche. Sekarang aku bisa menentukan cerita mana yang aku masuki sekaligus peran milik Mila. “Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana ini?” Aku menutup mulut menggunakan telapak tangan. Berulang-ulang merapal mantra orang bingung: “Bagaimana ini?” Seolah akan datang ibu peri baik hati yang bersedia memberikan solusi. Ada satu cerita mengenai keluarga Axton bergenre fantasi tragedi. Cerita dimulai dengan kematian Isabela, istri Duke Elijah Axton, setelah melahirkan putra mereka, Benjamin. Kediaman Axton dilanda kesedihan. Tidak seorang pun mampu tersenyum. Pekerja kehilangan semangat atas kepergian nyonya rumah. Singkat cerita suasana berubah amat muram. Isabela memiliki seorang teman bernama Camila Blanche, putri Baron Sandro Blanche. Dia bekerja di kediaman Axton sebagai pelayan pribadi Isabela. Biasanya putri baron akan mencoba peruntungan sebagai pelayan di istana, tetapi Camila memilih menemani Isabela di kediaman Axton. Sebenarnya Camila sudah lama tertarik kepada Elijah. Namun, Elijah telanjur mencintai Isabela dan sama sekali tidak menaruh hati kepada wanita mana pun. Camila berpikir kematian Isabela merupakan pembuka jalan bagi hubungan antara dirinya dan Duke Axton. Sadar bahwa Elijah tidak bersedia membalas perasaan Camila, maka dia pun menggunakan cara kotor: Meracuni minuman Elijah dengan ramuan terlarang. Bukan sembarang ramuan cinta, melainkan ramuan sihir yang akan menyebabkan si peminum mengira Camila sebagai Isabela. Setelah itu Camila melarikan diri, meninggalkan kediaman Axton, dan kembali membawa bocah berumur enam tahun bernama Hector. Sama seperti Elijah, Hector memiliki ciri-ciri seorang Axton; rambut berwarna biru laut dan mata kuning emas. “Duke, aku melahirkan putramu,” begitulah kata Camila kepada Elijah. Lantas Camila menuntut pernikahan. Dia pikir Elijah akan begitu saja setuju, tanpa memperhitungkan risiko lelaki itu merasa terhina. Elijah memerintah pelayan membawa Hector menyingkir dari ruang tamu, lalu kemudian dia membunuh Camila, menusuknya dengan pedang. Kematian Camila meninggalkan trauma kepada Hector. Dia membenci ayahnya dan iri kepada Benjamin yang akan segera diangkat sebagai penerus oleh raja karena raja pada masa itu melajang dan memutuskan menyerahkan kekuasaan kepada kerabat dekat yakni, keluarga Axton. Di akhir cerita Hector mati di tangan Elijah, sama seperti ibunya. “Hahaha kenapa aku ada di sini?” Tangisku makin menjadi. Sekarang aku bisa memperkirakan bahwa Camila telah melakukan tindak terlarang tanpa bisa kucegah dan aku, bila tidak berhati-hati, akan menanggung akibatnya. “Kembalikan aku ke bumi! Kembalikan!” Lebih baik aku melanjutkan hidup menjadi pekerja kapitalis daripada mengemban amanat sebagai Camila Blanche. Kembalikan hidupku! Kembalikan! *** Hidupku tidak kembali. Tentu saja, memangnya apa yang bisa aku lakukan selain menangis? Begitu pagi tiba Henry datang menjemput. Kami berjalan berdampingan. Sesekali dia mencoba menghiburku, walau aku merasa dia penasaran dengan ayah jabang bayi yang ada dalam kandungan Mila. “Henry, lebih baik kau diam karena aku sungguh tidak ingin membahas Duke Axton,” gerutuku dalam hati. Mila ternyata bekerja di toko buku, pemiliknya bernama Mrs. Mary. Toko buku terletak di antara toko bunga dan kafe. Papan kayu bercat merah bertuliskan huruf-huruf emas terpasang di atas pintu utama toko. “Toko Buku Mary” pada kata Mary dihias kupu-kupu biru dan buku-buku mungil. Mrs. Mary langsung menghampiri dan menggenggam tanganku. “Mila, aku mengerti kondisimu,” katanya, simpatik. “Kau hanya perlu bekerja di bagian buku fiksi. Jangan terlalu memaksakan diri. Mengerti?” Aku mengangguk. Tidak membalas. Mrs. Mary memiliki rambut merah tua ikal yang dibentuk sanggul. Kedua matanya berwarna cokelat tua. Tubuhnya tambun dan sama seperti Anna, mengenakan gaun katun berwarna merah tua. Caranya berkata dan menatapku amat lembut dan perhatian. Dia membimbingku ke bagian buku fiksi, meletakkan kursi, dan menyarankanku agar duduk saja selama bekerja, kecuali ketika ada pelanggan yang butuh pertolongan. Barisan rak kayu cokelat hitam setinggi tiga meter tampak menjulang di sekitarku. Ada bermacam buku bersampul kulit dengan beragam warna. Mrs. Mary telah meletakkan beberapa buku di kursi. Barangkali dia ingin aku tidak bosan selama bekerja. Buku! Aku bisa menghibur diriku dengan kekasih-kekasihku! Aku membaca buku bersampul merah, berhenti ketika ada seorang gadis bertanya mengenai judul buku. Karena buku disusun berdasarkan judul dan bukannya pengarang, aku hanya perlu mengurutkan judul yang dia maksud dan berhasil menemukannya. Dia langsung pergi ke kasir, meninggalkanku dengan kekasihku yakni, buku. Kadang Anna ataupun Henry datang mengecek. Mereka bertanya ingin makan siang bersama? Lalu, aku berkata lupa membawa dompet (dan aku memang benar-benar lupa, bukan sengaja melupakan). Henry dan Anna menawariku makanan dan minuman. Salad, roti, dan jus jeruk. Aku dengan senang hati menerima kebaikan mereka. Sekali lagi, aku sebagai mantan pekerja kapitalis tidak boleh pilih-pilih makanan. Ketika pulang Mrs. Mary memberiku beberapa buku bacaan dan sekantong kue kering. Henry menemaniku. Dia membawakan buku dan aku mengemil kue. Entah mengapa dalam tubuh Camila aku selalu merasa lapar. Bahkan ketika lewat toko kue, mataku langsung menatap penuh damba kepada sekelompok kue pajangan akibat aroma sedap yang tercium. “Tunggu di sini,” kata Henry sembari masuk ke dalam toko. Tidak lama kemudian dia keluar dengan toples biskuit kacang. “Kacang bagus untuk ibu hamil.” Aku menghargai kepeduliannya, tetapi tidak dengan fakta yang dia ucapkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD