4. Bertemu Musuh Lama.

1724 Words
Pintu pagar rumah itu terbuka lebar saat mobilnya berhenti perlahan di depan rumah. Uma tersenyum haru. Ibunya berdiri di ambang pagar, seolah telah menanti sejak pagi. Begitu ia turun dari mobil, tangan ibunya langsung menggamitnya hangat, membawanya masuk ke dalam rumah yang telah lama tak ia sambangi. Di ruang tengah, Rauda dan Raima duduk santai menonton televisi. Keduanya tampak berdandan rapi. Ini hari Minggu—kakak-kakaknya pasti akan keluar dengan pacar masing-masing. "Apa kabar, Mbak Uda, Mbak Ima?" Uma menyapa kakak-kakaknya penuh kerinduan. "Ya beginilah. Kami semakin tua dan makin susah mencari uang," sahut Rauda asal-asalan. Sementara Raima hanya menoleh sekilas, tanpa niat menjawab sapaan adik bungsunya yang egois. “Vivi nggak diajak, Ma? Ibu kangen padanya,” tanya Bu Rahayu, mencoba mencairkan suasana. Alih-alih Uma yang menjawab, Raima langsung menyambar dengan mulut mencebik. “Mana mungkin Uma mau mengajak anak? Bisa luntur nanti dandanannya. Itu sih katanya suami dan mertuanya ya, bukan kataku.” Uma menghela napas. Ia sudah terbiasa dengan sindiran seperti itu setiap kali berkunjung. “Vivi tidur siang, Bu. Lagian, Arya janji mau mengajaknya jalan-jalan. Ini kan hari Minggu. Kalau Uma bawa ke sini, nanti Vivi mengantuk dan rewel di jalan,” jawab Uma pelan. Namun, jawabannya malah ditanggapi dengan cibiran dari Raima. Tak lama, dari arah kamar terdengar batuk kering panjang. Pak Anwar, ayahnya, muncul dengan langkah tertatih, menggenggam tongkat kayu tua. Wajahnya berseri melihat kedatangan putri bungsunya. “Ayah batuk lagi, ya? Kalau begitu, Ayah istirahat saja di kamar. Biar kita ngobrolnya sambil tiduran,” bujuk Uma, menyambut ayahnya dengan penuh perhatian. Ada satu kursi goyang dan sebuah kursi rotan di sana. Mereka pun masuk ke kamar, diikuti oleh Bu Rahayu. Tapi belum sempat mereka duduk dengan tenang, Rauda membuka suara sambil menyilangkan tangan di d**a. “Seharusnya kamu membelikan Ayah ranjang seperti di rumah sakit yang ada katrolnya, Ma. Jadi gampang mengatur posisi tidurnya.” Uma tercekat. Ia tahu maksud Rauda, tapi sulit menjelaskannya. Rauda pasti tidak percaya kalau dirinya tidak punya uang. Uma memilih diam. Karena tidak mendapat respons, Raima ikut menimpali sambil menyeringai. “Uma… Uma. Gayamu saja yang elit, tapi ekonomi... sulit.” Pak Anwar terbatuk pelan, lalu menegur, “Sudah, jangan begitu. Tempat tidur seperti itu mahal. Uma kan tidak bekerja seperti kalian. Lagi pula, Uma sering mengirim makanan untuk kita. Itu saja sudah sangat membantu.” Rauda mencibir. “Makanan seuprit dua kali seminggu Ayah sebut sangat membantu? Terus aku yang tiap bulan membayar biaya makan, listrik, air, Ayah sebut apa? Atau Raima yang menanggung biaya rumah sakit, obat, dan kebutuhan mendadak kita, Ayah sebut apa juga? Kok rasanya tidak adil, ya?” protes Rauda. “Kami bekerja siang malam seperti kuda sampai lupa menikah demi orangtua. Sementara Uma, cuma ongkang-ongkang kaki, bersuamikan orang kaya, tidak pernah membantu sama sekali,” Raima ikut bersuara. Uma mengangkat wajah perlahan, matanya berkaca-kaca. “Bukan tidak mau, Kak. Aku memang tidak pernah memegang uang lebih. Setiap kali Mas Arya memberi uang, selalu pas-pasan untuk membeli s**u dan popok Vivi. Katanya toh semua kebutuhan hidupku sudah ditanggung.” Raima tersenyum tipis, lalu melirik perhiasan dan pakaian Uma. “Kalau begitu, jual saja tas, sepatu, dan perhiasan-perhiasan mewahmu. Itu kalau kamu memang berniat membantu Ayah ya. Ada peribahasa yang mengatakan : banyak jalan menuju Roma. Kecuali memang kamunya yang tidak mau berkorban. Itu sih lain cerita.” Uma kembali terdiam. Ia tidak berani mengatakan kalau kemewahan itu hanyalah pinjaman dari ibu mertua dan adik iparnya. Mereka selalu menekankan agar ia menjaga harga diri suaminya. Bagaimana mungkin ia menjual barang yang bukan miliknya? Melihat Uma tetap bungkam, Rauda mendekat. Ia berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang. “Kamu tidak bersedia kan? Berarti kamu memang tidak niat untuk membantu. Alasan aja—tidak punya uang lah, ini lah, itu lah.” Tangan Uma mengepal di atas lutut. Mulutnya tetap terkunci. Ia hanya bisa menunduk, menelan setiap ejekan itu dalam diam. “Sudah! Cukup!” potong Bu Rahayu tegas. “Ayahmu sedang sakit. Jangan memperkeruh suasana!” Dengan dengusan kasar, Rauda dan Raima akhirnya keluar kamar, meninggalkan Uma sendiri bersama Pak Anwar. Keheningan menyergap. Ayahnya menggamit tangan Uma, memintanya duduk lebih dekat. “Kamu bahagia, Ma?” tanya Pak Anwar pelan. Pertanyaan itu seperti belati yang perlahan menggores hati. Perih. Tapi Uma memaksakan senyum tipis dan mengangguk. “Bahagia kok, Yah.” “Syukurlah kalau begitu,” gumam ayahnya. “Tapi kalau pun tidak… rumah ini selalu terbuka untuk kamu pulang.” Senyum Uma melebar, meski tak ada kebahagiaan di dalamnya. “Terima kasih, Yah. Tapi semuanya baik-baik saja,” bohongnya. Suara klakson terdengar dari luar. Suasana sejenak berubah. Terdengar suara Rauda memanggil pacarnya, diikuti Raima. “Kamu keluar dulu sana. Sapa Anton dan Thoriq,” ujar Pak Anwar. Sempat ragu, Uma akhirnya keluar kamar juga. Di dalam, ibunya masih menemani sang ayah. “Halo, Bang Anton, Mas Thoriq,” sapa Uma sopan. Setelah dirinya dipilih Arya sebagai istri, kakak-kakaknya kembali menjalin hubungan dengan mantan pacar masing-masing. “Halo juga, nona kecil yang sekarang sudah menjadi nyonya besar,” goda Anton. Uma terkekeh mendengarnya. “Rasanya baru kemarin aku melihatmu memakai seragam SMA. Sekarang sudah menjadi istri dan ibu, ya?” Thoriq menatap Uma dari atas ke bawah. Dulu gaya Uma khas remaja belasan tahun. Namun sekarang Uma menjelma menjadi sosok sosialita papan atas. “Iya, Mas. Aku sudah menjadi ibu-ibu sekarang,” Uma meringis. Ia tahu apa yang dipikirkan Thoriq—penampilannya kini tampak lebih tua dari usianya yang baru menginjak 21 tahun. Anton dan Thoriq pun tertawa kecil. Waktu cepat sekali “Kita jadi nonton nggak nih?” tanya Raima. Ia tampak bosan dengan candaan pacarnya dan Uma. “Jadi dong, Ima. Tapi jalannya agak jauh, ya. Soalnya aku parkirnya di ujung. Halaman ini sudah dikuasai Alphard-nya Uma,” canda Thoriq. Anton ikut menimpali, “Kita juga harus jalan kaki. Aku parkir di belakang Thoriq. Nggak apa-apa, kan, Da? Kasta mobil kita beda sama Uma soalnya, jadi harus mengalah.” Rauda dan Raima tertawa pendek, lalu memutar bola mata. “Mobil sih boleh mewah, tapi pelitnya nauzubillah,” ujar Raima sinis. Menanggapi sindiran itu, Uma hanya tersenyum kecil. Tapi Anton dan Thoriq saling melirik, lalu mengangguk paham. Kakak-adik ini rupanya sedang berselisih. Hal biasa. Bahkan mereka pun di rumah terkadang seperti itu. Tak perlu ditanggapi dengan serius. Nanti juga mereka akan berbaikan lagi. *** Jarum jam di ruang tengah menunjukkan pukul 14.15 ketika Uma berpamitan kepada ibunya. Ayahnya yang sempat terlalu gembira menyambut kedatangannya kini telah berbaring kelelahan. Setelah memastikan sang ayah tertidur dengan tenang di kamar, Uma mengambil tas besar yang tadi ia letakkan di ruang tamu, lalu berpamitan. Permintaan Rauda agar ayahnya diberi ranjang seperti di rumah sakit, diam-diam menyulut sebuah ide di kepala Uma. Pak Alwi—sopir keluarga suaminya—langsung membukakan pintu mobil begitu melihatnya melangkah keluar. “Sudah selesai, Bu Uma?” tanyanya sopan, tangannya memegang gagang pintu. Uma mengangguk pelan. “Iya. Ayah harus istirahat. Tadi kami terlalu semangat ngobrol.” Pak Alwi mengangguk paham. Mobil pun melaju perlahan keluar gang menuju jalan raya. Namun belum jauh meninggalkan rumah, Uma bersuara dari kursi belakang. “Pak, boleh kita singgah sebentar?” “Ke mana, Bu?” tanya Pak Alwi, menoleh sejenak lewat kaca spion. “Toko bahan kimia. Yang di depan minimarket itu, dekat perempatan.” Pak Alwi tampak bingung. “Toko bahan kimia? Bukan ke pasar tradisional, Bu? Biasanya Ibu belanja ke sana.” Uma tersenyum tipis. “Kali ini beda, Pak. Saya mau beli bahan-bahan untuk membuat sabun.” “Sabun?” Pak Alwi menoleh lagi. Matanya tampak heran, tapi tetap sopan. “Sabun mandi maksud Ibu?” Uma mengangguk. “Iya. Sabun mandi batang. Dulu, waktu sekolah, saya sering membuat sabun sendiri. Saya menjualnya ke teman-teman dan tetangga. Sekarang saya mau mencoba membuatnya lagi. Ini saya juga bawa peralatannya dari rumah orang tua.” Ia menunjuk bungkusan besar yang tadi ia bawa—di dalamnya ada mixer, wadah stainless, alat pemotong, dan cetakan sabun. Pak Alwi melirik tas besar di samping Uma, lalu tertawa kecil. Bukan mengejek, tapi justru terdengar tulus dan penuh empati. “Wah, Ibu kreatif, ya? Bagus sekali idenya. Selain bisa dipakai sendiri, siapa tahu bisa jadi cuan. Nanti kalau sabun-sabun buatan Ibu sudah jadi, saya adalah pelanggan pertama!” janji Pak Alwi serius. Uma tertawa. “Tidak usah beli, Pak. Gratis kalau untuk Bapak.” Pak Alwi berdecak. “Mana boleh begitu? Orang yang baru mulai usaha harus didukung, bukan dikasih gratisan. Lha wong Ibu membeli bahan-bahannya juga pakai uang.” “Saya belinya juga buat istri dan anak gadis saya—Ira. Mereka sekarang senang memakai sabun dari bahan-bahan alami, katanya lebih aman, bebas bahan kimia. Kalau tahu sabunnya buatan Ibu, pasti mereka makin bangga memakainya,” tambah Pak Alwi, menyemangati. “Terima kasih, Pak. Saya memang sungguh-sungguh ingin mencoba berdikari. Mulai dari yang kecil… siapa tahu bisa jadi besar.” Pak Alwi mengangguk. Ia tahu, Uma tidak sedang bicara soal sabun semata. Ia paham betul kehidupan Uma—yang tampak glamor di luar, tapi di baliknya penuh keterbatasan dan tekanan. Ia tahu, karena ia sering menyaksikan sendiri bagaimana Arya dan Bu Mirna memperlakukan Uma dengan sangat tidak adil. Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah toko kecil dengan papan nama Toko Kimia Jaya. Dulu, Uma sering belanja di sana. Harganya murah, dan toko ini bahkan buka di hari Minggu. Uma turun dan masuk ke dalam. Dengan hati-hati, ia mulai memilih bahan-bahan yang dulu sangat ia kenal: sodium hydroxide, minyak kelapa, minyak zaitun, pewangi alami, serta cetakan sabun dari silikon. Semuanya ia bayar dengan uang dari dompet mungil—sisa-sisa jatah bulanan yang ia sisihkan diam-diam. “Rahuma Kinanti? Ngapain kamu ke toko kimia? Mau membuat bom, ya?” Sebuah suara bariton menembus pendengarannya. Uma cepat-cepat berbalik. Gentala Hanenda. Kakak Arumi Hanenda, sahabatnya saat SMA. Genta tidak banyak berubah. Masih sama—tampan rupawan, dengan sorot mata jahil yang khas. “Iya, kalau yang aku beli itu Cottoclarin, Texapone, atau Na₂SO₄,” sahut Uma ketus. Dari dulu, ia memang tidak pernah menyukai Genta karena keusilannya. “Eh, jangan salah. Bom itu tidak melulu terbuat dari Cottoclarin 5–10%, Texapone 10%, Na₂SO₄ 10–20%, Na₂CO₃ 35–50%, atau STPP 5–20%,” kata Genta, menyebut formula kimia dengan santai. Lalu ia menambahkan, “Kadang, bom bisa juga datang dari kabar anak baru lulus SMA yang langsung nikah sama om-om kaya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD