bc

(Bukan) Istri Simpanan

book_age18+
95
FOLLOW
1.2K
READ
one-night stand
HE
escape while being pregnant
age gap
forced
opposites attract
second chance
dominant
doctor
drama
tragedy
bxg
affair
polygamy
like
intro-logo
Blurb

Gladys tak pernah menduga bahwa patah hatinya akan berujung malapetaka.

Malam itu, Gladys mencoba melupakan segala kenangan pahit tentang perselingkuhan sang kekasih dengan mentraktir teman-temannya berpesta. Alih-alih menghibur diri, Gladys malah terjerumus pada malam penyerahan diri. Akibat mabuk, dia tak sadar telah tidur dengan seorang lelaki. Sialnya—lelaki itu adalah sosok yang pernah mengisi relung hatinya pada masa lalu.

Arsen, seorang dokter bedah yang terpaksa menikah karena pilihan ibunya. Hanya demi membahagiakan perempuan yang telah melahirkannya, Arsen tetap bertahan pada pernikahannya dengan perempuan yang tak bisa ditebak itu.

Kini, Gladys dan Arsen terjebak pada momentum yang tak pernah ada dalam skenario hidup keduanya. Bagaimana jika malam itu menghasilkan benih yang tak terduga?

Apa langkah yang akan diambil Arsen?

chap-preview
Free preview
Bab 1 — Patah Hati
Gladys's PoV "Kamu kapan jadinya pulang, Dys?" tanya Ben, lelaki yang sudah menjadi kekasihku selama 3 tahun ini. "Besok kayaknya, Mas. Masih ada data yang belum selesai aku kerjain. Ini aku mau ke kantor client lagi." "Oh ya udah, semangat ya!" "Makasih, Ben. Aku mau minta maaf juga, enggak nggak bisa rayain ulang tahun kamu hari ini." Aku sudah mengucapkan selamat ulang tahun kepada kekasihku itu tengah malam tadi via chat. Ben sudah berusia 28 tahun sekarang, enam bukan saja lebih tua dariku. Kami seangkatan waktu kuliah dan berteman dekat. Hingga Ben menyatakan perasaannya kepadaku untuk kedua kalinya sekitar 3 tahun lalu. Aku sempat menimang-nimang sebelum memutuskan untuk menerimanya. "Nggak apa-apa. Udah mulai tua, ulang tahun bukan lah sesuatu yang penting bagiku." "Tetap aja, Ben. Aku pengen banget ngerayain hari spesialnya kamu. Sekali lagi, maaf, ya? Nanti kadonya menyusul." Ben merupakan lelaki yang baik dan aku telah mengenalnya dalam waktu yang lama. Tak ada alasan bagiku untuk menolak lelaki yang sekarang berstatus sebagai manajer operasional di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang makanan itu. Aku juga telah mengenal keluarganya Ben sejak kuliah. Ben yang merupakan anak rantau mengenalkanku kepada keluarganya sejak kami kuliah, ketika keluarganya itu berkunjung ke Jakarta. Ben tak pernah punya pacar waktu kuliah, begitu juga denganku. Dia pernah confess padaku di saat akhir masa kuliah kami, akan tetapi aku menolaknya secara halus karena aku masih menyukai seseorang sejak SMP saat itu. Seseorang yang merupakan tetangga depan rumahku. Siapa sangka 2 tahun setelahnya, Ben kembali menyatakan perasaannya. Aku yang masih sendiri, akhirnya menerima cinta lelaki itu. Berpikir tak ada salahnya jika aku mencoba menjalin hubungan dengan lelaki yang sudah bertahun-tahun aku kenal. Aku meletakkan ponselku di atas meja setelah teleponan dengan kekasihku itu. Lalu, aku menuju kamar mandi karena hendak ke kantornya client-ku lagi pagi ini. Namaku Gladys Anastasya. Usiaku akan memasuki 28 tahun beberapa bulan lagi. Aku bekerja sebagai seorang auditor di salah satu KAP, yaitu Crowi Indonesia. Aku diterima bekerja di sini sejak lulus kuliah. Mulai dari staff biasa, baru 3 tahun belakangan ini aku dipercaya ikut dengan seniorku untuk melakukan audit pada perusahaan atau independent. Sekitar beberapa bulan lalu, aku baru terjun langsung meng-handle langsung client—tak lagi membantu para seniorku. Kerja kerasku selama bertahun-tahun akhirnya ada hasilnya, dengan gaji yang kuterima cukup besar. Belum lagi bonus yang aku dapatkan. Aku berada di luar kota saat ini, tepatnya di Medan. Aku sedang meng-audit sebuah perusahaan yang memakai jasa kami. Bukan perusahaan besar, tapi dari Crowi mempercayaiku untuk meng-handle client ini. Aku bersyukur karirku perlahan meningkat seiring berjalannya waktu. Tentu tidak mudah bagiku berada di posisi ini. Diketusin senior, disuruh mengerjakan ini itu yang harusnya bukan kerjaanku, diomeli atasan dan sikut-sikutan sesama rekan kerja yang masa kerjanya tak jauh berbeda denganku, aku berhasil melewati itu semua. Siang hari, aku sudah berada di sebuah resto untuk pertemuan terakhir dengan perwakilan dari perusahaan yang aku audit sebelum pulang. Aku membawa serta koper kecilku ke sini juga. Ya… aku akan pulang hari ini dan tadi berbohong kepada Ben. Aku akan memberikan kejutan padanya malam ini. Aku akan naik pesawat pada sore hari dan malam nanti akan ke apartemennya Ben. Aku sudah menyiapkan kado untuk lelaki itu. Beberapa hari ini sungguh melelahkan. Aku berkutat dengan banyak dokumen dan diskusi panjang dengan tim keuangan perusahaan. Aku tak sendiri juga ke sini, ada dua orang lainnya yang ikut denganku. Aku dan timku tiba di resto lebih dulu. Aku memperhatikan sekitar sambil menunggu client kami yang akan tiba sebentar lagi. Suasana resto ini tampak hangat dan elegan. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan abstrak, sementara musik jazz lembut mengalun—menciptakan atmosfer yang sempurna untuk pertemuan bisnis yang lebih santai. Aku menyukai nuansa di resto ini. Pertemuan kami di sini atas rekomendasi dari client kami tersebut. Kami dari Jakarta tentunya tak tahu mana tempat yang bagus untuk meeting—mendiskusikan tentang keuangan perusahaan. "Mbak Gladys dan tim, terima kasih atas kedatangannya ke sini dan kami akan menunggu progress selanjutnya. Semoga semuanya berjalan lancar. Kapan kira-kira kami akan dikirimkan hasilnya?" tanya salah satu dari tim keuangan perusahaan yang tengah kami audit, sebelum mengakhiri pertemuan kami hari ini. "Secepatnya, Pak. Paling lambat 3 hari lagi," ucapku yakin. "Nggak sampai seminggu." "Baik lah. Kami tunggu kabar selanjutnya." Dari resto, aku dan timku langsung menuju bandara karena mengejar penerbangan pada pukul 15:50 sore ini. Kami tiba di bandara Kualanamu pada pukul 14:40. Di ruang tunggu, aku mendapatkan telepon dari Tari, adik tingkatku saat kuliah yang sekarang tinggal di apartemen denganku sejak beberapa bulan yang lalu. Kami dekat karena dulu tetanggaan kos. Tari berada dua tingkat di bawahku dan baru merantau ke Jakarta lagi beberapa bulan lalu setelah aku memberikannya info bahwa ada lowongan pekerjaan di kantornya Ben. Tari terus-terusan mengeluh jika gajinya di daerah kecil dan habis untuk membantu orang tuanya. Aku tak menjawab telepon Tari, akan tetapi mengirimkan pesan kepadanya. Bertanya ada apa perempuan itu menghubungiku. Aku sengaja tak mengangkat karena tak ingin Tari tahu jika aku sedang berada di bandara—akan pulang hari ini. Tari bekerja di perusahaan yang sama dengan Ben, takutnya nanti dia keceplosan jika bertemu kekasihku itu. Sedangkan aku berniat memberikan kejutan. Tari bertanya kapan kepulanganku karena katanya sepi di apartemen. Aku pun membalas bahwa akan pulang besok dan memintanya agar mengajak temannya untuk menginap malam ini untuk menemani. Tari bilang, kemarin dirinya menginap di kosan temannya. *** Mataku menyipit melihat seseorang yang familier bagiku ketika baru saja keluar dari gate. Dua timku barusan sudah berjalan buru-buru karena jemputan mereka sudah datang. "Kak Arsen?" Lelaki itu tak melihat ke arahku. Hingga mataku tak sengaja menangkap sosoknya yang menyambut kedatangan seseorang perempuan cantik. Aku manggut-manggut, itu adalah istri dari lelaki itu. Kak Arsen yang berprofesi sebagai dokter itu telah menikah setahun yang lalu. Keluargaku diundang, akan tetapi orang tuaku tak bisa datang karena jauh dan tak bisa meninggalkan usaha mereka. Nenek, ibu dari mamaku juga sakit kala itu. Aku yang masih tinggal di Jakarta, tak berminat untuk datang. Sewaktu mama menghubungiku, aku bilang bahwa ada acara penting yang tak bisa aku tinggalkan. Aku malas saja, ingat akan penolakan ketus lelaki itu dulu. Kak Arsen, lelaki itu merupakan tetanggaku dulu dan aku menyukai sejak remaja hingga lulus sebelum keluargaku pindah rumah. Namun, lelaki itu selalu bersikap dingin padaku. Pernah sekali aku merasa bahagia ketika dirinya tiba-tiba mengajakku menemaninya ke acara nikahan temannya, akan tetapi ternyata yang menikah itu adalah perempuan disukainya. Kenapa aku tahu? Aku pernah beberapa kali melihat perempuan itu berkunjung ke rumah Kak Arsen yang terletak di depan rumahku persis. Aku bisa menilai bagaimana tatapan Kak Arsen kepada perempuan itu. Bencana menimpa keluargaku suatu hari. Papaku di PHK dan kedua orang tuaku memutuskan untuk menjual rumah kami. Pasalnya papa yang tak lagi muda tentunya susah mencari pekerjaan lagi dan ingin membuka usaha saja. Setelah menimang-nimang, papa dan mama memilih pulang kampung ke rumah nenekku dan membuka usaha di sana. Jika di sini, kami harus tinggal di rumah kontrakan dan membayar sewa rumah. Sedangkan usaha yang akan dijalankan, belum tentu langsung berhasil. Tak semudah itu membuka usaha, apa lagi sebelumnya tidak ada pengalaman. Sedangkan ada adikku yang masih bersekolah juga, dua orang. Keduanya bersekolah di swasta pula. Jika pun pindah ke negeri, tetap butuh biaya sehari-harinya untuk ongkos. Keputusan tinggal pulang ke rumah nenek di Yogyakarta adalah pilihan yang tepat saat itu. Kehidupan di Jakarta cukup mahal dan papa tak yakin dengan tetap bertahan di Kota Metropolitan ini. Aku tidak ikut dengan papa mama serta kedua adikku kala itu. Aku dapat panggilan kerja. Aku tinggal sendirian di Jakarta di sebuah indekos. Rumah sudah terjual murah karena orang tuaku membutuhkan uang. Papa dan mama memberikanku uang untuk sewa kos selama 2 bulan. "Jaga diri yang baik ya, Nak. Kabarin mama dan papa kalau ada apa-apa." Aku menahan tangis saat mengantar keluargaku ke stasiun. "Jangan makan mie dan telur terus karena pengen hemat." Aku menganggukkan kepala. Selain uang sewa kos untuk 2 bulan, mama juga memberiku uang pegangan sebesar 2,5 juta rupiah. Aku harus mengelola uang itu dengan baik, ada kebutuhan yang harus aku beli juga sebelum mulai bekerja. Untuk kasur dan lemari dan beberapa pecah belah, aku bisa membawanya dari rumah sebelum barang-barang milik kami dibawa ke rumah nenek. Tak semua, hanya yang bisa dibawa saja. Sebelum pindah beberapa hari yang lalu, aku sempat menyatakan perasaanku kepada tetangga di depan rumahku, Kak Arsen. Sesuai dugaanku, aku ditolak. Katanya, sama sekali tak tertarik padaku dan sampai kapan pun tak akan pernah menyukaiku. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Dan setelahnya menarik diri, berusaha untuk tak menoleh lagi ke arah rumahnya hingga pindah. Aku keluar rumah lebih dulu untuk tinggal di sebuah indekos, baru beberapa hari setelahnya keluargaku pulang kampung. Ketika aku sedang menunggu taksi, aku kembali melihat Kak Arsen yang menyebrang jalan bersama perempuan itu. Sepertinya menuju parkiran mobil. Tak seperti dulu lagi, kali ini tak ada lagi jantung yang berdegup kencang ketika melihat lelaki itu. Sudah biasa saja. Aku akui jika Kak Arsen masih tampan seperti dulu, tapi perasaan untuknya telah lama hilang. Aku sudah move on dari beberapa tahun lalu dan sekarang sudah bahagia bersama Ben. Lelaki yang memperlakukanku dengan baik dan telah mencintaiku dalam waktu lama. Keluarga kami pun sudah saling mengenal, karena hubungan kami mengarah ke jenjang serius. Aku tiba di apartemenku pada pukul 7 malam. Sekarang aku tinggal di sebuah apartemen yang aku beli secara kredit. Aku menyicil selama 5 tahun. Bukan apartemen yang mewah, makanya tak begitu mahal harganya. Aku punya cukup uang untuk DP apartemen ini tahun lalu, hasil jerih payahku bekerja di Crowi bertahun-tahun. Aku yang telah bekerja di sana sejak lulus kuliah dan cukup hemat untuk pengeluaran sehari-hari. Aku bisa menyisihkan pengeluaranku untuk membayar cicilan per bulannya. Tari juga 2 bulan ini membayar uang sewa 1 juta per bulan padaku. Aku menolak awalnya, tapi Tari memaksa. Tak enak katanya sekedar menumpang gratis saja. Dirinya telah bekerja selama hampir 4 bulan saat ini, telah lolos dari masa probation dan telah menekan kontrak di perusahaan yang sama dengan Ben itu. Aku mengusap cincin pada jemariku. Cincin tunangan yang dibelikan Ben setengah tahun lalu ketika ulang tahunku yang ke-27. Ben melamarku dan seminggu setelahnya kami bertunangan secara resmi. Untuk menikah, aku masih meminta sedikit waktu kepada Ben karena aku baru saja naik jabatan. Aku sibuk dan belum siap menikah pada tahun ini. Aku langsung bergegas mandi setelah memasuki kamarku. Aku tak sabar rasanya ingin memberikan kejutan kepada Ben. Aku berdandan secantik mungkin dan menggunakan crop top dilapisi outer dipadu dengan celana jeans panjang setelah mandi. Aku menggerai rambutku, sempat-sempatnya aku curly pada bagian bawahnya agar terlihat agak bergelombang. Aku mematut diri berkali-kali di depan kaca sebelum keluar kamarku. Kemudian, aku meraih tas selempangku serta goodie bag berisi kado untuk Ben. Aku membelikan kado sebuah jam tangan yang harganya 10 jutaan. Tak apa, untuk calon suamiku sendiri. Saat melangkah ke arah pintu, aku mengernyit mendapati bunyi pintu terbuka. Langkahku terhenti seketika. Tari, bukan kah katanya tadi akan menginap lagi di kosan temannya? Dia bilang tak akan pulang ke apartemen malam ini. "Ahhhh, Mas, Pelan-pelan remasnya! Kamu udah nggak sabaran banget?” Jantungku berdegup kencang. Tari membawa kekasihnya ke sini untuk m***m? Sejak kapan Tari memiliki kekasih? Tari tak pernah bercerita. Dia pernah bilang ada yang mendekatinya, tapi dia ragu karena lelaki itu memiliki seorang kekasih. Apa ada seseorang lain yang mendekatinya juga? "Nggak tahan, Sayang!" Debaran jantungku semakin kencang saat mendengar suara yang tak asing bagiku. Lalu, terdengar kekehan kecil dari Tari dan aku masih berdiri mematung tak jauh dari pintu. "Sabar!! Mbak Gladys pulang besok dan kita bisa menikmati malam ini sepuasnya, sampai pagi. Kayak kemarin, mari rayakan hari spesialnya kamu dengan bercinta sepanjang waktu. Melanjutkan yang semalam, aku tahu kalau kamu belum puas, 'kan?" Tanganku gemetar dengan irama jantungku yang sudah tidak karuan. Suara yang tak asing? Hari spesial? Aku memejamkan mata sejenak, kemudian menyeret langkah kakiku yang terasa berat. Aku masih berharap dugaanku meleset, hanya salah dengar dan ada lelaki yang tengah dekat dengan Tari kebetulan memiliki tanggal lahir yang sama dengan kekasihku, Ben. "Ahhh, Mas Ben... " Harapanku pupus saat membuka lebar pintu dan mendengar desahan Tari memenuhi ruangan apartemenku. Aku mendapati kedua orang itu tengah beradu bibir dengan masing-masing tengah sibuk menanggalkan pakaian masing-masing. Goodie bag di tanganku jatuh seketika saking gemetarnya tanganku. Lemas sekali rasanya. Hatiku hancur sehancur-hancurnya mendapati kekasih yang aku kira selama ini setia dan nyaris tak memiliki kekurangan menurutku. Ternyata, aku salah menilainya. Dan Tari, teganya perempuan itu menusukku dari belakang? Kurang apa lagi yang aku lakukan untuknya, mulai sejak kuliah dulu hingga beberapa bulan lalu mencarikan lowongan pekerjaan untuknya ketika perempuan itu masih berada di kampung? Menampungnya di sini, karena kasihan melihatnya yang membawa uang pas-pasan dari kampungnya? Masih kurang baginya, lalu merebut kekasihku juga? Hatiku sakit sekali dan penyebabnya adalah dirinya dan Ben. Bunyi goodie bag yang jatuh menghentikan kegiatan mereka. "M-mbak... Gladys... " Mata Tari membola melihatku. Ben pun ikut menoleh mengikuti arah pandangan Tari. Dan tatapan mata kami bertemu. "Dys, a-aku... " Aku menggelengkan kepala. Mengangkat tanganku saat Ben hendak mendekat ke arahku. Kancing kemejanya telah terlepas semua, tapi belum lepas dari tubuhnya. Terlihat polos shirt dikenakan lelaki itu dibalik kemejanya yang telah terbuka semua kancingnya itu. Dan yang paling membuatku jijik, pandangan mataku tak sengaja menangkap gerakan tangan Ben yang memasang kancing celana jeans-nya. Aku segera memalingkan wajahku. Pedih. "Tega kamu ya, Ben?" Aku terkekeh miris dan air mataku menetes tanpa mampu aku tahan. Aku benar-benar mencintainya, sudah lama move on dari Kak Arsen dan melabuhkan hatinya sepenuhnya untuk Ben. Dan kami juga sudah bertunangan—berencana akan menikah pada tahun depan. Namun, semua hancur begitu saja. "Maaf." Ben berucap lirih. "Oke, aku nggak akan membela diri. Aku salah di sini, khilaf karena— " "Karena ada kesempatan?" "Mas Ben nggak sepenuhnya salah, Mbak. Aku yang— " "Diam lo!" bentakku pada Tari yang sekarang sudah bercucuran air mata. Air mata buaya. Aku tak yakin jika dia menyesali apa yang telah dilakukannya. Kalau punya hati, seharusnya dia tak merebut kekasihku, bukan? "Keluar dari apartemen gue sekarang juga!" "Maafin aku, Mbak." Aku berdecih. Tak menyahutin ucapannya, hingga Tari memasuki kamarnya. Aku tak peduli dia akan tinggal di mana setelah ini, atau mau living together dengan si bangsatt itu. "Dys, aku minta maaf. Jangan salahin Tari, aku yang salah di sini." "Membela pacar barumu, huh? Sejak kapan, Ben? Sejak kapan??? Aku kurang apa bagi kamu?!!" teriakku histeris. "Kenapa harus Tari? Kenapa kamu tega selingkuh dengan seseorang yang udah aku anggap sebagai adik dan saudara sendiri di perantauan ini? Kenapa kalian tega?" Suaraku melemah di ujung kalimat. “Sakit hati banget aku, Ben. Sakit… “ Aku syok. Tari yang terlihat kalem, ternyata busuk aslinya. Mengingat desehan perempuan itu barusan, dadaku semakin terasa nyeri. Tak hanya menikamku dari belakang, Tari juga telah mengotori apartemenku. Apartemen yang suci, tak pernah ada maksiat di sini. Tiga tahun berpacaran dengan Ben, kami tak pernah berciuman. Dia memang menjagaku dengan tidak menyentuhku, tapi melampiaskannya kepada perempuan lain. Aku menatap cincin pada jemariku dan melepasnya. Setelah itu melemparnya ke arah Ben. "Dys, aku mohon... jangan akhiri semua ini. Aku ngaku salah, tapi aku janji nggak akan mengulangi lagi." Aku mendecih sinis sembari menyeka sudut mataku yang kembali berair. Hatiku rasanya begitu sakit. Sesak. Lututnya lemas, tapi aku berusaha untuk menahan agar tidak tumbang di hadapan kedua orang pengkhianat itu. "Kamu pikir, aku masih mau menerima kamu yang bekas orang? Kamu yang kedapatan bercumbuu di depan mataku sendiri? Nggak, Ben... aku enggak setotol itu untuk tetap mempertahankan hubungan kita. Meski masih cinta, aku nggak sudi bersama kamu lagi." "Aku harus bilang gimana sama orang tuaku nanti, Dys? Mereka pasti kecewa kamu mutusin hubungan kita." "Heh, hubungan kita berakhir karena ulah kamu sendiri!" Aku menunjuk pintu apartemenku. "Keluar dari sini sekarang juga!! Aku nggak mau lihat muka kamu lagi." "Dys... " "Keluar!!!" Setelah Ben keluar, disusul Tari yang menyeret koper dan menenteng tas besar. Dia hendak melangkah mendekat padaku, akan tetapi aku mengangkat tanganku. Tak ingin dirinya mendekat. "Aku pamit ya, Mbak. Terima kasih atas kebaikan Mbak Gladys selama ini dan maaf, aku ngecewain Mbak. Aku yang nggak bisa menolak pesona Mas Ben... " "Cepat keluar dari sini!!" Tubuhku merosot ke lantai setelah kedua orang itu pergi. Ingin merayakan hari spesial Ben dan bercerita banyak hal padanya tentang perjalanan dinasku ke Medan, namun berakhir jadi hari yang mengecewakan. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Terjebak Pemuas Hasrat Om Maven

read
32.5K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
8.7K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
30.2K
bc

Rayuan Sang Casanova

read
3.8K
bc

Petaka Semalam di Kamar Adik Ipar

read
6.4K
bc

Desahan Sang Biduan

read
36.9K
bc

Benih Cinta Sang CEO 2

read
19.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook