bc

Larasati, Wanita Bisu Yang Diinginkan Anakku

book_age18+
428
FOLLOW
5.4K
READ
HE
heir/heiress
bxg
lighthearted
single daddy
city
like
intro-logo
Blurb

Some chapters contain adult scenes?

.

.

Liam Abraham adalah seorang anak berusia enam tahun yang memiliki kemampuan khusus. Dia bisa mendengar isi hati orang lain hanya dengan menatap orang tersebut. Karena kemampuannya itu, ayahnya, Mahesa Dhananjaya, gagal menikah untuk yang keempat kalinya.

Wanita-wanita yang dikenalkan oleh Mahesa pada putranya, ternyata memiliki tujuan tersembunyi yang hanya diketahui oleh Liam dan mereka yang bersangkutan. Namun, ada satu wanita yang benar-benar tulus yang sayangnya selalu dipandang sebelah mata karena bisu dan tuli.

Meski demikian, Liam akan berusaha keras menjadikan Larasati, wanita tuna rungu dan wicara itu, sebagai ibunya meski Mahesa memandangnya dengan tatapan yang tak berbeda dari orang lain. Sebelah mata.

chap-preview
Free preview
BAB 1 - Larasati, Wanita Bisu Yang Diinginkan Anakku
Larasati tiba-tiba terbangun saat dia merasakan seseorang membekap mulutnya. Dia terbelalak lebar melihat saudara iparnya berada di kamar, memeluk tubuhnya dengan erat dan menunjukkan seringaian yang mengerikan. "Diam, Laras! Aku tidak akan jahat padamu kalau kamu menurut!" Larasati memberontak, tetapi tenaganya tak cukup kuat untuk melawan Malik, adik suaminya yang kini mencoba mengambil keuntungan darinya. Bahkan ketika dia memohon agar pria itu berhenti pun, percuma. "Diam!" Malik mendelik. "Aku bilang diam ya diam! Kalau tidak, aku bakal mengadu pada Ibu kalau kamu memaksaku berhubungan intim begini setiap malam!" Larasati menangis, membiarkan air matanya jatuh saat Malik membuka secara paksa pakaiannya tanpa melepaskan tangan yang membekap mulutnya. Ini bukan yang pertama laki-laki itu bertingkah menjijikkan padahal Larasati selalu mengunci kamar dan jendelanya. Namun, Malik masih bisa masuk dengan mudah karena dia mempunyai kunci cadangan. Malik tak sabar, dia merobek pakaian Larasati begitu saja dan membuat kancing-kancing bajunya bergelinding di lantai. Akan tetapi, tepat setelah itu seseorang mendobrak pintu kamar. Malik tersentak dan menjauh dari tubuh Larasati, sementara wanita itu hanya menangis dan mencoba menutupi tubuh bagian atasnya. "Larasati! Astaga apa yang kamu lakukan?! Tega-teganya kamu merayu suamiku?!" Larasati tak mendengar bagaimana dia disalahkan oleh Nurmala, istri Malik, karena dia hanya menangis menerima penghinaan menjijikkan ini. Dia terus menangis seperti seseorang yang tidak berdaya dan mengakui kesalahan yang bukan miliknya itu. Nurmala menatap tajam suaminya yang menunduk sambil mengacak-acak rambut. "Mas! Kamu ikut aku!" Wanita itu melangkah keluar diikuti Malik yang mendesah kecewa, menyayangkan tindakannya kali ini yang berakhir sia-sia padahal keinginannya untuk bersetubuh dengan Larasati sudah sampai ubun-ubun. Tunggu saja Laras. Lain kali kita akan bersenang-senang! Hidup Larasati memang sudah ditakdirkan seperti itu. Menjadi tuli dan bisu, menerima semua perintah dan ancaman, seolah dirinya adalah seseorang yang hidup untuk diinjak-injak oleh orang lain, termasuk keluarga suaminya yang telah pergi berbulan-bulan lamanya tanpa kabar. --- “Berjanjilah untuk tidak membuat masalah, Liam.” Mahesa menekankan ucapannya sambil mengencangkan ikatan dasi. Dia menatap ke arah Liam Abraham, anaknya yang baru berusia enam tahun, duduk di ranjang dengan mata terpejam seolah tak mau tahu dengan semua tekanan. “Kalau kamu bertingkah lagi, Ayah tidak akan segan-segan mengurungmu di kamar selama satu minggu!” Liam mendengkus. Kali ini membuang muka dan melipat kedua tangan tanpa membuka mata. “Aku sudah bilang kalau Tante Viona itu tidak sebaik yang Ayah pikir!” “Liam, cukup. Ayah sudah gagal empat kali gara-gara kamu yang banyak maunya.” Mahesa menghampiri sang anak dengan berkacak pinggang dan ketika berada tepat di hadapan anak itu, dia memutar kepala Liam agar mau mengharap ke arahnya. Liam masih belum sudi membuka mata meski helaan napas berat sang ayah membuat bulu kuduknya merinding. “Tante Viona itu benar-benar sayang padamu. Dia bahkan sudah menyiapkan kamar khusus yang dipenuhi mainan kesukaanmu di rumahnya!” “Ayah tidak tahu apa-apa.” Liam memaksa untuk membuang muka meski tekanan tangan sang ayah di kepalanya tidak mungkin dapat dilawan. Anak yang sebentar lagi berusia enam tahun itu perlahan-lahan membuka mata, menunjukkan warna ungu pudar yang membuat hampir semua temannya merasa takut sekaligus penasaran. “Aku tidak melihat ketulusan pada Tante Viona.” Sembari menghela napas, Mahesa berlutut di depan Liam dan menatap bola mata indah milik anak itu. Dia memegang tangan Liam penuh perhatian dan mencoba meyakinkannya sekali lagi. “Liam, sayang, tidak ada seseorang yang benar-benar tulus di dunia ini,” katanya, “tapi Ayah pastikan jika Tante Viona akan menjadi Ibu yang yang paling baik untukmu. Kamu bisa percaya pada Ayah.” Liam sudah lelah dengan kejadian yang sama setiap tahunnya. Pergi menemui seorang wanita yang katanya bakal menjadi sosok ibu yang sempurna, tetapi kenyataannya mereka menyimpan maksud lain yang lebih mencengangkan. Seperti empat tahun lalu, seorang wanita bernama Rina berkata rela menjadi seorang ibu, tetapi Liam tahu jika wanita itu berniat mengambil sosok Mahesa dan memisahkan mereka begitu saja. Wanita lain datang, namanya Windy. Dia bilang mencintai Mahesa dan Liam dengan tulus, tetapi ternyata dia hanya mengincar kekayaan duda anak satu tersebut. Viona, wanita ke lima yang akan Mahesa kenalkan pada putranya pun, bagi Liam sama saja seperti wanita lain. Bahkan yang lebih parah, Viona berusaha keras menyayangi Liam hanya untuk membuat Mahesa jatuh cinta. Kini mereka berdua berada di sebuah restoran bintang lima, berhadapan dengan wanita bernama Viona yang Mahesa yakini bakal menjadi Ibu untuk Liam yang telah hidup tanpa sosok Ibu sejak bayi. “Halo, Sayang!” Viona melambai dan tersenyum manis pada Liam terlebih dulu, baru beralih pada Mahesa. Itu adalah urutan yang tepat, seperti petunjuk calon suaminya sejak mereka memutuskan untuk berhubungan dua bulan lalu. “Tante bawa sesuatu untukmu! Kemarilah!” Mahesa memaksa Liam datang pada Viona. Anak itu pun tak punya pilihan selain menghampiri wanita berambut lurus yang panjangnya sepantat dan menerima pemberian darinya. “Terima kasih, Tante Viona.” Liam kembali ke tempat duduknya dan meletakkan paper bag di kursi lain tanpa berniat membukanya. Mahesa tampak kecewa, tetapi Viona buru-buru tersenyum dan menunjukkan ekspresi tidak apa-apa. Tiba-tiba ponsel Mahesa bergetar. “Aku terima panggilan sebentar. Liam duduk yang sopan sampai Ayah kembali!” Liam mengangguk patuh. Mahesa pergi ke luar, sementara Viona langsung membenarkan riasannya. Menebalkan lipstik, memakai ulang bedaknya agar tampak mempesona tanpa tahu anak laki-laki di depannya memandang dengan jijik. “Liam, Sayang, kamu tidak akan menyesal kalau aku menjadi ibumu,” kata wanita itu tanpa mengalihkan pandangan dari cermin. “Aku akan menyayangimu seperti aku menyayangi ayahmu.” Yah, itu kalau kamu tidak banyak tingkah. Liam mendengkus kecil. Dia beranjak turun dari kursi dan pergi ke arah yang sama seperti ayahnya. “Liam, bukankah Ayah menyuruhmu untuk tetap duduk di sini?” Liam tak acuh dan terus melangkah. Anak itu bisa mati bosan dengan berpura-pura bersikap baik pada seorang wanita yang menyimpan pikiran lain di otaknya. Dia bisa mati jika berpura-pura tidak mengetahui apa pun sementara kekasih sang ayah terus berbicara dalam hati yang membuatnya tak tahan. Orang-orang tidak percaya, bahkan Mahesa yang mengetahuinya pun tak percaya. Mereka pikir Liam berbeda hanya karena memiliki mata berwarna ungu pudar seperti hantu, Mahesa pikir semua yang Liam ketahui hanya kebetulan dan omong kosong agar dirinya tidak menikah lagi. Namun, Liam benar-benar seorang anak yang spesial. Liam menutupi sebelah matanya menggunakan tangan saat melangkah keluar dari restoran. Ya, aku bisa menilai seseorang menggunakan mata ini dan aku yakin seratus persen kalau Tante Viona itu Mak Lampir! Liam melihat ayahnya sedang berbicara di sebelah kiri dan dia memutuskan untuk pergi ke sebelah kanan, kembali bertingkah agar rencana pernikahan orangtuanya gagal lagi. Entah dengan cara apa pun, rencana itu harus hancur. Mahesa berbalik menghadap bangunan, menatap salah satu meja yang mereka tempati. Namun, hanya ada Viona yang tengah bersolek, sementara Liam tak ada di kursinya. Matanya bergerak mencari tanpa memutuskan sambungan telepon, tetapi ketika tidak melihat putranya di sana, dia mulai panik. “Aku sudahi dulu teleponnya. Nanti kuhubungi kembali.” Sambungan terputus, Mahesa hendak melangkah masuk sebelum akhirnya melihat siluet anak kecil berdiri di depan sebuah toko bunga, berdiri tepat di bawah pot-pot gantung yang berputar terkena angin. Ada tali yang hampir putus suatu waktu karena bergesekan dengan pengait pipa. “Liam, kamu ini benar-benar!” Anak itu berdiri bersebelahan dengan seorang wanita yang memegang satu buket bunga lili. Tatapannya jatuh ke bawah dan helaan napas terus meluncur keluar dari mulutnya. Liam menoleh, memastikan apakah wanita itu baik-baik saja atau tidak dan ketika melihat tatapannya yang sendu, dia segera menyadari sesuatu. “Bunga itu cantik sekali,” ucap Liam tiba-tiba dan membuat wanita berambut hitam sepunggung menoleh. “Seseorang yang mendapatkannya pasti akan merasa senang.” Larasati, wanita itu tersenyum kecut tanpa alasan sebelum menyadari sosok anak kecil di sebelahnya. Dia kemudian mengulas senyum pada Liam yang menatapnya dengan mata berbinar-binar. Pikirnya, walaupun mata anak itu tidak biasa, tapi cukup indah. Liam tersenyum lebar dan membuat hati Larasati lega tanpa alasan, lalu membelai kepala anak itu dengan lembut. Dia juga berpikir jika ibu anak tersebut pasti menyayanginya karena dia juga pasti akan begitu. Menyayangi anaknya sendiri. Helaan napas kembali meluncur bersama dengan angin yang berhembus lebih kencang, membuat suara gesekan di atas makin jelas dan membuat Larasati mengalihkan perhatian. Wanita itu terus memperhatikan tali pengikat pot, terpaku beberapa lama membayangkan dirinya bergelantung di atap rumah dengan tali mengikat lehernya. Namun, Larasati segera tersadar ketika melihat bagian-bagian tali itu menyembul keluar dan akhirnya putus, membuat pot bunga miring yang berakhir terjun. Dengan cepat Larasati menarik tangan Liam sebelum pot bunga itu jatuh tepat di kepalanya. Meski demikian, tangan kiri anak itu mengalami luka gores yang lantas membuatnya menangis. Larasati buru-buru mengeluarkan sapu tangan dari dalam tas dan menekannya dengan pelan agar darah berhenti muncul. Bersamaan dengan itu, Mahesa tiba setelah berlari melihat Liam hampir terluka parah. “Sudah Ayah bilang jangan bertingkah! Lihat apa yang terjadi padamu!” Tangisan Liam menjadi lebih keras mendengar bentakan Mahesa. Dia sedang merasa kesakitan di lengannya yang terkena pot bunga, tetapi bukannya melakukan sesuatu, sang ayah justru berteriak dan menyalahkan dirinya. Larasati menepuk tangan Mahesa beberapa kali dan membuat pria itu beralih menatapnya. Dia menggerakkan tangan dan meminta agar Mahesa segera membawa Liam ke rumah sakit alih-alih berteriak pada anak kecil itu. Namun, pria itu bahkan tidak mengerti ucapannya selain fakta bahwa itu adalah bahasa isyarat. Mahesa mengernyit tak mengerti. Dia memperhatikan gerakan tangan Larasati dengan seksama, tetapi nihil. Dia tidak pernah berhubungan dengan seorang tuna wicara, apalagi belajar bahasa isyarat. “Tunggu, tunggu, saya sama sekali tidak mengerti maksudmu, tapi terima kasih banyak karena telah menyelamatkan anak saya.” Mahesa menghentikan gerakan tangan Larasati. Larasati pun mengangguk. Dia lagi-lagi menerima tatapan yang sama seperti yang dia dapatkan tempo hari. Tatapan Mahesa pun seperti itu. Tatapan dari seseorang yang merasa muak melihat wanita yang tak bisa berbicara. Wanita itu beranjak berdiri, membawa tasnya lalu pergi dari hadapan mereka berdua. Memang benar. Seharusnya aku tidak berurusan dengan orang-orang normal seperti mereka. Baru beberapa langkah pergi, tiba-tiba seseorang menarik tasnya dan membuat Larasati berhenti lalu berbalik badan menatap Liam yang masih terisak-isak. Tanpa permisi, anak itu memegang tangan Larasati dan menuliskan sesuatu di telapak tangannya. Kita ditakdirkan bertemu, Tante. Kita akan bertemu lagi besok.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook