11. Tante Senja

1579 Words
Dong membonceng Djatmiko dengan sepeda motor menuju lokasi pertama. Sebuah toko spesialis pakaian dalam yang ada di Jalan Kepatihan tak jauh dari alun-alun Kota Bandung. Cittt… Sepeda motor berhenti di depan toko. Djatmiko dan Dong turun, membuka helm mereka masing-masing. Beberapa ibu-ibu yang sedang lewat, sontak menolehkan wajahnya melihat rambut Dong yang berkibar begitu terlepas dari helm. Belum lagi pria itu sengaja menggoyang-goyangkan kepalanya kesana kemari, bak iklan shampo anti ketombe yang slow motion di tipi-tipi. “Heh, gak pusing apa geleng-geleng kaya kucing kena air gitu?” celetuk Djatmiko. Dong, yang kini sedang menyisir rambut hitam nya dengan jemarinya sambil menebar senyum ke segerombolan ibu-ibu, menjawab, “Sudah biasa, dong.” “Dong sudah biasa,” timpal Djatmiko bermaksud membenarkan susunan kalimat Dong. “Hah?” “Bukan, sudah biasa Dong, tapi Dong…sudah biasa.” “Apa?” sahut Dong bingung padahal dia bukan bermaksud menggunakan namanya Dong tapi kata gaul dong untuk kalimat diatas. Ah sudahlah, penulis jadi ikutan bingung. Kenapa Djatmiko bahas susunan kata. Lanjut… Lima menit mereka masih berdiri di trotoar, sementara Dong merapikan rambutnya di kaca spion motor. “Udah. Udah ganteng. Buruan napa sih?” seru Djatmiko mulai tidak sabar. “Eits… relax my friend. Kuberi tahu ya, salah satu kunci utama sebagai seorang sales. Sales apapun itu, adalah kau harus membuat pembeli menyukai mu. Kalau kamu sudah mendapatkan cinta pembeli, apapun bisa kau jual. Catet!” perintah Dong menunjuk ke tas yang di bawa Djatmiko. “Catet? Catet apaan?” “Itu yang baru saja aku katakan. Pelajaran sebagai sales. Catet biar tidak lupa.” Djatmiko langsung mengangguk. Ia sudah berniat untuk belajar menjadi sales dari Dong. Dikeluarkannya kertas dan pulpen dan langsung di tulisnya apa yang diajarkan Dong. “Dapatkan cinta pembeli. Ok!” “Pelajaran kedua,” lanjut Dong. Ia kini merapikan baju yang di pakainya dan berbalik menghadap ke arah Djatmiko. Tangannya mencengkeram pundak Djatmiko erat, sementara kedua matanya menatap lekat. “Yang kedua…,” lanjut Dong. “Apapun yang terjadi, jangan... Aku ulangi… Jangan… ikut… Tante Senja… masuk ke dalam ruangannya.” Djatmiko hanya bisa melongo mendengar peringatan Dong. “Siapa Tante Senja?” celetuknya. “Kita akan bertemu Tante Senja. Sebisa mungkin, beradalah di ruang terbuka dengan banyak saksi jika sampai sesuatu terjadi,” lanjut Dong kian membuat Djatmiko merinding. “Hah? Gimana maksudnya? Kita mau ngorder apa mau bunuh orang sih? Heh, Dong?” Dong masih menatap tidak berkedip ke wajah Djatmiko yang mlongo, menimbang seberapa jauh ia harus memperingatkan rekan barunya itu tentang Tante Senja. “Ah… sudahlah… mungkin pelajaran nomor dua tidak terlalu berlaku untuk mu. Sudah jangan khawatir. Lets go!” seru Dong sambil nggeloyor masuk ke dalam toko. Djatmiko buru-buru memasukkan kertas nya ke tas dan mengejar Dong. Tante Senja rupanya adalah pemilik toko yang mereka datangi. Wanita berumur 40 tahunan itu sedang duduk di belakang meja kasir. Janda cerai mati itu terlihat segar, trendy dan modern dalam balutan kaos ketat model crop yang memperlihatkan pusar bodongnya, jeans sobek-sobek yang mirip habis keseret angkot, dan sneaker bermerek centang yang tidak di sebutkan namanya karena tidak masuk daftar endorsan penulis. “Dong!” seru wanita itu tersenyum sumringah melihat kedatangan Dong. “Selamat siang, Tante Senja. Bagaimana kabarnya?” sapa Dong ramah. “Toko ramai?” “Jangan panggil ,Tante atuh… Senja ajyahhh… atau Njhah juga boleh dyehh,” balas si Tante sambil mendesah-desah macem orang abis keracunan bon cabe. “Jangan formal gituh ah sama akuh. Ahahahaha….” Senja tertawa terbahak walaupun tidak ada yang lucu. Bibirnya yang merah merona oleh lipstik membuka lebar, mangap macem buaya yang lagi jemuran di siang hari. Djatmiko sampai bergidik ngeri karena bisa melihat tambalan gigi di dalam mulut Senja yang berwarna emas. Mungkin sudah terbiasa dengan tingkah Senjah yang manjah, Dong ikut tertawa sambil menarik kursi dan duduk di seberang meja kasir Senja. Djatmiko meniru dan duduk di sebelah Dong. Senja hanya melirik ke arah Djatmiko beberapa detik sebelum melengos balik ke Dong. “Dong…,” panggil Senja dengan suara serak basah ala penyanyi rock. “Umhh… ini udara di Bandung hari ini panashh banget yahhh… Gimanah kalau kita teruskan urusan bisnis di belakang? Hmmhh? Kantorkuh ada Ac nya loh… Yuk? Mau yah?” Senja mengedipkan matanya sambil senyam senyum. “Eh… masa panas sih, Tante? Aku kok malah kedinginan ya. Ehm… disini aja lah order nya Tante. Biar terang kan disini banyak lampu,” tampik Dong beralasan. Bisa melihat bahwa Dong keberatan, Senja pun mulai cemberut. “Ah sombong ih kamuh. Ya udah lah aku engga pesen hari ini. Nanti aja ke sales lain.” Melihat itu Djatmiko langsung mengambil kesempatan. Tanpa paham apa yang terjadi ia mengangkat tangannya. “Saya…saya… sama saya aja,” celetuk Djatmiko. Senja menoleh. Ia mengamati Djatmiko dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Wajah Djatmiko yang nyengir dengan gigi maju sempat membuat Senja merengut, walaupun akhir wanita itu mengedikkan bahunya. “Ah ya sudah,” celetuknya. “Tak ada rotan, semak belukarpun jadi. Ayok sini ikut aku.” Djatmiko kegirangan mendengar ajakan Senja. Mengabaikan pelototan dari wajah Dong yang melarangnya, pria muda dengan jiwa sukses yang menggebu itu sudah berharap untuk bisa mendapatkan orderan. Dengan langkah tegap dan da-da sedikit membusung, Djatmiko pun melangkah mengikuti si Tante. Senja menggiring Djatmiko ke ruangan di bagian belakang yang sepertinya adalah kantor. Selain AC hanya ada sebuah meja kursi dan lemari arsip di dalam ruangan. Begitu Djatmiko masuk, Senja langsung menutup pintu dan menguncinya. Wanita itu lalu memasang AC dan mempersilahkan Djatmiko duduk. Tanpa prasangka, duduk lah Djatmiko diatas kursi. Dikeluarkannya map dari dalam tas yang berisi daftar harga pakaian dalam yang diberikan Nunung pagi itu. Ia membuka halamannya yang berisi foto, dan tipe-tipe beha yang di jual beserta harganya. “Tante mau pesan yang mana aja, nih? Kita punya berbagai macam bentuk beha. Mulai dari yang biasa, pakai kawat, sampai yang bisa di buka tutup kaya tangki bensin,” celetuk Djatmiko masih mengamati halaman di dalam map. “Atau yang terbaru dari Felysia’s Secret, kita ada yang namanya kutang nenek. Bagus ini, Tante. Beha nya ada kantongnya. Jadi kalau bawa uang engga akan bikin gatel.” Djatmiko panjang lebar menjelaskan barang dagangannya. Sementara Senja kini menempatkan dirinya dengan duduk diatas meja, menghadap ke arah Djatmiko. Wanita itu menyilangkan kaki kanannya diatas kaki kiri, menyingkap rok selututnya naik hingga ke pa-ha, memperlihatkan bagian tubuhnya yang sedikit gembyor dan bercorak selulit. “Macem-macem yahh jenis beha jaman sekharang…,” timpal Senja. “Eh… Siapa ya nama kamu?” Wanita itu mengelus lengan Djatmiko. “Miko, Tante,” celetuk Djatmiko masih tidak sadar. Pria itu membungkuk hendak meraih kartu nama dari dalam tas yang di letakkannya diatas lantai. “Sebentar… Saya punya kartu nama kok… mana ya tadi… ehh…bentar-bentar,” gumam Djatmiko masih mengaduk-aduk tas sambil menunduk. Memberi kesempatan kepada Senja untuk mulai melancarkan serangannya. Ia membuka beberapa kancing kemeja yang di pakainya dan membungkuk ke depan. Mungkin hendak memamerkan aset utama yang dimilikinya. Dua buah benda kenyal yang membal jika terpental sandal kadal. “AH! KETEMU!” Djatmiko tiba-tiba berseru sambil mendongakkan kepalanya naik, tidak sadar bahwa Si Tante Senja sedang membungkuk diatas kepalanya. DUAG! Belakang kepala Djatmiko bertubrukan dengan wajah Senja yang kemudian terjengkang ke belakang dan jatuh gelundungan dari atas meja. GEDEBUG GUBRAK! “Eh aduh..aduh tante… maaf… saya tidak sengaja.” Djatmiko buru-buru berdiri, dengan tujuan hendak menolong Tante Senja yang masih guling-gulingan di lantai sambil memegang hidung nya, tidak sadar bahwa lengan pria itu menyenggol map diatas meja. Benda berat dan tebal itu langsung terjatuh. JEGER! Dan menimpa dahi Si tante. “UADAWW!” erang tante Senja keras. “Waduh… maaf tante. Aduh bagai mana ini.” Djatmiko yang kaget berusaha mengumpulkan map nya yang kececeran. Mungkin karena panik ia tidak memperhatian kemana ia melangkah. NGEKKK! Kakinya menginjak perut Tante Senja, tepat di bagian usus buntu wanita itu. “Heghh!!” erang Senja ngeden. Suara keduanya yang berisik terdengar hingga keluar ruangan. Beberapa karyawan toko mulai menguping di depan pintu sambil cengengesan. Bukan rahasia di toko itu jika bos mereka memang senang membawa sales-sales pria yang datang ke toko nya kedalam kantor, yang kemudian di lanjutkan dengan muncul nya suara-suara aneh seperti desahan dan erangan dari dalamnya. Tapi baru kali ini suara bos mereka terdengar sangat keras. Membuat para karyawan toko semakin penasaran akan pria yang berhasil memuaskan wanita itu sampai menjerit sedemikian rupa. “Berhenti…berhenti… jangan bergerak!” Terdengar suara Tante Senja dari balik pintu yang tertutup. “E..eh… Iya iya,” sahut suara Djatmiko. GUBRAK! Kembali terdengar sesuatu yang jatuh dari dalam ruangan. “AW! ADUUUHHH… sakit… pantatkuuuu…,” jerit Tante Senja dari dalam. Membuat karyawan yang bergerumun di depan pintu makin banyak. Tidak tahu bahwa di dalam, rupanya Djatmiko baru saja menyenggol kursinya hingga jatuh menimpa bagian belakang tubuh Tante Senja yang sedang mencoba merangkak untuk berdiri. “Udah! Udah! Keluar! Keluuuarrrrrrr!!!!” Suara jeritan Tante Senja yang melengking membuat Djatmiko secepat kilat mengumpulkan barang-barang bawaannya dan melesat keluar. Menabrak rombongan karyawan yang bergerombol di depan pintu. Menginjak kaki salah satunya, sementara menyikut yang lain, sebelum akhirnya menemukan Dong yang masih duduk di depan kasir. Tanpa membuang waktu, dengan tergesa-gesa Djatmiko meraih lengan pria itu dan menyeretnya keluar. NOTE: Duh Tante Girang Ganash Sekalih... Model Miko juga diembat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD