02. Asrama Kartapati

1101 Words
            Pukul empat sore sekolah sudah dibubarkan, Abima dan Galih buru-buru pulang karena mereka sudah membuat janji akan bertemu di stasiun satu jam lagi. Mereka tidak buru-buru mengejar kereta, jadwal kereta jam berapa pun yang nantinya mereka dapatkan tidak mereka berdua permasalahkan, sebab jarak rumah Abima di Bandung dengan stasiun tempat pemberhentian mereka nanti tidak terlalu jauh. Perjalanan yang akan mereka lewati juga nantinya akan memakan waktu selama dua sampai tiga jam, jadi kemungkinan besar mereka akan sampai pada malam hari, tapi tidak apa-apa lagipula mereka tidak diburu-buru untuk sampai, kegiatan mereka akan mulai dilakukan pada esok harinya.             Abima segera mengendari motornya untuk pulang ke asrama, bersiap untuk mengemas beberapa barang yang akan dibawanya selama dua hari ke depan.             Sebenarnya tadi pagi sebelum dirinya berangkat ke sekolah, Abima sudah berpesan kepada Ibu Ana— Ibu Asramanya, bahwa dia akan pulang ke Bandung hari ini untuk menengok makam kedua orangtuanya. Abima juga meminta tolong untuk dibuatkan beberapa bekal jika memang memungkinkan dan tentu saja Ibu Ana berbaik hati akan mengabulkan keinginannya tersebut. Sudah tak terhitung seberapa sering Abima mengucap syukur dan menyematkan nama wanita paruh baya itu di setiap doanya, karena wanita itu sudah bersikap sangat baik kepadanya selama bertahun-tahun.             Butuh waktu dua belas menit perjalanan dari sekolah menuju asramanya. Abima sudah memarkirkan si biru kesayangan di tempat parkiran motor yang biasanya, sempat bertemu dengan Pak Karta— Bapak pemilik asrama, yang tengah menyirami bunga di halaman depan asrama.             Abima langsung menyapa serta mencium punggung tangannya, seperti sebuah kebiasaan yang entah mengapa tidak mau Abima hilangkan, untungnya para baik Ibu Ana ataupun Pak Karta tidak mempermasalahkan kebiasaan tersebut, mereka malah senang-senang saja karena Abima bersikap sopan kepada mereka.             “Tadi pagi kayaknya udah di siram, Pak?” Abima memilih untuk berhenti sejenak untuk bertanya.             Pak Karta berpindah ke sisi kiri selagi menjawab, “Iya, nih, Bim. Padahal tadi pagi udah Bapak siram tapi enggak tau kenapa masih kering aja bunganya, Bapak jadi pusing,” keluh pria paruh baya tersebut.             “Besok-besok Abima bantuin deh Pak buat siramin bunganya kalau udah pulang sekolah ya.”             “Hehe makasih ya Abima. Hari ini kamu jadi pulang ke Bandungnya?”             Abima mengernyit sebentar, seingatnya dia hanya berbicara soal ini kepada Ibu, tetapi kenapa Bapak juga bisa tahu? Ah, pasti Ibu bercerita kepada Bapak, biasanya juga seperti itu.             “Iya jadi, Pak. Ini sekarang Abima mau beres-beres baju dulu soalnya mau nginep sehari, nanti hari minggu sore udah pulang lagi kok,” jelas Abima.             “Yaudah sana beres-beres, nanti Bapak yang antar kamu ke stasiun, kamu enggak bawa motor kan ya kayak biasanya?”             Abima nyengir lebar. “Iya, enggak bawa, Pak. Hehe oke! Abima masuk dulu ya Pak buat beresin bajunya.” Bukan sekali dua kali Pak Karta kerap menawarkan untuk mengantarnya sampai stasiun. Sekarang sama seperti kebiasaannya untuk mencium tangan orang yang lebih tua dalam asrama ini, maka agenda antar-mengantar ke stasiun juga tanpa sadar sudah menjadi sebuah kebiasaan yang rutin dilakukan jika Abima ingin pulang ke Bandung.             Abima itu pernah ingin mengendarai motor untuk pulang, namun si Ibu menyuruhnya untuk naik kereta saja karena selain lebih aman, perjalannya juga tidak akan terlalu terasa daripada Abima memilih untuk mengendarai motor biru kesayangannya itu, yang mana justru akan memunculkan banyak pegal ketika sampai. Jarak stasiun dan rumahnya di Bandung juga tidak terlalu jauh, maka akan lebih enak jika menaiki kereta saja. Lalu karena timbulnya saran untuk naik kereta tersebut, si Bapak juga pada akhirnya turut memberikan tawaran untuk mengantar Abima ke stasiun jika memang pria paruh baya itu sedang tidak sibuk.             Abima tentu saja tidak menolak, karena jika dirinya diberikan bantuan dalam bentuk apapun Abima pasti akan menerimanya, namun setelah itu dia juga akan membalas bantuan tersebut dalam bentuk sebuah jasa yang lain.             Berbicara soal asrama, mari Abima jelaskan sedikit mengenai tempat ini selagi dirinya membereskan baju-baju yang akan dibawa pulang menuju Bandung.             Bangunan asrama ini bernama Asrama Kartapati. Namanya diambil dari nama Kartanagara Patimura yang merupakan nama si Bapak yang tadi Abima temui di halaman. Jangan tanya mengapa nama Pak Karta bisa sekeren itu karena Abima sendiri takjub dengan nama tersebut. Abima tidak tau pasti kapan bangunan ini berdiri namun yang pasti tempat ini adalah tempat tinggal Abima selama dua tahun terakhir, sekarang dia berusia tujuh belas tahun dan berarti Abima sudah tinggal di sini sejak usianya lima belas tahun, di mana pada saat itu dia baru saja menginjak masa Sekolah Menengah Pertama kelas dua akhir.             Mengapa pada usia seperti itu dia sudah tinggal seorang diri di dalam asrama?             Jika harus diceritakan Abima yakin pastilah ceritanya akan menghabisi berlembar-lembar halaman sebuah buku, karena masa lalunya termasuk hal terpelik yang pernah terjadi dalam hidup Abima sendiri. Jadi, Abima akan menceritakannya lain kali saja, jika memang sudah waktunya pasti Abima akan kembali membuka kenangan sekaligus luka tersebut.             Lalu untuk sekarang biarlah dia menjelaskan sebagus apa asrama tempat tinggalnya saat ini. Asrama ini memiliki tiga bangunan utama; yaitu rumah utama pemilik asrama yang berada di paling depan, sedangkan ketika berjalan lagi ke halaman belakang nantinya akan menemukan dua bangunan memanjang yang saling berhadapan. Bangunan itu adalah tempat untuk asrama putra dan juga asrama putri, kedua bangunan di batasi oleh sebuah taman mini dan juga sebuah pagar. Asrama ini memang campur untuk putra dan putri, tapi bukan berarti akses untuk bertemu antar lawan jenis jadi lebih mudah apalagi di jam-jam malam. Tidak seperti itu, asrama ini juga memiliki beberapa peraturan ketat yang tidak boleh dilanggar oleh penghuninya.             Sebagai rumah utama di bagian depan, rumah pemilik asrama menjadi tempat berkumpul ketika makan. Biasanya jam sarapan atau makan malam yang digunakan bagi para seluruh penghuni asrama untuk berkumpul, dan hal itu yang membuat para penghuni asrama menjadi dekat walaupun berada dalam latar belakang keluarga yang berbeda-beda.             Kelebihan dari Asrama Kartapati juga adalah karena asrama ini memiliki satu buah ruangan khusus yang disebut sebagai ruang seni, karena di dalamnya terdapat sebuah piano serta beberapa alat musik lain. Tidak heran, karena anak pemilik asrama ini ternyata memiliki hobi di bidang tersebut walaupun tidak diseriusi.             Untuk menuju kamarnya, Abima tidak perlu masuk melewati rumah utama, karena bagian samping kanan rumah tersebut terdapat sebuah jalan khusus untuk tempat masuk-keluarnya anak-anak asrama. Abima termasuk yang beruntung karena bisa menemukan asrama sebagus ini dengan fasilitas yang banyak namun memiliki harga yang cocok untuk kantong siswa Sekolah Menengah Atas sepertinya.             Asrama Kartapati, walaupun hanya sebuah tempat tinggal dengan banyak orang di dalamnya yang pada awalnya tidak Abima kenali. Namun pada akhirnya, setelah melewati dua tahun tinggal di tempat ini entah mengapa Abima jadi merasa bahwa asrama ini sudah seperti rumahnya sendiri.             Bangunan kokoh yang penuh dengan kehangatan dan juga orang-orang baik di dalamnya ini, Abima sudah sangat menyayanginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD